Minggu, 25 Desember 2011

freies ermessen


  1. A.    Pengertian Freies Ermessen


Freies Ermessen berasal dari kata fres yang artinya bebas, lepas, tidak terikat, dan merdeka, sementara itu ermessen diartikan sebagai mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan. Freies Ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga, dan mempertimbangkan sesuatu. Sedangkan Nata Saputra mengartikan Freies Ermessen sebagai suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi, yaitu kebebasan yang pada asasnya memperkenankan alat administrasi Negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan dari pada berpegang teguh kepada ketentuan hukum.[1] Dengan kata lain Freies Ermessen adalah kebebasan bertindak dari pejabat Negara tanpa harus terikat kepada undang-undang. Namun kebebasan ini harus berdasarkan hukum. Ada juga yang mengatakan bahwa Freies Ermessen sama dengan diskresi, yaitu kebebasan untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam menyelesaikan persoalan yang memerlukan penanganan segera tetapi peraturan untuk penyelesaian persoalan itu belum ada karena belum dibuat oleh badan yang diserahi tugas legislatif.[2] Seperti penanganan terhadap terhadap bencara besar tsunami dan gempa di Aceh ataupun tentang terorisme pelaku bom Bali. Perlunya campur tangan pemerintah dalam hal tersebut sebagai langkah membangun kesejahteraan masyarakat dengan segera, tanpa harus menunggu terbentuknya suatu Undang-undang, yang kita tahu membutuhkan waktu yang cukup lama.

Menurut Laica Marzuki, Freies Ermessen merupakan kebebasan yang diberikan kepada tata usaha Negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, sejalan dengan meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus diberikan tata usaha Negara terhadap kehidupan sosial ekonomi para warga yang kian komplek.

Secara umum Freies Ermessen berarti orang bebas mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil keputusan.

Pouvoir Discretionare atau Freies Ermessen merupakan kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijakan sendiri dari administrasi negara pada welfare state. Fungsi publik service dalam penyelenggaraan pemerintahan welfare state mengakibatkan terjadinya pergeseran sebagian kekuasaan antarlembaga negara yaitu dari lembaga legislative ke lembaga eksekutif (administrasi negara). Pengertian discretie dalam pourvoir discretionare adalah pejabat penguasa tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan “tidak ada peraturannya” dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapat sendiri asalkan tidak melanggar asas yuriditas dan asas legalitas.

  1. B.     Peranan Freies Ermessen dalam HAN


Dalam negara hukum modern perlu adanya campur tangan administrasi negara dalam rangka memenuhi kesejahteraan masyarakat. Salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan itu adalah digunakan asas freies ermessen , yaitu kebebasan bertindak asministrasi untuk memecahkan masalah yang aturannya belum ada, sedangkan masalah itu harus diatasi dengan segera. Agar penggunaan asas freies ermessentidak disalahgunakan diperlukan tolok ukur, yaitu pelaksanaannya tidak melanggar hak dan kewajiban asasi warga masyarakat, dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum, dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam prakteknya, Freies Ermessen, dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:

1.      Belum ada peraturan perundangan yang mengatur tentang penyelesaian secara konkrit terhadap suatu masalah tertentu, dimana masalah tersebut harus segera diselesaikan.

2.      Adanya delegasi perundang-undangan, yang artinya aparat pemerintah diberi kekuasaan untuk mengatur sendiri sebuah urusan, yang sebenarnya kekuasaan itu merupakan kekuasaan aparat yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya, pemerintah daerah bebas untuk mengelola sumber-sumber keuangan daerah asalkan merupakan sumber yang sah.

Dalam ilmu Hukum Administrasi, Freies Ermessen ini diberikan hanya kepada pemerintah, dan ketika Freies Ermessen ini diwujudkan menjadi instrument yuridis yang tertulis, maka jadilah ia sebagai peraturan kebijaksanaan.[3] Namun disamping itu sistem ini memiliki sisi positif juga negatif. Beberapa manfaat atau aspek kelebihan dalam penggunaan prinsip Freies Ermessen diantaranya;

a.       Kebijakan pemerintah yang bersifat emergency terkait hajat hidup orang banyak dapat segera diputuskan atau diberlakukan oleh pemerintah meskipun masih debatable secara yuridis atau bahkan terjadi kekosongan hukum sama sekali;

b.      Badan atau pejabat pemerintah tidak terjebak pada formalisme hukum dengan asumsi bahwa tidak ada kekosongan hukum bagi setiap kebijakan publik sepanjang berkaitan dengan kepentingan umum atau masyarakat luas;

c.       Sifat dan roda pemerintahan menjadi makin fleksibel, sehingga sektor pelayanan publik makin hidup dan pembangunan bagi peningkatan kesejahtraan rakyat tetap dinamis seiring dengan dinamika masyarakat dan perkembangan zaman.

Disisi lain kebebasan bertindak oleh aparatur pemerintahan yang berwenang jika tidak digunakan secara cermat dan hati-hati maka penerapan asas Freies Ermessen ini rawan menjadi konflik struktural yang berkepanjangan antara penguasa dengan masayarakat.

Secara alamiah, terdapat perbedaan gerak antara pembuatan undang-undang dengan persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat. Pembuatan undang-undang berjalan lambat, sementara persoalan kemasyarakatan berjalan dengan pesat. Jika setiap tindakan pemerintah harus selalu berdasarkan undang-undang, maka akan banyak persoalan kemasyarakatan yang tidak dapat terlayani secara wajar. Oleh karena itu, dalam konsepsi welfare state, tindakan pemerintah tidak selalu harus berdasarkan asas legalitas. Dalam hal-hal tertentu pemerintah dapat melakukan tindakan secara bebas yang didasarkan pada freies Ermessen, yakni kewenangan yang sah untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan kepentingan umum.

Meskipun pemberian freies Ermessen atau kewenangan bebas (discresionare power) kepada pemerintah merupakan konsekuensi logis dalam konsepsi welfare state, akan tetapi pemberian freies Ermessen ini bukan tanpa masalah. Sebab adanya kewenangan bebas ini berarti terbuka peluang penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) atau tindakan sewenang-wenang (willekeur) yang dapat merugikan warga negara. Atas dasar ini penerapan fungsi Hukum Administrasi Negara (HAN) dalam konsepsi welfare state merupakan salah satu alternatif bagi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih.

Menurut Philipus M. Hadjon, HAN memiliki tiga fungsi yaitu fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Fungsi normatif menyangkut penormaan kekuasaan memerintah dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih. Fungsi instrumental berarti menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah. Adapun fungsi jaminan adalah fungsi untuk memberikan jaminan perlindungan hukum bagi rakyat.

  1. Batas toleransi atau tolok ukur Freies Ermessen


Freies Ermessen atau diskresi itu dilakukan berdasarkan kesadaran hukum pejabat administrasi negara yang bersangkutan. Meskipun diskresi itu merupakan kebebasan bertindak menurut pendapat sendiri, tapi tidak berarti bahwa pejabat administrasi negara dapat bertindak sewenang-wenang berdasarkan pendapatnya sendiri. Diskresi harus selalu berdasarkan asas legalitas. Maksud berdasarkan asas legalitas yaitu bahwa  setiap aktivitas dan tindakan-tindakan administrasi negara harus didasarkan pada ketentuan undang-undang (hukum) yang berlaku. Jadi maksud asas ini adalah untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dari pejabat administrasi negara. Dengan demikian, para pejabat administrasi negara itu hanya boleh bertindak berdasarkan hukum saja.[4]

Terdapat beberapa parameter dalam hal batasan toleransi bagi Badan atau Pejabat pemerintahan dalam menggunakan asas diskresi ini yaitu; (a) adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri; (b) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu; (c) tidak boleh mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan juga secara moral. Bila berbicara mengenai pertanggungjawaban maka diskresi akan terkait dengan permasalahan subyek yang memiliki kewenangan membuat diskresi.

Menurut Prof. Muchsan, subyek yang berwenang untuk membuat suatu diskresi adalah administrasi negara dalam pengertian sempit, yaitu eksekutif. Adapun basis argumentasi yuridisnya ialah bahwa pihak eksekutif yang lebih banyak bersentuhan dengan masalah pelayanan publik oleh karena itu diskresi hanya ada dipraktekan dan dikenal dalam tata kelola pemerintahan.

Bentuk-bentuk sederhana dari keputusan administrasi di luar peraturan perundang-undangan yang dapat dilihat dalam contoh kehidupan sehari-hari adalah memo yang dikeluarkan oleh pejabat, pengumuman, surat keputusan (SK) dan sejumlah bentuk lainnya.

Dalam rancangan Undang Undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP) pun memperjelas penyelesaian sengketa yang ditimbulkan oleh diskresi yang sebelumnya belum terakomodir dalam UU PTUN. Mekanisme pertanggungjawaban menurut RUU AP ini adalah mekanisme pertanggungjawaban administrasi terkait dengan keputusan ataupun tindakan yang telah diambil oleh pejabat administrasi pemerintahan.

Menurut RUU AP Pasal 25 ayat (3) dinyatakan; pejabat administrasi pemerintahan yang menggunakan diskresi wajib mempertanggungjawabkan keputusannya kepada pejabat atasannya dan masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah diambil. Pertanggungjawaban kepada atasan dilaksanakan dalam bentuk tertulis dengan memberikan alasan-alasan pengambilan keputusan diskresi.

Sedangkan pertanggungjawaban kepada masyarakat diselesaikan  melalui proses peradilan. Keputusan dan/atau tindakan diskresi pejabat administrasi pemerintahan dapat diuji melalui Upaya Administratif atau gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara. [5]

  1. D.    Kelebihan dan kekurangan dalam penggunaan prinsip Freies Ermessen


Ada beberapa manfaat atau aspek kelebihan dalam penggunaan prinsip Freies Ermessen atau kebebasan bertindak oleh pejabat pemerintah yaitu diantaranya; pertama; kebijakan pemerintah yang bersifat emergency terkait hajat hidup orang banyak dapat segera diputuskan atau diberlakukan oleh pemerintah meskipun masih debatable secara yuridis atau bahkan terjadi kekosongan hukum sama sekali; kedua; badan atau pejabat pemerintah tidak terjebak pada formalisme hukum dengan asumsi bahwa tidak ada kekosongan hukum bagi setiap kebijakan publik (policy) sepanjang berkaitan dengan kepentingan umum atau masyarakat luas; ketiga; sifat dan roda pemerintahan menjadi makin fleksibel, sehingga sektor pelayanan publik makin hidup dan pembangunan bagi peningkatan kesejahtraan rakyat menjadi tidak statis alias tetap dinmais seiring dengan dinamika masyarakat dan perkembangan zaman.

Namun begitu, disisi lain kebebasan bertindak okleh apartur pemerintahan yang berwenang sudah tentu juga menimbulkan kompleksitas masalah karena sifatnya yang menyimpangi asas legalitas dalam arti yuridis (unsur exception).

Memang harus diakui apabila tidak digunakan secara cermat dan hati-hati maka penerapa asas freis ermessen ini rawan menjadi konflik struktural yang berkepanjangan antara penguasa versus masayarakat. Ada beberapa kerugian yang bisa saja terjadi jika tidak diantisipasi secara baik yakni diantaranya;

pertama; aparatur atau pejabat pemerintah bertindak sewenang-wenang karena terjadi ambivalensi kebijakan yang tidak dapat dipertanggujawabkan kepada masyarakat;

kedua; sektor pelayanan publik menjadi terganggu atau malah makin buruk akibat kebijakan yang tidak popoluer dan non-responsif diambil oleh pejabat atau aparatur pemerintah yang berwenang;

ketiga; sektor pembangunan justru menjadi terhambat akibat sejumlah kebijakan (policy) pejabat atau aparatur pemerintah yang kontraproduktif dengan keinginan rakyat atau para pelaku pembangunan lainnya.

Keempat; aktifitas perekonomian masyarakat justru menjadi pasif dan tidak berkembang akibat sejumlah kebijakan (policy) yang tidak pro-masyarakat dan terakhir adalah terjadi krisis kepecayaan publik terhadap penguasa dan menurunya wibawa pemernitah dimata masyarakat sebagai akibat kebijakan-kebijakannya yang dinilai tidak simpatik dan merugikan masyarakat.

Terkait dengan pemberian kewenangan itu juga akan muncul kekurangan sebagai berikut:

a.       Aparatur atau pejabat pemerintah bertindak sewenang-wenang karena terjadi ambivalensi kebijakan yang tidak dapat dipertanggujawabkan kepada masyarakat;

b.      Sektor pelayanan publik menjadi terganggu atau malah makin buruk akibat kebijakan yang tidak popoluer dan non-responsif diambil oleh pejabat atau aparatur pemerintah yang berwenang;

c.       Sektor pembangunan justru menjadi terhambat akibat sejumlah kebijakan (policy) pejabat atau aparatur pemerintah yang kontraproduktif dengan keinginan rakyat atau para pelaku pembangunan lainnya;

d.      Aktifitas perekonomian masyarakat justru menjadi pasif dan tidak berkembang akibat sejumlah kebijakan (policy) yang tidak pro-masyarakat dan terakhir adalah terjadi krisis kepecayaan publik terhadap penguasa dan menurunya wibawa pemernitah dimata masyarakat sebagai akibat kebijakan-kebijakannya yang dinilai tidak simpatik dan merugikan masyarakat.







[1] Nata Saputra, Hukum Administrasi Negara, (Rajawali, Jakarta: 1988), hlm 15




[2] http://www.ut.ac.id/ diakses tgl 21-des-2011




[3] Sulaiman, King Faisal. Fries Ermessen




[4] Ridwan, Hukum Administrasi Negara, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta:2007), hal: 177



contoh SURAT GUGATAN PERCERAIAN

SURAT GUGATAN PERCERAIAN Kepada Yth: Bapak/Ibu Ketua Pengadilan Negeri/Agama [...................] Di Tempat Dengan hormat ...