Kamis, 18 November 2010

ciri-ciri dan karakteristik pokok sunan al-nasai

7. Ciri- ciri karakteristik pokok.

Sedikit berbeda dengan kitab sunan pada umumnya Imam al-Nasai cenderung menampung hadis amaliah diniyah sangat mendetil, seperti terbukti dalam koleksi hadis tertuang di dalamnya tuntunan do’a yang perlu di baca sepanjang hai’at sembahyang, pedoman-pedoman hukum serta masalah mu’amalah.
Sistematika penyajian hadis menyerupai tertib sistem kitab fiqh serta masing-masing kelompok hadis semateri dilengkapi dengan judul sub bab yang mewakili persepsi hasil analisis Imam al-Nasa’i terhadap inti kandungan matan hadis yang bersangkutan. Mengawali penyajian setiap hadis di terangkan sanad lengkap setiap matan, perhatian khusus mengenai proses tahdis (sighat tahdis), matan hadis selengkapnya. Di belakang matan tidak terdapat embel-embel kecualai keterangan singkat mengenai mukharrij yang menjadi referensi hadis dan informasi sederhana tentang unsur ‘illat hadis (bila diketahui hadis bersangkutan berillat).
Pengeditan matan hadis ditekankan pada upaya mempertahankan keaslian redaksi (riwayat bil-lafdzi). Imam al-Nasa’i agak peka terhadap dugaan lahn (rancu) dalam bahasa matan hadis, karenanya beliau dengan cermat mencari idiom serupa pada suku-suku pemakai bahasa klasik, sebab bisa diasumsikan bahwa Nabi Muhammad SAW senantiasa berkomunikasi dengan bahasa mereka termasuk pemanfaatan idiom-idiom bahasa mereka.
Metode Seleksi Hadist, Asas yang mendasari Imam al-Nasa’i dalam menseleksi hadis untuk dimuat pada kitab beliau al-Mujtaba atau Sunan al-Saghir ialah pantang memuat hadis yang dalam jajaran sanadnya terdapat seorang atau lebih perawi yang seluruh muhadditsin sepakat menolak riwayatnya. Imam al-Nasa’i menempatkan integritas perawi dari segi penguasaan hadis dan unsur kejujuran pribadinya sebagai prasyarat utama bagi nominasi di terimanya riwayat hadis perawi yang bersangkutan.
Sunan al-Nasa’i memperioritaskan hadis sahih dengan penekanan seleksi pada segi perawi hadis bukan pribadi yang terkena kualifikasi tajrih (cacat) sekalipun hanya sepintas wahm (dicurigai) kelemahan dirinya. Oleh karenanya tidak satupun hadis dalam koleksi al-Nasa’i yang sanadnya berintikan Ibnu Luhai’ah. Sekalipun beliau tergolong tokoh dikalangan hafidzul-hadis, namun diketahui diusia lanjut memaksakan diri dalam mengejar/meriwayatkan hadis bertumpu pada ingatan dan hapalannya, sehingga sering melakukan kesalahan.
Selain memuat hadis bermutu shahih Sunan al-Nasa’i ada menampung hadis-hadis hasan, sepanjang tidak dipergunjingkan orang segi asal usul hadis yang bersangkutan, segi ‘illat dan segi perawi pendukung sanadnya.
Pengujian mutu suatu hadis dalam rangka kelayakan memuatnya pada kitab Sunan al-Nasa’i dilakukan sepenuhnya atas dasar ketajaman Imam al-Nasa’i dalam menanalisis segala sisi hadis dan bila terdapat kebimbangan beliau memerlukan istikharah, terutama bila keraguan itu menyentuh personalia rijalul-hadist.

kitab syarah sunan al-nasai

4. sistematika isi kitab

Daftar Isi Kitab Sunan Nasa’I (Cetakan Mustafa al Halabi 1964 M/1383H)

1. Ath thaharah.

2. Al miyah.

3. Al haidh.

4. Al ghuslu wa At- tayamum.

5. Ash shalat.

6. Al mawaqiit.

7. Al adzan.

8. Al masajid.

9. Al qiblah.

10. Al imamah.

11. Iftitah shalat.

12. At tatbiiq.

13. As sahwu.

14. Al jumu’at.

15. Taqsir shalat fi safar.

16. Al kusuf.

17. Al istisqa.

18. Shalat khauf.

19. Shalat al ‘idain.

20. Qiyam lail wa tathawwu’ nahar.

21. Al janaiz.

22. Ash shiyam.

23. Az zakat.

24. Manasik haji.

25. Al jihad.

26. An nikah.

27. Ath thalaq.

28. Al khail.

29. Al ahbas.

30. Al washaya.

31. An nihl.

32. Al hibah.

33. Ar ruqba.

34. Al ‘umri.

35. Al aimaan wan nudzur wal muzara’ah


36. ‘Isyratun nisa.

37. Tahrim dam.

38. Qasm fai.

39. Al bai’at.

40. Al aqiqah.

41. Al far’u wal ‘atirah.

42. Ash shaid wadz dzabaih.

43. Adh dhahaya.

44. Al buyu’.

45. Al qosamah.

46. Qot’u sariq.

47. Al iman wa syara’ihu.

48. Az zinah.

49. Aadab qodha.

50. Al isti’adzah.

51. Al asyribah


 

Kalau kita mengklasifikasikan isi kitab tersebut adalah sebagaimana berikut ini :

1. Dari kitab pertama sampai kitab ke dua puluh satu adalah tentang thaharah dan shalat. Namun beliau lebih memperbanyak masalah shalat.


2. Beliau mengedepankan kitab shaum dari kitab zakat.

3. Beliau memberi jarak antara pembahasan “pembagian rampasan perang” dengan “jihad”.


4. Beliau juga memisahkan antara pembahasan al khail dengan jihad.


5. Imam nasai membuat kitab khusus tentang wakaf (ahbas), juga kitab wasiat dengan tersendiri, pula kitab an nihl (pemberian untuk anak), kitab hibah, tanpa ada kitab faraidh (pembagian waris).


6. Beliau memisah antar kitab asyribah dengan kitabshaid dan dzabaih. Juga beliau memisahkan kitab-kitab tadi dengan kitab dhahaya


7. Beliau mengakhirkan kitab iman.


8. Kitab iman dengan kitab isti’adzah sajalah yang tidak membahas tentang hukum.


5. Nilai Atau Kualitas Haditsnya

Komentar Para Ulama

Imam al-Nasa’i merupakan figur yang cermat dan teliti dalam meneliti dan menyeleksi para periwayat hadis. Beliau juga telah menetapkan syarat-syarat tertentu dalam proses penyeleksian hadis-hadis yang diterimanya. Abu Ali al-Naisapuri pernah mengatakan, “Orang yang meriwayatkan hadis kepada kami adalah seorang imam hadis yang telah diakui oleh para ulama, ia bernama Abu Abd al Rahman al-Nasa’i.”

Lebih jauh lagi Imam al-Naisapuri mengatakan, “Syarat-syarat yang ditetapkan al-Nasa’i dalam menilai para periwayat hadis lebih ketat dan keras ketimbang syarat-syarat yang digunakan Muslim bin al-Hajjaj.” Ini merupakan komentar subyektif Imam al-Naisapuri terhadap pribadi al-Nasa’i yang berbeda dengan komentar ulama pada umumnya. Ulama pada umumnya lebih mengunggulkan keketatan penilaian Imam Muslim bin al-Hajjaj ketimbang al-Nasa’i. Bahkan komentar mayoritas ulama ini pulalah yang memposisikan Imam Muslim sebagai pakar hadis nomer dua, sesudah al-Bukhari.

Namun demikian, bukan berarti mayoritas ulama merendahkan kredibilitas Imam al-Nasa’i. Imam al-Nasa’i tidak hanya ahli dalam bidang hadis dan ilmu hadis, namun juga mumpuni dalam bidang fiqh. Al-Daruquthni pernah mengatakan, beliau adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam bidang fiqh pada masanya dan paling mengetahui tentang Hadis dan para rawi. Al-Hakim Abu Abdullah berkata, “Pendapat-pendapat Abu Abd al-Rahman mengenai fiqh yang diambil dari hadis terlampau banyak untuk dapat kita kemukakan seluruhnya. Siapa yang menelaah dan mengkaji kitab Sunan al-Nasa’i, ia akan terpesona dengan keindahan dan kebagusan kata-katanya.”

Tidak ditemukan riwayat yang jelas tentang afiliansi pandangan fiqh beliau, kecuali komentar singkat Imam Madzhab Syafi’i. Pandangan Ibn al-Atsir ini dapat dimengerti dan difahami, karena memang Imam al-Nasa’i lama bermukim di Mesir, bahkan merasa cocok tinggal di sana. Beliau baru berhijrah dari Mesir ke Damsyik setahun menjelang kewafatannya.

Karena Imam al-Nasa’i cukup lama tinggal di Mesir, sementara Imam al-Syafi’i juga lama menyebarkan pandangan-pandangan fiqhnya di Mesir (setelah kepindahannya dari Bagdad), maka walaupun antara keduanya tidak pernah bertemu, karena al-Nasa’i baru lahir sebelas tahun setelah kewafatan Imam al-Syafi’i, tidak menutup kemungkinan banyak pandangan-pandangan fiqh Madzhab Syafi’i yang beliau serap melalui murid-murid Imam al-Syafi’i yang tinggal di Mesir. Pandangan fiqh Imam al-Syafi’i lebih tersebar di Mesir ketimbang di Baghdad. Hal ini lebih membuka peluang bagi Imam al-Nasa’i untuk bersinggungan dengan pandangan fiqh Syafi’i. Dan ini akan menguatkan dugaan Ibn al-Atsir tentang afiliasi mazhab fiqh al-Nasa’i.

Pandangan Syafi’i di Mesir ini kemudian dikenal dengan qaul jadid (pandangan baru). Dan ini seandainya dugaan Ibn al-Atsir benar, mengindikasikan bahwa pandangan fiqh Syafi’i dan al-Nasa’i lebih didominasi pandangan baru (Qaul Jadid, Mesir) ketimbang pandangan klasik (Qaul Qadim, Baghdad).

Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa Imam al-Nasa’i merupakan sosok yang berpandangan netral, tidak memihak salah satu pandangan mazhab fiqh manapun, termasuk pandangan Imam al-Syafi’i. Hal ini seringkali terjadi pada imam-imam hadis sebelum al-Nasa’i, yang hanya berafiliasi pada mazhab hadis. Dan independensi pandangan ini merupakan ciri khas imam-imam hadis. Oleh karena itu, untuk mengklaim pandangan Imam al-Nasa’i telah terkontaminasi oleh pandangan orang lain, kita perlu menelusuri sumber sejarah yang konkrit, bukannya hanya berdasarkan dugaan.1

6. kitab Syarah Imam Nasa’i

Dari berbagai informasi diketahui bahwa tidak banyak kitab yang mengulas (mensyarahi) Sunan al-Nasa’i. Kitab syarah yang beredar di tengah-tengah masyarakat (dalam edisi cetakan) antara lain :

Zuhr al-Riba ‘ala al-Mujtaba, disusun oleh Jalalud-din al-Sayuthi (wafat 911 H) dengan format ringkas dan sederhana mirip kitab ta’liq (catatan-catatan penting). dalam sayarah tersebut banyak memuat ulasan terhadap hadis yang sama (dalam al-Jami’ al-Bukhari) yang di kemukakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani:

Syarah al-Sindi, disusun oleh Syeikh al-’Alamah Abu al-Hasan al-Hanafi, dikenal dengan “al-sindi” seorang ulama kenamaan berdomisili di Madinah (wafat 1138 H). Ulasan hadis lebih luas dibanding dengan karya Jalaluddin al-Sayuthi, tekanannya pada aspek bahasa matan hadis, kosakata yang gharib (asing) dan pendapat yang pernah berkembang terkait dengan materi hadis :

Syarah Al-’Alamah Sirajuddin al-Syafi’i (wafat 854 H) titik berat ulasannya tertuju pada hadis-hadis zawaid (hadis yang tidak termuat dalam koleksi al-Jami’ al-Bukhari dan Shahih Muslim).2

 


1www.2lisan.com




2blog.uin-malang.ac.id

nilai dan kualitas hadits sunan al-nasai

4. sistematika isi kitab

Daftar Isi Kitab Sunan Nasa’I (Cetakan Mustafa al Halabi 1964 M/1383H)

1. Ath thaharah.

2. Al miyah.

3. Al haidh.

4. Al ghuslu wa At- tayamum.

5. Ash shalat.

6. Al mawaqiit.

7. Al adzan.

8. Al masajid.

9. Al qiblah.

10. Al imamah.

11. Iftitah shalat.

12. At tatbiiq.

13. As sahwu.

14. Al jumu’at.

15. Taqsir shalat fi safar.

16. Al kusuf.

17. Al istisqa.

18. Shalat khauf.

19. Shalat al ‘idain.

20. Qiyam lail wa tathawwu’ nahar.

21. Al janaiz.

22. Ash shiyam.

23. Az zakat.

24. Manasik haji.

25. Al jihad.

26. An nikah.

27. Ath thalaq.

28. Al khail.

29. Al ahbas.

30. Al washaya.

31. An nihl.

32. Al hibah.

33. Ar ruqba.

34. Al ‘umri.

35. Al aimaan wan nudzur wal muzara’ah


36. ‘Isyratun nisa.

37. Tahrim dam.

38. Qasm fai.

39. Al bai’at.

40. Al aqiqah.

41. Al far’u wal ‘atirah.

42. Ash shaid wadz dzabaih.

43. Adh dhahaya.

44. Al buyu’.

45. Al qosamah.

46. Qot’u sariq.

47. Al iman wa syara’ihu.

48. Az zinah.

49. Aadab qodha.

50. Al isti’adzah.

51. Al asyribah


 

Kalau kita mengklasifikasikan isi kitab tersebut adalah sebagaimana berikut ini :

1. Dari kitab pertama sampai kitab ke dua puluh satu adalah tentang thaharah dan shalat. Namun beliau lebih memperbanyak masalah shalat.


2. Beliau mengedepankan kitab shaum dari kitab zakat.

3. Beliau memberi jarak antara pembahasan “pembagian rampasan perang” dengan “jihad”.


4. Beliau juga memisahkan antara pembahasan al khail dengan jihad.


5. Imam nasai membuat kitab khusus tentang wakaf (ahbas), juga kitab wasiat dengan tersendiri, pula kitab an nihl (pemberian untuk anak), kitab hibah, tanpa ada kitab faraidh (pembagian waris).


6. Beliau memisah antar kitab asyribah dengan kitabshaid dan dzabaih. Juga beliau memisahkan kitab-kitab tadi dengan kitab dhahaya


7. Beliau mengakhirkan kitab iman.


8. Kitab iman dengan kitab isti’adzah sajalah yang tidak membahas tentang hukum.


5. Nilai Atau Kualitas Haditsnya

Komentar Para Ulama

Imam al-Nasa’i merupakan figur yang cermat dan teliti dalam meneliti dan menyeleksi para periwayat hadis. Beliau juga telah menetapkan syarat-syarat tertentu dalam proses penyeleksian hadis-hadis yang diterimanya. Abu Ali al-Naisapuri pernah mengatakan, “Orang yang meriwayatkan hadis kepada kami adalah seorang imam hadis yang telah diakui oleh para ulama, ia bernama Abu Abd al Rahman al-Nasa’i.”

Lebih jauh lagi Imam al-Naisapuri mengatakan, “Syarat-syarat yang ditetapkan al-Nasa’i dalam menilai para periwayat hadis lebih ketat dan keras ketimbang syarat-syarat yang digunakan Muslim bin al-Hajjaj.” Ini merupakan komentar subyektif Imam al-Naisapuri terhadap pribadi al-Nasa’i yang berbeda dengan komentar ulama pada umumnya. Ulama pada umumnya lebih mengunggulkan keketatan penilaian Imam Muslim bin al-Hajjaj ketimbang al-Nasa’i. Bahkan komentar mayoritas ulama ini pulalah yang memposisikan Imam Muslim sebagai pakar hadis nomer dua, sesudah al-Bukhari.

Namun demikian, bukan berarti mayoritas ulama merendahkan kredibilitas Imam al-Nasa’i. Imam al-Nasa’i tidak hanya ahli dalam bidang hadis dan ilmu hadis, namun juga mumpuni dalam bidang fiqh. Al-Daruquthni pernah mengatakan, beliau adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam bidang fiqh pada masanya dan paling mengetahui tentang Hadis dan para rawi. Al-Hakim Abu Abdullah berkata, “Pendapat-pendapat Abu Abd al-Rahman mengenai fiqh yang diambil dari hadis terlampau banyak untuk dapat kita kemukakan seluruhnya. Siapa yang menelaah dan mengkaji kitab Sunan al-Nasa’i, ia akan terpesona dengan keindahan dan kebagusan kata-katanya.”

Tidak ditemukan riwayat yang jelas tentang afiliansi pandangan fiqh beliau, kecuali komentar singkat Imam Madzhab Syafi’i. Pandangan Ibn al-Atsir ini dapat dimengerti dan difahami, karena memang Imam al-Nasa’i lama bermukim di Mesir, bahkan merasa cocok tinggal di sana. Beliau baru berhijrah dari Mesir ke Damsyik setahun menjelang kewafatannya.

Karena Imam al-Nasa’i cukup lama tinggal di Mesir, sementara Imam al-Syafi’i juga lama menyebarkan pandangan-pandangan fiqhnya di Mesir (setelah kepindahannya dari Bagdad), maka walaupun antara keduanya tidak pernah bertemu, karena al-Nasa’i baru lahir sebelas tahun setelah kewafatan Imam al-Syafi’i, tidak menutup kemungkinan banyak pandangan-pandangan fiqh Madzhab Syafi’i yang beliau serap melalui murid-murid Imam al-Syafi’i yang tinggal di Mesir. Pandangan fiqh Imam al-Syafi’i lebih tersebar di Mesir ketimbang di Baghdad. Hal ini lebih membuka peluang bagi Imam al-Nasa’i untuk bersinggungan dengan pandangan fiqh Syafi’i. Dan ini akan menguatkan dugaan Ibn al-Atsir tentang afiliasi mazhab fiqh al-Nasa’i.

Pandangan Syafi’i di Mesir ini kemudian dikenal dengan qaul jadid (pandangan baru). Dan ini seandainya dugaan Ibn al-Atsir benar, mengindikasikan bahwa pandangan fiqh Syafi’i dan al-Nasa’i lebih didominasi pandangan baru (Qaul Jadid, Mesir) ketimbang pandangan klasik (Qaul Qadim, Baghdad).

Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa Imam al-Nasa’i merupakan sosok yang berpandangan netral, tidak memihak salah satu pandangan mazhab fiqh manapun, termasuk pandangan Imam al-Syafi’i. Hal ini seringkali terjadi pada imam-imam hadis sebelum al-Nasa’i, yang hanya berafiliasi pada mazhab hadis. Dan independensi pandangan ini merupakan ciri khas imam-imam hadis. Oleh karena itu, untuk mengklaim pandangan Imam al-Nasa’i telah terkontaminasi oleh pandangan orang lain, kita perlu menelusuri sumber sejarah yang konkrit, bukannya hanya berdasarkan dugaan.1

 


1www.2lisan.com

sistematika isi kitab sunan al-nasai

4. sistematika isi kitab

Daftar Isi Kitab Sunan Nasa’I (Cetakan Mustafa al Halabi 1964 M/1383H)

1. Ath thaharah.

2. Al miyah.

3. Al haidh.

4. Al ghuslu wa At- tayamum.

5. Ash shalat.

6. Al mawaqiit.

7. Al adzan.

8. Al masajid.

9. Al qiblah.

10. Al imamah.

11. Iftitah shalat.

12. At tatbiiq.

13. As sahwu.

14. Al jumu’at.

15. Taqsir shalat fi safar.

16. Al kusuf.

17. Al istisqa.

18. Shalat khauf.

19. Shalat al ‘idain.

20. Qiyam lail wa tathawwu’ nahar.

21. Al janaiz.

22. Ash shiyam.

23. Az zakat.

24. Manasik haji.

25. Al jihad.

26. An nikah.

27. Ath thalaq.

28. Al khail.

29. Al ahbas.

30. Al washaya.

31. An nihl.

32. Al hibah.

33. Ar ruqba.

34. Al ‘umri.

35. Al aimaan wan nudzur wal muzara’ah


36. ‘Isyratun nisa.

37. Tahrim dam.

38. Qasm fai.

39. Al bai’at.

40. Al aqiqah.

41. Al far’u wal ‘atirah.

42. Ash shaid wadz dzabaih.

43. Adh dhahaya.

44. Al buyu’.

45. Al qosamah.

46. Qot’u sariq.

47. Al iman wa syara’ihu.

48. Az zinah.

49. Aadab qodha.

50. Al isti’adzah.

51. Al asyribah


 

Kalau kita mengklasifikasikan isi kitab tersebut adalah sebagaimana berikut ini :

1. Dari kitab pertama sampai kitab ke dua puluh satu adalah tentang thaharah dan shalat. Namun beliau lebih memperbanyak masalah shalat.


2. Beliau mengedepankan kitab shaum dari kitab zakat.

3. Beliau memberi jarak antara pembahasan “pembagian rampasan perang” dengan “jihad”.


4. Beliau juga memisahkan antara pembahasan al khail dengan jihad.


5. Imam nasai membuat kitab khusus tentang wakaf (ahbas), juga kitab wasiat dengan tersendiri, pula kitab an nihl (pemberian untuk anak), kitab hibah, tanpa ada kitab faraidh (pembagian waris).


6. Beliau memisah antar kitab asyribah dengan kitabshaid dan dzabaih. Juga beliau memisahkan kitab-kitab tadi dengan kitab dhahaya


7. Beliau mengakhirkan kitab iman.


8. Kitab iman dengan kitab isti’adzah sajalah yang tidak membahas tentang hukum.

Metode penghimpunan sunan al-nasai

3. Metode Penghimpunan

Adapun metode penyusunan yang digunakan oleh imam nasa’i adalah metode kitab sunan yaitu kitab yang disusun berdasarkan bab-bab fiqh:

Pertama : Hadis-hadis sahih seperti yang termuat dalam koleksi Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.

Kedua : Hadis-hadis yang derajat penerimaannya memenuhi kriteria Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, yakni bila para perawi pendukung sanad tidak satupun disepakati oleh kalangan muhaddisin penolakan riwayatnya, shahih segi periwayatan dan muttasil (tak ada indikasi mursal atau munqati’).

Ketiga : Hadis-hadis yang cukup populer dikalangan pabilc ulama fuqaha yang hidup pada periode Imam al-Nasa’i betapa tidak ada jaminan mutu kesahihannya. Walau demikian sekira pada hadis tersebut menyimpan unsur ‘illat, pasti oleh Imam al-Nasa’i dijelaskan permasalahan ‘illatnya. Bahkan bila diketahui bahwa hadis itu munkar, pasti secara terbuka diakui secara jujur kemungkarannya.

 

kandungan hadits sunan al-nasai

2. Kandungan Hadits

Kitab Sunan al-nasa’I terdiri dari 4 jilid, setiap jilid terdiri dari 2 juz.

  1. Juz 1 berisi hadits ke 1 sampai hadits ke 621.

  2. Juz 2 berisi hadits ke 622 sampai hadits ke 1174.

  3. Juz 3 berisi hadits ke 1175 sampai hadits ke 1813.

  4. Juz 4 berisi hadits ke 1914 sampai hadits ke 2430.

  5. Juz 5 berisi hadits ke 2431 sampai hadits ke 3081.

  6. Juz 6 berisi hadits ke 3082 sampai hadits ke 3765.

  7. Juz 7 berisi hadits ke 3766 sampai hadits ke 4714.

  8. Juz 8 berisi hadits ke 4715 sampai hadits ke 5769.


Jadi jumlah keseluruhan hadits adalah 5769 hadits.1


1 Kitab sunan An- Nasa’i

Kitab-Kitab Sunan al-Nasai

1.4. Kitab- kitab sunan An- Nasa’i

Karangan-karangan beliau yang sampai kepada kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara lain: Al-Sunan Al-Kubra, Al-Sunan Al-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab Al-Sunan Al-Kubra), Al-Khashais, Fadhail Al-Shahabah, dan Al-Manasik yang paling terkenal adalah Sunan An- Nasa’i. Menurut sebuah keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn al-Atsir al-Jazairi dalam kitabnya Jami al-Ushul, kitab Al- Manasik ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi`i.

Untuk pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan al-Nasa`i, kitab ini dikenal dengan al-Sunan al-Kubra. Setelah tuntas menulis kitab ini, beliau kemudian menghadiahkan kitab ini kepada Amir Ramlah (Walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan. Amir kemudian bertanya kepada al-Nasa`i, “Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadis shahih?” Beliau menjawab dengan kejujuran, “Ada yang shahih, hasan, dan adapula yang hampir serupa dengannya”. Kemudian Amir berkata kembali, “Kalau demikian halnya, maka pisahkanlah hadist yang shahih-shahih saja”. Atas permintaan Amir ini, beliau kemudian menyeleksi dengan ketat semua hadist yang telah tertuang dalam kitab al-Sunan al-Kubra. Dan akhirnya beliau berhasil melakukan perampingan terhadap al-Sunan al-Kubra, sehingga menjadi al-Sunan al-Sughra. Dari segi penamaan saja, sudah bisa dinilai bahwa kitab yang kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab yang pertama.

 

Imam al-Nasa`i sangat teliti dalam menyeleksi hadist-hadist yang termuat dalam kitab pertama. Oleh karenanya, banyak ulama berkomentar “Kedudukan kitab al-Sunan al-Sughra dibawah derajat Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Di dua kitab terakhir, sedikit sekali hadist dhaif yang terdapat di dalamnya”. Jadi, karena hadis-hadis yang termuat di dalam kitab kedua (al-Sunan al-Sughra) merupakan hadist-hadist pilihan yang telah diseleksi dengan sangat ketat, maka kitab ini juga dinamakan al-Mujtaba. Pengertian al-Mujtaba bersinonim dengan al-Maukhtar (yang terpilih), karena memang kitab ini berisi hadis-hadis pilihan, hadis-hadis hasil seleksi dari kitab al-Sunan al-Kubra.

Disamping al-Mujtaba, dalam salah satu riwayat, kitab ini juga dinamakan dengan al-Mujtana. Pada masanya, kitab ini terkenal dengan sebutan al-Mujtaba, sehingga nama al-Sunan al-Sughra seperti tenggelam ditelan keharuman nama al-Mujtaba. Dari al-Mujtaba inilah kemudian kitab ini di kenal dengan sebutan Sunan al-Nasa`i, sebagaimana kita kenal sekarang. Dan nampaknya untuk selanjutnya, kitab ini tidak akan mengalami perubahan nama seperti yang terjadi sebelumnya.1

 


1 Wikipedia org diakses pada 15.05/01/10/2010

Rihlah Ilmiah Imam Nasai

1.3. Rihlah Ilmiah1

Beliau menerima Hadits dari Sa'id, Ishaq bin Rawahih dan ulama-ulama lainnya selain itu dari kalangan tokoh ulama ahli hadits yang berada di khurasan, Hijaz, Irak, Mesir, Syam, dan Jazirah Arab. Ia termasuk diantara ulama yang ahli di bidang ini dan karena ketinggian sanad haditsnya. Ia lebih kuat hafalannya menurut para ulama ahli hadits dari Imam Muslim dan kitab Sunan An Nasa`i lebih sedikit hadits dhaifnya (lemah) setelah Hadits Sahih Bukhari dan Sahih Muslim.

Para guru beliau yang nama harumnya tercatat oleh pena sejarah antara lain; Qutaibah bin Sa`id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud), serta Imam Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun al-Jami`/Sunan al-Tirmidzi).

Sementara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah beliau, antara lain; Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu`jam), Abu Ja`far al-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr al-Dalaby, dan Abu Bakr bin Ahmad al-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai “penyambung lidah” Imam al-Nasa`i dalam meriwayatkan kitab Sunan al-Nasa`i.

Dapat dipahami dikalangan peminat kajian hadist dan ilmu hadist, para imam hadist merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadist sering kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga nilainya.


1 ibid

KONDISI Sisial Politik Imam Nasai

1.2. Kondisi Sosial Politik

Imam al-Nasa’i berada di Syiria, sebuah wilayah yang mayoritas penduduknya fanatik mendukung dinasti Amawiyah (raja-raja keturunan Mu’awiyah bin Abi Sufyan). Gara-gara buku karangan beliau berjudul al-Kasa’is yang merangkum reputasi kepribadian, keilmuan dan prestasi kepahlawanan militer Ali bin Abi Thalib serta ahlul-bait (keluarga besar Nabi Muhammad SAW) beliau dituduh sebagai agen politik syi’ah. Lebih-lebih ketika diminta sikap keterbukaannya mengenai penilaian prestasi dan reputasi mu’awiyah bin Abi Sufyan, justru beliau bersikap sinis. Ekor dari tuduhan dan peristiwa itu masyarakat Syiria mengintimidasi (menekan) bahkan sampai berupa penganiayaan fisik seperti yang berlangsung di halaman Masjid Jami’ ibukota Syiria. Dalam kondisi kritis Imam al-Nasa’i diboyong ke kota Ramlah (Palestina) dan akhirnya meninggal hari Senin, 13 Syafar 303 H. dan tempat pemakamannya di Baid al-Maqdis. Demikian menurut al-Thahawi dan al-Jahabi. Pendapat lain seperti di tulis oleh Abu Abdillah Ibnu Mandah, sejarawan al-Khilikan dan Jalaluddin al-Sayuthi menunjuk permintaan Imam al-Nasa’i agar dirinya yang dalam kondisi kritis itu di boyong ke Makkah dan disanalah beliau meninggal dunia pada hari/tanggal/tahun seperti di atas dan dikebumikan antara Safa dan Marwah.
Sebenarya naluri kultus Imam al-Nasa’i tertuju kepada pribadi Ali bin Abi Thalib beserta ahlul-bait Nabi, bukan tertuju kepada aliansi Syi’ah, sebab motif karangan Imam al-Nasai berjudul “al-Khasais” itu ditulis dalam rangka menetralisir persepsi buruk masyarakat muslim di wilayah Damascus yang amat memprihatinkan. Dengan informasi data pribadi Ali bin Abi Thalib beserta pribadi menonjol di lingkungan ahlul-bait Nabi, diharapkan sifat positif masyarakat Damascus dapat menilai para leluhur umat Islam secara proporsional. Simpati pribadi Imam al-Nasa’i sebenarnya berlaku sama kepada semua sahabat Nabi Muhammad SAW, terbukti karangan beliau yang lain berjudul “Fadha-il al-Sahabah” menjadi semacam perluasan dari karangan ter-dahulu bertitel al-Khasais itu. Dengan demikian beliau menjadi korban kebrutalan massa pendukung Dinasti Amawiyah.

 

IMAM NASAI

SUNAN NASA’I 1. IMAM NASA’I 1.1. Biografi1 Imam Nasa`i dengan nama lengkapnya Ahmad bin Syu'aib Al Khurasany, terkenal dengan nama An Nasa`i karena dinisbahkan dengan kota Nasa'i salah satu kota di Khurasan. Ia dilahirkan pada tahun 215 Hijriah di Iran demikian menurut Adz Dzahabi dan meninggal dunia pada hari Senin tanggal 13 Shafar 303 Hijriah di Palestina lalu dikuburkan di Baitul Maqdis.

contoh SURAT GUGATAN PERCERAIAN

SURAT GUGATAN PERCERAIAN Kepada Yth: Bapak/Ibu Ketua Pengadilan Negeri/Agama [...................] Di Tempat Dengan hormat ...