Minggu, 12 November 2017

Ibrahim Hosen

  1. Profil Ibrahim Hosen
Ibrahim Hosen dilahirkan di Tanjung Agung, pada tanggal 1 Januari 1917. ayahnya bernama KH. Hosen, seorang ulama dan saudagar besar keturunan Bugis. Sedangkan ibunya bernama Siti Zawiyah, seorang anak bangsawan dari keluarga ningrat.[1] Beliau wafat pada 7 November 2001.
Dari latar belakang yang sudah diketahui, jelaslah bahwa beliau menurunkan dua sifat penting yaitu kepemimpinan dan kafasihan dalam ilmu agama, beliau merupakan salah satu ulama besar yang ada di Indonesia.[2]
Ibrahim Hosen dibesarkan dalam keluarga yang serba ada, beliau dicukupi dengan ilmu agama sejak kecil. Beliau belajar Al-Qur�an dan ilmu agama dari ayahnya dan para ulama di Bengkulu. Sejak kecil kecerdasan sudah merupakan ciri khasnya, hal ini yang menjadikan beliau sebagai murid yang teramat disayangi oleh para gurunya. [3]
Sewaktu ayahnya pindah ke Singapura beliau memulai sekolahnya di sekolah As-Saqqaf, Singapura. Pada tahun 1934, Ibrahim Hosain menapakkan kakinya di pulau jawa. Tempat yang pertama kali menjadi persinggahannya adalah Pesantren yang diasuh oleh KH. Abdul latief di Cibeber, Cilegon di kawasan Banten. Tetapi ia hanya tinggal selama 2 bulan. Kemudian ia melanjutkan pengembaraannya menuju Jameat al-Khaer, Tanah Abang. Tujuanya adalah ingin belajar kepada Sayyid Ahmad al-Segaf, seorang ulama� yang sangat pandai dalam ilmu bahasa dan sastra Arab. Pada tahun yang sama, Ibrahim meneruskan ke Pesantren lontar, Serang Banten yang diasuh oleh KH. TB. Soleh Makmun (di Arab dikenal dengan Syeh Makmun al-Khusairi) yang ahli dalam bidang Qira�at dan Tilawah al-Qur�an. Kemudian, Ibrahim pergi ke Buntet untuk berguru kepada ulama besar, yaitu KH. Abbas, seorang murid KH. Hasyim Asy�ari pendiri NU. Dengan Kyai Abbas, walaupun hanya sebentar, yaitu 4 bulan, Ibrahim sudah dianggap cukup. Sehingga disarankan untuk untuk melanjutkan belajarnya di Solo atau ke Gunung Puyuh, Sukabumi. Ketika berpamitan untuk pulang hendak pulang, Ibrahim diberi 2 (dua) mangga Hrumanis dan sebuah sajadah Kurdi dari Wol. Entah apa maksud dibalik itu. Tapi, Ibrahim menyimpulkan, bahwa mangga adalah lambing pergaulan dengan rakyat, sedangkan sajadah adalah symbol untuk terus-menrus berbakti kepada Allah Swt. Dalam kesempatan itu pula KH. Abbas berpesan kepada Ibrahim; �Fiqh itu luas. Jangan hanya terpaku pada sastu mazhab. Contoh, menurut Syafi�I, tidak sah nikah kecuali ada wali dan saksi. Menurut Malik, harus pakai Wali. Kalau tidak pakaisaksi cukup dengan I�lan. Menurut daid Zahiri, sah nikah walaupun tanpawali dan saksi. Lanjutnya, jika seorang menggunakan mazhab Zahiri dan dia merahasiakannya pada masyarakat agar tidak diketahui qadhi. Kalau qadhi tahu, maka ia kan bertanya, siapa perempuan itu ?, jawab saja �temanku�. Tentu masalahnya selesai. Tetapi kalau dijawab bahwa perempuan itu adalah �istriku�, maka qadhi bertanya, kapan nikahnya, siapa walinya, dan siapa saksinya ?, dijawan �aku nikah tanpa wali dan tanpa saksi�. Jika qadhi menyatakan nikahnya batal, maka batallah pernikahan tersebut. Tetapi jika tidak ada reaksi qadhi, maka pernikahan tersebut tidak batal.
Setelah itu, Ibrahim pergi ke Solo untuk menemui Sayyid Ahmad al-Segaf untuk memperdalam bahasa Arab dan Muhsin al-Segaf (kakak Ahmad al-Segaf) memperdalam fiqh. Kemudian melanjutkan pendidikannya di Gunung Puyuh, Sukabumi yang dipimpin oleh KH. Sanusi. Dalam asuhan KH. Sanusi, Ibrahim mempelajari kitab al-Um, Balaghah, dan lain-lain selama 5 bulan. Hal inildilakukan oleh Ibrahim Hosen karena ketaatannya kepada KH. Abbas. (Panitia Penyusunan, 1990 : 1).
Pada tahun 1940, ia diterima sebagai mahasiswa di Universitas al-Azhar, dengan memperoleh beasiswa dari al-Azhar Mesir. Tetapi kenyataan bekata lain, karena Ibrahim tidak bisa berangat ke Mesir. Konsul Belanda di Palembang tidak mau memberikan paspor bagi Ibrahim, karena bersamaan dengan itu Polandia di serang oleh tentara Nazi Jerman, sebagai awal pecahnya perang dunia II. Dengan alasan situasi dunia yang tidak menggembirakan, termasuk Mesir. Tetapi baru pada tahun 1955, Ibrahim benar-benar pergi ke Mesir. Selama belajar di Mesir inilah, ia dapat meraih Syahadah Aliyah atau sarjana lengkap dalam bidang syari�ah (LML).
Ibrahim Hosen adalah tokoh yang mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berbeda-beda. Perjalanan pendidikannya dari pesantren satu ke pesantren yang lain menjadi bukti akan hal itu. Berbagai guru dengan latar belakang berbeda menyatu dalam dirinya. Interkasinya dengan NU, Jame�at al-Khaer, dan Muhammadiyah membuat beliau mudah diterima berbagai kalangan.
Pada 1954, Ibrahim Hosen mengikuti Tarjih Besar Muhammadiyah di Yogyakarta. Beliau menjadi wakil Majlis Tarjih Muhammadiyah Wilayah Bengkulu, karena memang tercatat sebagai anggota. Pernah ditawari sebagai Rois Syruriah PBNU oleh KH. Bisri Sansuri dan KH. Muhammad Dachlan pada Muktamar NU ke 25 di Surabaya.
Beberapa saat kemudian Beliau lantas �nyantri� pada Sayyid Ahmad, di Solo, dan mengaji kitab Al Umm karya Imam Syafi’i pada KH Sanusi di Sukabumi, Jawa Barat. Studi pamungkasnya dirampungkan beliau di Fakultas Syari’ah, Universitas Al-Azhar, Kairo . jurusan Syari�ah dan meraih gelar S1 pada tahun 1960.
Sewaktu beliau di Mesir beliau menggunakan kesempatan itu untuk berguru dan menggali ilmu agama sedalam-dalamnya, maka beliau berguru Nahwu-Sharaf kepada Prof. Dr Ahmad Kuhel dan berguru Ilmu Balaghah kepada Prof. Dr. Hassan Gad. Dan mendalami ilmu Ushul Fiqih kepada Prof.Dr. Abu Anwar Zuhair, Semoga Allah merahmati mereka semua.
Bekal itulah yang kelak mendorong beliau mendirikan Perguruan Tinggi Ilmu Alqur’an (khusus pria, 1971) dan Institut Ilmu Alqur’an (khusus wanita). Mahasiswanya wajib menghafal Alqur’an. Dari Serang, beliau beliau menuju Pesantren Buntet, Cirebon, belajar ilmu mantiq, fikih, dan ushul fiqh pada KH Abbas. Pesan Kiai Abbas pula yang membentuk cara pandang beliau hingga kini. “Fikih itu luas. Jangan terpaku pada satu mazhab.” ujarnya.
Institut Ilmu Alqur’an didirikan oleh Prof. KH Ibrahim Hosen, LML pada 1 April 1977, beliau adalah rektor Institut Ilmu Alqur’an dari awal didirikan hingga beliau wafat pada 7 Nopember 2001. Beliau kemudian digantikan oleh Prof. KH Alie Yafie. Institut Ilmu Alqur’an didirikan khusus untuk perempuan, dengan keutamaan wanita menghafal, memahami, dan mengamalkan isi Alqur’an.
Selain itu beliau menjabat sebagai Rektor IIQ Jakarta, beliau juga pernah menjabat sebagai ketua komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia dan anggota Kementrian Agama .[4]
  1. Metode Berpikir Ibrahim Hosen
Ijtihad menurut Ibrahim hosen, menurut bahasa, ijtihad berarti “pengerahan segala kemampuan untuk� mengerjakan� sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak� tepat� apabila� kata� “ijtihad”� dipergunakan�� untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Pengertian� ijtihad� menurut� bahasa� ini� ada� relevansinya
dengan pengertian� ijtihad� menurut� istilah,� dimana� untuk melakukannya� �diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu� (ijtihad)� dilakukan� sembarang orang.
Di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. mereka memberikan batasan� bahwa� ijtihad adalah� “penelitian� dan pemikiran �untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah� dan� Sunnah� Rasul,� baik yang� terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan
qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu� diperoleh� dari maksud� dan� tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang terkenal dengan “mashlahat.”
Dalam kaitan pengertan� ijtihad� menurut� istilah,� ada� dua kelompok� ahli �ushul� flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan� definisi. Dalam� tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.
Menurut�� mereka,�� ijtihad�� adalah�� pengerahan��� segenap kesanggupan� dari� seorang� ahli� fxqih� atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap� sesuatu� hokum syara’ (hukum Islam).� Dari� definisi� tersebut� dapat� ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.������� Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2.������� Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,
3.������� Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi� ijtihad� diatas maka� dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum.� Dalam� hubungan� ini komentator� ��Jam’u�� ‘l-Jawami’�� (Jalaluddin�� al-Mahally) menegaskan, “yang dimaksud ijtihad adalah� bila� dimutlakkan maka� ijtihad� itu� bidang� hukum� fiqih/hukum furu’. [5] Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak� yang mengatakan� bahwa� ijtihad� juga� berlaku� di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori� al-Jahidh, salah seorang tokoh mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di� bidang� aqidah.� Pendapat� ini� bukan� saja menunjukkan�� inkonsistensi� terhadap� suatu� disiplin� ilmu (ushul� fiqh),� tetapi�� juga�� akan�� membawa�� konsekuensi pembenaran� terhadap� aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur ‘ulama’ telah bersepakat bahwa� ijtihad� hanya berlaku��� di��� bidang��� hukum��� (hukum�� Islam)� �dengan ketentuan-ketentuan tertentu.
Ibrahim Hosen memiliki empat langkah ijtihad, yakni: 1) menggalakkan lembaga ijtihad; 2) mendudukkan fiqih pada proporsi yang semestinya; 3) mengembangkan pendapat bahwa orang awam tidak wajib terikat dengan mazhab manapun; 4) mengembangkan rasa dan sifat tasamuh dalam bermazhab. Sementara pemikiran lainnya, lebih melihat konsepsi metodologi yang dikembangkan oleh ulama-ulama terdahulu, baik kaidah-kaidah kebahasaan, maupun kaidah-kaidah legislasi hukum Islamnya.[6][7]
Di atas telah ditegaskan� bahwa� ijtihad� hanya� berlaku� di
bidang� hukum. Lalu, hukum Islam yang mana saja yang mungkin
untuk di-ijtihad-i. Adakah hal itu berlaku� di� dunia� hokum (hukum Islam) secara mutlak.
Ulama� telah� bersepakat� bahwa� ijtihad� dibenarkan,� serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan� membawa� rahmat� manakala� ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan� dan� dilakukan� di� medannya� (majalul ijtihad). Lapangan atau medan dimana ijtihad dapat memainkan peranannya adalah:
  1. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash al-Qur’an atau Sunnah secara jelas.
  2. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma’i oleh ulama atau aimamatu ‘l-mujtahidin.
  3. Nash-nash Dhanny dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan.
  4. Hukum Islam yang ma’qulu ‘l-ma’na/ta’aqquly (kausalitas hukumnya/’illat-nya dapat diketahui mujtahid).
Jadi, kalau kita akan melakukan reaktualisasi� hukum� Islam, disinilah�� seharusnya� kita� melakukan� terobosan-terobosan baru. Apabila ini yang kita lakukan dan� kita� memang� telah memenuhi persyaratannya maka pantaslah kita dianggap sebagai mujtahid di abad modern ini yang akan didukung semua pihak.
Sebaliknya� ulama� telah� bersepakat� bahwa� ijtihad�� tidak berlaku atau tidak dibenarkan pada:
  1. Hukum Islam yang telah ditegaskan nash al-Qur’an atau Sunnah yang statusnya qath’iy (ahkamun manshushah), yang dalam istilah ushul fiqih dikenal dengan syari’ah atau “ma’ulima min al-din bi al-dlarurah.”
Atas dasar itu maka muncullah ketentuan, “Tidak berlaku ijtihad pada masalah-masalah hukum yang ditentukan berdasarkan nash yang status dalalah-nya qath’i dan tegas.”
Bila kita telaah, kaidah itulah yang menghambat aspirasi sementara kalangan yang hendak merombak hukum-hukum Islam qath’i seperti hukum kewarisan al-Qur’an.
  1. �Hukum Islam yang telah diijma’i ulama.
  2. �Hukum Islam yang bersifat ta’abbudy/ghairu ma’quli ‘lma’na (yang kausalitas hukumnya/’illat-nya tidak dapat dicerna dan diketahui mujtahid).
Disamping ijtihad tidak berlaku atau tidak mungkin dilakukan pada ketiga macam hukum Islam di atas, demikian juga ijtihad akan gugur� dengan� sendirinya� apabila� hasil� ijtihad� itu berlawanan� dengan� nash.� Hal� ini� sejalan� dengan kaidah, “Tidak ada ijtihad dalam melawan nash.”[8]
Ijtihad dilegalisasi bahkan sangat� dianjurkan� oleh� Islam. Banyak� ayat� al-Qur’an� dan� Hadits� Nabi� yang menyinggung masalah ini. Islam bukan� saja� memberi� legalitas� ijtihad, akan�� tetapi� juga� mentolerir� adanya� perbedaan� pendapat sebagai hasil ijtihad. Hal ini antara� lain� diketahui� dari Hadits Nabi yang artinya,
“Apabila� seorang� hakim� akan� memutuskan� perkara, lalu ia melakukan� ijtihad,� kemudian� ijtihadnya� benar,� maka�� ia memperoleh�� dua�� pahala�� (pahala�� ijtihad�� dan�� pahala kebenarannya). Jika hakim akan memutuskan� perkara,� dan� ia berijtihad,�� kemudian�� hasil� ijtihadnya� salah,� maka� ia
mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya).” (Riwayat� Bukhari Muslim).[9][10]
Dalam hal penafsiran Ibrahim hosein memaknai ayat lebih memilih ayat mujmal, seperti yang menyatakan bahwa wanita dan lelaki mendapat bagian dari peninggalan orang tua dan kerabat mereka, sebagai aturan yang qat�i yang harus menjadi dasar pokok. Sedangkan ayat mufassar yang terperinci, seperti ayat tentang bagian wanita setengah bagian warisan laki-laki, hanyalah contoh penerapan sezaman dari prinsip umum pada ayat mujmal di atas, jadi boleh saja berubah pemahamannya. Sedangkan Hosen membagi nass qat�i ke dalam : fi Jami� al-Ahwal (berlaku dalam segala kondisi), dan fi Ba�di al-Ahwal (berlaku dalam sebagian kondisi). Contoh bagian pertama adalah bahwa sholat Magrib itu 3 (tiga) rakaat dan Subuh itu 2 (dua) rakaat, keduanya tidak bisa di qasr. Ini tidak bisa di-ijtihad-kan lagi. Contoh bagian kedua adalah ayat potong tangan bagi pencuri, ini bisa ditinggalkan karena taubat atau dimaafkan.[11]
Umumnya tuntutan-tuntutan rekonsepsi itu didasarkan pada semangat reaktualisasi ajaran hukum Islam yang menghendaki tinjauan ulang sifat hukum Islam antara keabadian dan perubahannya.
Realitas obyektif menunjukkan fakta bahwa hukum Islam saat ini mengalami proses irrelevansi dan hampir tidak mempunyai hubungan pengaruh dalam kehidupan modern. Salah satu penyebabnya adalah bahwa hukum islam lebih berat berpihak kepada idealisme, bukan pada realisme konkrit. Akibatnya hukum Islam lebih mengekpresikan hal-hal ideal daripada hal-hal riil, lebih menekankan pada hal-hal maksimal, bukan yang minimal.
pada sisi epistemologinya dalam mengeluarkan sebuah produk hukum. Menurutnya, Ibrahim memiliki geneologi pemikiran yang coraknya lebih ke ushul fikih yang memiliki kesamaan dengan seorang ulama fikih masa kolonial, Syaikh Utsman. Menurut Muslimin, Ibrahim tidak lebih dari duplikasi ulama tersebut. Kesamaan itu bisa dilihat pada pandangannya bahwa dalam pemutusan sebuah hukum sangat terkait dengan mas�likul �illat, prosedur argumentasinya.
Hukum tidak tergantung pada sebuah benda, tapi hukum terkait dengan perbuatan manusia. Dalam ushul fikih ada kaidah yang mengatakan bahwa jurispredensi Islam adalah khit�bulL�h al-muta�alliq bi af�alil mukallaf�n. Artinya, ia adalah firman Allah yang terkait langsung dengan perbuatan mukallaf, individu. Ibrahim Husein mempertegas bahwa tidak ada yang namanya uang haram. Yang bisa dihukumi haram adalah perbuatan seseorang yang melakukan suatu tindakah tertentu.[12]
  1. Poin-Poin Pemikiran Ibrahim Hossein
Gagasan Ibrahim Hosen tentang ijtihad tidak bisa dilepaskan dari konsep-konsep yang dirumuskannya mengenai dasar-dasar metodologi hukum Islam. Dan pada fiqh inilah pembaharuan hukum Islam dilakukan. Ibrahim Hosen melihat, bahwa pembaharuan hukum Islam dilakukan berdasarkan minimal tiga alasan. Pertama, setalah agak lama ide pembaharuan itu menggelora, ternyata belum ditemukan adanya patokan-patokan kongrit dari para pencetus gagasan yang mungkin dapat dijadikan landasan merealisir ide yang menarik itu. Kedua, dari para tokoh Islam yang mereka tampilkan seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani ternyata juga tidak meninggalkan patokan-patokan itu. Bahkan tidak ada kreasi baru dari mereka yang ada relevansinya dengan ide pembaharuan. Ketiga, banyaknya pertanyaan terutama dari kalangan awam yang di alamatkan kepada Ibrahim Hosen sehubungan dengan pencanangan ide dan gagasan itu.[13]
Berdasarkan teori usul fiqh, Ibrahim Hosen mengklasifikasikan Hukum Islam menjadi dua, yaitu hukum Islam Katagori Syari�ah dan hukum Islam katagori Fiqh. Syari�ah adalah hukum Islam yang dijelaskan secara tegas di dalam al-Qur�an atau Sunnah yang tidak mengandung penafsiran atau penakwilan. Sedangkan fiqh adalah hukum Islam yang tidak/belum ditegaskan oleh nas al-Qur�andan Sunnah di mana hal itu barui diketahui melalui ijtihad. Dari segi status dan penerapan antara syari�ah dan fiqh tidak sama. Syari�ah statusnya qot�I, sedangkan fiqh statusnya zanni.[14]
Katagori yang termasuk dalam hukum Islam rumpun syari�ah (qat�i) adalah ma �ulima min al-din bi al-darurah (sesuatu yang diketahui dari agama secara pasti) dan Mujma� alaih (yang disepakati ulama�). Sedangkan hukum Islam kategori fiqh (zanni) adalah hukum-hukum yang ditetapkan melalui ijtihad bi al-ra�yi (ijtihad dengan akal) dalam arti luas.
Menurut Ibrahim Hosen, Hukum Islam yang berstatus syari�ah (Qat�i) jumlahnya relatif sedikit dibandingkankan dengan hukum Islam kategori fiqh. Sebab wahyu telah terputus dengan wafatnya Rasulullah Saw. sementara itu persoalan bar uterus bermunculan dan hal ini harus dijawab oleh ijtihad. Contoh syari�ah, misalnya, salat lima waktu, puasa, zakat, haji, keharaman makan bangkai dan darah, durhaka kepada dua orang tua, mencuri sumpah palsu, dan lain sebagainya. Contoh fiqh, misalnya, hal-hal yang berkenaan dengan teknis dan pelaksanaan ibadah-ibadah wajib di atas, batas-batas menutup aurat, masalah asuransi, dan lain sebagainya.
Berdasarkan pengklasifikasian ini, Ibrahim Hosen menyatakan bahwa hukum Islam kategori Syariah tidak diperlukan ijtihad karena kebenarannya bersifat absolute/mutlak, seratus persen, tidak bisa ditambah atau dikurangi. Dari segi penerapan, situasi dan kondisi harus tunduk kepadanya, ia berlaku umum tidak mengenal waktu dan tempat. Sedangkan kategori fiqh kebenarannya relatif, ia benar tetapi mengandung kemungkinan salah atau salah tetapi mengndung kemungkinan benar. Dan dari segi aplikasi, fiqh justru harus sejalan dengan, atau mengikuti kondisi dan situasi, untuk siapa dan di mana ia akan diterapkan.[15] Disebut sebagai kebenaran nisbi/relative, sebab merupakan zann seorang mujtahid mengenai hukum sesuatu yang dianggapnya sebagai hukum Allah melalui ijtihad. Seraya tetap harus sejalan dengan tujuan dan semangat hukum Islam, yaitu menciptakan kemaslahatan dan menghindari kemfsadatan. (Hosen : 59).
Sebelum melakukan pembaharuan, Ibrahim Hosen menyatakan ada prinsip dasar yang perlu diluruskan dan dimantapkan terlebih dahulu. Beberapa prinsip dasar itu adalah; Eksistensi berbagai agama, Islam agama dakwah, dan hubungan muslim dengan non-muslim. (Panitia Penyusunan, 1990 : 90-132).
1.����� Eksistensi Berbagai Agama
Perbedaan-perbedaan agama di dunia harus dilihat sebagai ketentuan Allah atau Sunnatullah. Adalah wajarkalau di bumi ini kita dapati berbagai macam agama dan paham. Sebab Allah sendiri tidak menghendaki manusia seluruhnya ini berada di bawah panji-pani din al-Islam. Hal ini telah nyata ditetapkan dalam al-Qur�an surat Yunus ayat 99, Hud 118, dan al-Nahl ayat 93. Di sinilah dibedakan antara perintah dan kehendak. Seluruh manusia diperintahkan Allah beriman, tetapi tidak semua dikehendaki untuk beriman.� Atas dasar semua ini, hendaknya toleransi dan kerukunan umat beragama harus ditegakkan.
2.����� Islam Agama Dakwah
Adanya berbagai agama membawa konsekwensi perlu diciptakannya toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Toleransi dan kerukunan akan dapat dicitakan apabila penyebaran agama Islam dilakukan melaui dakwah, tidak dengan paksaan atau kekerasan. Oleh karena itu sesuai dengan namanya �Islam� yang berarti damai tau kedamaian serta sesuai dengan misi Islam yaitu �rahmat al-alamin� maka penyebaran islam dilakukan dengan jalan damai dan dakwah. Kemudian, bagamamana dakwah itu dilakukan ?. Al-Qur�an telah mengaarkan bagaimanakita berdakwah. Hal initermaktub dalam surat al-Nahl ayat 125.
3.����� Hubungan Muslim dengan Non-muslim
Sebagai kelanjutan dari Islam sebagai Agama dakwah dengan menciptakan toleransi dan kerukunan, maka hubungan yang dibangun adalah hubungan kedamaian. Adalah tidak konsekwen kalau Islam telahmendudukkan dirinya sebagai agama dakwah, tetapi dalam hubungannya dengan non-muslim islam memproklamirkan permusuhan.
Bertolak dari prinsip-prinsip di atas Ibrahim Hosen kemudian merumuskan kerangka landasan pemikiran yang dapat dinilai sebagai metodologi untuk melakukan pembaharuan hukum Islam. Secara sistematis Ibrahim Hosen menyusun kerangka landasan pemikiran Islam, yaitu; (1) pemahaman terhadap al-Qur�an/Kitabullah, (2) pemahaman terhadap al-Sunnah/Hadith, (3) pendekatan ta�aqquli, (4) Masalah Ijma�, (5) pendekatan zawajir pada hukum pidana, (6) penggalakan maslahah mursalah, (7) penggunaan kaidah irtikab akhaffi al-dhararain, (8) penggunaan dalil sad al-Zariah, (9), memfiqhkan yang qat�i.
1.����� Pemahaman tehadap al-Qur�an/Kitabullah
Selama ini banyak ulama� yang menafsirkan al-Qur�an secara harfiah, sehingga jika menemukan sesuatu yang secara harfiah tidak sesuai dengan al-Qur�an (walaupun semangatnya sesuai atau dikendaki al-qur�an maka mereka akan mengatakan, bahwa hal tersebut termasuk ancaman sebagaimana dalam surat al-Maidah ayat 44.
Bagi Ibrahim Hosen, penafsiran demikian akan sulit dilakukan ketika persoalan-persoalan baru akan muncul, sehingga dia menawarkan metode baru untuk memahami al-Qur�an tersebut, yaitu memahami al-Qur�an dalam arti semangat dan jiwanya yang disebut dengan penafsiran kontektual.
2.����� Pemahaman terhadap Sunnah/Hadith
Menurut Ibrahim Hosen, untuk melakukan pembaharuan hukum Islam di selain kitabullah adalah pemahaman tentang Sunnah/Hadith. Beliau mengklasifikasi hadith menjadi dua, yaitu yang wajib dijadikan pegangan apabila hal itu dilakukan oleh Rasulallah atas nama Rasul sebagai tasyri�ul ahkam dan yang tidak harus dijadikan pegangan karena bersifat khusus (dilakukan Rasulallah sebagai manusia biasa).
3.����� Pendekatan Ta�aqquli
Ibrahim Hosen menganggap, bahwa ulama� dahulu dalam memahami hukum Islam sering menempuh pendekatan Ta�abbudi; hukum Islam diterima apa adanya sebagai dogma yang tidak boleh dianalisa dan diberi komentar, sehinggalantaran itu hukum Islam tidak dapat ditangkap illat hukumnya, dan hikmah tasyri�nya tidak banyak terungkap. Oleh karena� dalam pembaharuan hukum Islam pendekatan ta�aqquli menjadi sebuah keniscayaan. Kemudian bagi yang selama ini dianggap ta�abbudi masih terbuka kemungkinan untuk dikategorikan sebagai hukum Islam yang bersifat ta�aqquli melalui kajian dan penelitian yang mendalam. (Lihat juga Hosen, 1996 : 23)
4.����� Masalah Ijma�
Menurut Ibrahim Hosen, Ijma� yang harus dipegangi hanyalah ijma� sahabat. Karena hanya sahabat yang punya kemungkinan melakukan ijma� selain itu tidak.
5.����� Pendekatan Zawjir pada Hukum Pidana
Ulama terdahulu dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum pidana banyak didasarkan pada pendekatan jawabir, yaitu hukuman dilaksanakan untuk menebus dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh terpidana. Sedangkan zawajir adalah hukuman yang diterapkan dengan tujuan agar pelaku kejahatan merasa kapok dan tidak akan mengulanginya lagi. Menurut Ibrahim Hosen, dalam menyelesaikan kasus�kasus pidana pendekatan zawajir lebih tepat untukdigunakan.
6.����� Penggalakan Maslahah mursalah
Berdasarkan kaidah �di mana ada kemaslahatan maka di sanalah hukum Allah�. Ibrahim Hosen berpendapat, banyak sekali masalah baru yang tidak disebutkan dalam al-Qur�an/Sunnah serta belum dapat dipecahkan dalil-dalil lain yang dapat diketahui hukumnya.
7.����� Penggunakan Kaidah Irtikab Akhaffi al-Dhararain
Menurut Ibrahim Hosen, Kaidah ini sangat tepat untup menyelesaikan permaslahan baru yang muncul yang tidak dapat dipecahkan oleh dalil-dalil yang lain.
8.����� Penggunaan Dalil Sad az-Zari�ah
Sad al-Zariah maksudnya ialah menutup jalan yang dapat menuju kepada yang dilarang oleh Islam, sebagai tindakan preventif. Bagi Ibrahim Hosen, dalil ini dapat digalakkan. Berdasarkan dalil ini, pemerintah dapat melarang penjulan bebas alat kontrasepsi misalnya, untuk mengindarkan terjadinya penyalahgunaan.
9.����� Memfiqhkan yang Qot�i
Sebagaimana di awal telah dijelaskan, bahwa nas terdapat yang qot�I dan zanni. Pada ayat yang zanni terbuka lebar untuk melakukan ijtihad. Namun demikian, menurut Ibrahim Hosen nas-nas yang qat�I al-dalalah ada diantaranya yang mengandung dimensi ta�aqquli dan zanni. Oleh karena itu, pada nas-nas yang demikian dimungkinkan untuka melakukan ijtihad atau difiqhkan. Ibrahim Hosen memberi contoh dengan sahnya talaq dari istri apabila talaq itu memang telah dilimpahkan oleh suami kepada istri.
Dengan sembilan kerangka metodologis yang ditawarkan oleh Ibrahim Hosen di atas, maka hukum Islam akan selalu bisa menyesuaikan zaman. Tetapi secara garis besar untuk membaca pemikiran Ibrahim Hosen lebih komprehensif harus diletakkan dalam konteks maqasid al-syari�ah. Karena ini sebenarnya yang dituju oleh Ibrahim Hosen.
Di antara kasus-kasus yang berhasil Ibrahim Hosen istinbathkan (mengeluarkan fatwa) hukumnya ialah :
  1. Negara/pemerintahan Indonesia adalah Negara/pemerintahan Islami
  2. Wanita boleh /mubah menjadi pemimpin (presiden)
  3. Seorang dokter mubah melihat aurat besar (kemaluan) pasiennya untuk kepentingan pemeriksaan dan pemasangan alat KB
  4. Penentuan Hilal �Ied fitri dan �Idul adhha merupakan wewenang pemerintah (ulul amri) dan bukan merupakan� wewenang suatu lembaga atau golongan Islam tertentu. Karena dalam penentuan tersebut pemerintah yang berkewajiban untuk menentukan dan masyarakat Islam wajib mengikuti ketentuan pemerintah dalam hal ini. Disamping itu, hal demikian menutup pintu perpecahan dan perselisihan antara golongan-golongan Islam.
  5. Wanita boleh menjadi Jaksa
  6. Tayamum boleh dilakukan dengan apapun yang thahir di muka bumi ini, karena kata �Sha�idan� yaitu segala sesuatu yang muncul dari muka bumi.
  7. Wanita sah menjadi imam shalat yang berma�mumkan laki-laki, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud di sunannya bahwa Ummu waraqah mengimami shalat dan ma�mumnya ketika itu adalah anak laki-laki kecil dan pamannya.
  8. Laba Bank adalah haram karena merupakan riba yang diharamkan Allah SWT
  9. Minuman yang dijadikan bahan dasar khamer dan bukan berasal dari anggur maka bila diminum tidak melebihi batasan yang memabukkan halal.
  10. Khamer yang berbahan dasar anggur, alcohol dan itanol, sebenarnya adalah bahan yang suci dan bukanlah bahan yang najis, oleh karena itu boleh seseorang menggunakan wewangian yang mengandung alcohol ketika shalat.
Dalam rangka, bagaimana hukum Islam di Indonesia dapat berjalan dengan efektif. Menurut Ibrahim Hosen, negara menjadi faktor utama untuk merealisasikannya. Karena negara yang mempunyai otoritas agar hukum Islam dapat dilaksanakan.
Dengan mengikuti pendapat al-Mawardi, Hosen menyatakan, bahwa pemerintah berfungsi sebagai pengganti Nabi dalam tugas memelihara agama dan dunia. Oleh karena itu, status hukum mendirikan negara atau mengangkat kepala negara adalah wajib. Dan hal ini, dikalangan ulama tiada perbedaan tentang status wajib tersebut. (Hosen, tt : 60, Haidar, 1998 : 25). Hanya saja, bagi Hosen status hukum tersebut, apakah wajib secara syar�i (wajib yang ditetapkan berdasarkan hukum Allah) atau wajib aqli (wajib yang berdasarkan penalaran), atau wajib syar�i sekaligus aqli.[16]
Hukum tidak tergantung pada sebuah benda, tapi hukum terkait dengan perbuatan manusia. Dalam ushul fiqh ada kaidah yang mengatakan �Kitabullah al-muta�alliq bi af�ali al-mukallafin�, firman Allah itu terkait dengan perbuatan mukallaf, individu. Definisi ini dipertegas oleh Ibrahim Hosein dengan sikapnya yang menolak adanya hukum haram pada uang. Yang haram adalah perbuatan orang dalam menggunakan uang itu.[17]
  1. Implikasi pemikiran ibrahim hosen pada masyarakat Muslim indonesia
�Ibrahim Husein termasuk sosok pembaharu hukum Islam yang cenderung berani melahirkan gagasan-gagasan revolusioner pada masanya. Sikap revolusioner pemikirannya ditampilkan dalam upayanya merelatifkan syariah. Menurutnya syariah perlu dipikirkan, perlu diletakan sebagai produk manusia yang tidak bersifat absolut.�
Demikian pernyataan kritis Abd. Moqsith. Terkait dengan pembaharuan yang dilakukan Ibrahim tentang relativitas syariah, Moqsith mengaku ingat akan sebuah pertanyaan: apakah sanksi-sanksi hukum dalam bidang kepidanaan itu berfungsi sebagai menambal dosa yang bersangkutan (jaw�bir) atau sebagai upaya menjerakan pelaku pidana (zaw�jir). Menjawab pertanyaan itu, menurutnya, Ibrahim Husein termasuk orang yang mengatakan bahwa hukum berfungsi sebagai jaw�bir.
Pada posisi ini, Ibrahim dinilai sebagai orang yang setuju bahwa sanksi hukum dalam bentuk potong tangan dan rajam tidak relevan bila diterapkan di bumi Indonesia. Potong tangan, rajam, dan cambuk, bukanlah tujuan hukum itu sendiri, melainkan lebih sebagai instrumen agar membuat pelaku pidana jera. Karenanya, dalam konteks ini syariah menjadi relatif, bisa diubah, mungkin dengan cara dipenjarakan atau semacamnya. Dalam pandangan Ibrahim, bila penjara bisa membuat para pelaku pidana menjadi jera, maka potong tangan tidak perlu dilakukan.
Menurut Effendi, dalam hukum potong tangan, selain terkandung fungsi zaw�jir juga terkandung jaw�bir. Menanggapi hal itu, Ibrahim mengatakan bahwa itu hanya lantaran hukum potong tangan dan semisalnya hanya media atau wasilah, bukan tujuan atau ghayah dari diterapkannya sebuah sanksi hukum tertentu.
Selain mengaku tersanjung dengan ketokohan Ibrahim, Moqsith juga tidak lupa mengkritiknya. Pasalnya, Ibrahim ingin menyerahkan otoritas dalam melakukan tahkim dan takhsis hukum kepada lembaga pemerintah. Sikap seperti ini menurut Moqsith sangat berisiko. Bila pemerintahnya zalim dan otoriter, itu akan membahayakan produk hukum yang dihasilkan. Menurut Moqsith, baik takhsis maupun tahkim hanya dapat dilakukan lewat mekanisme akal publik. Dalam kaidah ushul fiqh yang dibuatnya sendiri, tanq�hun nush�sh al-juz�iyyah ila `aqlil mujtama�, yaitu menyortir ketentuan yang ada dalam Alquran dan Sunnah, terutama yang bersifat partikular, dengan menggunakan akal publik. Jadi, tidak selamanya menyerahkannya kepada pemerintah.
Menurut Atho Muzhar bahwa sosok Ibrahim Husein dari sisi kontroversinya saat dia masih menjadi ketua MUI di tahun 80-an. Ibrahim pernah mengeluarkan pernyataan soal penghalalan kodok. �Memakannya haram, tetapi membudidayakannya halal,� tegasnya dengan nada datar.
Hal lain yang juga sempat menjadi kontroversial adalah tindakannya memakan babi ketika sakit. Padahal dia sudah dilarang untuk tidak memakannya. Ketika ditanya, kata Muzhar, Ibrahim menjawab seraya berfatwa: lebih baik mati kekenyangan daripada mati kelaparan. [18]
Yang paling penting adalah dalam perumusan Kompilasi Hukum islam, yang mana dalam perumusannya adalah terdiri dari para ulama�. Ulama yang dimaksud dalam pengertian ini adalah mereka yang mempunyai otoritas untuk mengambil keputusan[19] di bidang agama baik secara personal maupun kolektif. Mereka ini biasanya berada dalam naungan organisasi sosial keagamaan seperti MUI, NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad dan al-Washliyah atau di luar organisasi formal tetapi karena kapasitas keilmuannya dan integrasimoralnya diakui masyarakat sebagai ulama�. Ulama dalam klasifikasi ini diuraikan bukan mereka yang menjadi pegawai negeri atau hakim pukan pula yang bekerja di perguruan tinggi.[20]
Dari pihak ulama� yang masuk dalam tim pelaksana proyek hanya satu, yakni KH. Ibrahim Hossein,(dari MUI), ia juga dalam sisi lain adalah pegawai negeri (dari Depag) dan intelektual karena rector IIQ Jakarta. [21] Dalam hal ini sacara langsung pemikiran beliau akan memepengaruhi hasil penyusunan Kompilasi Hukum Islam yang ada saat ini. Selain itu juga bisa dilihat uu no 1 tahun 1974 tentang perkwinan. Lihat saja pada penjelasan sebelumnya tentang metode berfikir dan poin-poin pikiran beliau.

[1] blog.sunan-ampel.ac.id
[3] ibid
[4] Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia dari nalar Partisipatoris hingga emansipatoris, hal 152
[5] (Jam’u ‘l-Jawami’, Juz II, hal. 379).
[6] 7 Ali Yafie. 1994. Menggagas Fiqh Sosial. (Bandung: Mizan), hal. 112-114
[7] Al-Mawarid Edisi XVI Tahun 2006 215
[8] Ibrahi hosen, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
[9] ibid
[10] abufaletehan.blogspot.com
[11] 32 Ibrahim Hosen, �Beberapa Catatan tentang Reaktualisasi Hukum Islam�, dalam M. Wahyuni Nafis, dkk. (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Paramadina, cet.I, 1995, hal. 274-278.
[13] Hosen, 1985 : 4
[14] Panitia Penyusunan, 1990 : 103-104
[15] Ibrahim Hosen : 6
[16] blog.sunan-ampel.ac.id
[19] Semacam mengelurkan fatwa dan lain-lain.
[20] Dalam proses penyusunan KHI ulama dilibatkan selain dari unsur organisasi islam juga diutamakan mereka yang mengasuh Pon-Pes
[21] Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia dari nalar Partisipatoris hingga emansipatoris, hal 152

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak. Kami tunggu kritik saran dan komentar anda!!!

contoh SURAT GUGATAN PERCERAIAN

SURAT GUGATAN PERCERAIAN Kepada Yth: Bapak/Ibu Ketua Pengadilan Negeri/Agama [...................] Di Tempat Dengan hormat ...