A.
Maslahah Menurut Izzuddin
'Izzuddin menyatakan bahwa agama Islam
datang untuk memosisikan dua maslahat dan menegasikan dua mafsadat. Maslahat
dunia dan maslahat akhirat; dan mafsadat dunia dan mafsadat akhirat.
Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu
Abdis Salam sendiri menyatakan bahwa kata al
mashalih (bentuk plural darial maslahah) dan al mafasid (bentuk plural dari al fasadu) sering diungkapkan dengan
kata khoir (kebaikan) dan asy syarr (keburukan), an naf’ (manfaat) dan adh dhoorr (bahaya), al hasanah (kebaikan) dan as sayi’ah (keburukan). Karena maslahah
mencakup semua kebaikan dan manfaat, sedangkan
al mafasid mencakup seluruh keburukan dan bahaya. Al-Qur’an sendiri selalu
menggunakan kata al hasanah untuk
menunjukan pengertian al maslahah dan
kata as sayiah untuk menunjukan
pengertian al mafsadah.[1]
Maslahat dan mafsadat dunia umumnya dapat
diketahui dengan akal. Sebab sebelum wahyu turun pun, masyarakat Jahiliyah –dan
manusia di mana saja– sudah berlomba-lomba di dalam mencari maslahat dunia dan
berlari dari mafsadatnya.[2]
Akan halnya maslahat dan mafsadat akhirat, maka hanya dapat diketahui dengan
syara'. Tentu saja keterlibatan akal di dalam penyelesaian berbagai kasus hukum
tetap dibutuhkan. Pun syara' memperkenankan penggunaan Qiyas yang mu'tabar
dalam penetapan hukum.[3]
Dalam pandangan Izzuddin, sedikit
sekali perkara yang mengandung maslahat saja atau mafsadat saja. Yang banyak
adalah perkara yang mengandung kedua-duanya. Dasarnya adalah hadit Nabi saw
yang berbunyi,
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ
بِالشَّهَوَاتِ رواه مسلم
Surga itu dikelilingi oleh
perkara-perkara yang tidak disukai, sedangkan neraka itu dikelilingi oleh
perkara-perkara yang disenangi (HR. Muslim).
1.
Maslahah dan Mafsadat
Perkara-perkara yang mengantarkan ke
surga adalah maslahat tetapi juga mafsadat ditinjau dari realitanya yang
seringkali menyulitkan dan menyakitkan. Sedangkan perkara-perkara yang
mengantarkan ke neraka adalah mafsadat tetapi juga maslahat ditinjau dari realitanya
yang menyenangkan. Pada umumnya, manusia lebih mendahulukan perkara yang
maslahatnya lebih kuat dan meninggalkan perkara yang mafsadatnya lebih besar.
Karena itulah –karena kasih sayang Allah– disyariatkan penegakan hukum Hudud
dan Ta'zir terhadap berbagai pelanggaran yang akan menjerumuskan seseorang ke
jurang neraka.[4]
2.
Masalahat dan mafsadat dibagi menjadi
wasilah dan tujuan
Perkara-perkara yang diwajibkan dan
disunnahkan ada dua: yang merupakan tujuan dan yang merupakan wasilah. Demikian
pula halnya dengan perkara-perkara yang diharamkan dan dimakruhkan. Hukum
wasilah sama dengan hukum tujuan; wasilah kepada tujuan yang paling utama adalah
wasilah yang paling utama.
Kemudian, wasilah-wasilah itu
bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkatan maslahat dan mafsadat. Siapa saja
yang bisa mengetahui tingkatan-tingkatan maslahat dan mafsadat ini, maka dia
tahu perkara-perkara yang mesti didahulukan dan diakhirkan, mana yang mesti
ditanggung dan dibuang.[5]
Selanjutnya Izzudin Ibnu Abdil Azis
mendefinisikan maslahah dalam 2 bentuk. Yang pertama hakiki,maksudnya berupa “kesenangan
dan kenikmatan”. Kedua, bentuk majazi, maksudnya “sebab-sebab yang mendatangkan
kesenangan dan kenikmatan” tersebut, dan bisa jadi faktor datangnya maslahah
adalah justru mafasid (kerusakan).[6] Definisi ini didasarkan bahwa
pada prinsipnya ada empat bentuk manfaat, yaitu kelezatan dan sebab sebabnya
serta kesenangan dan sebab-sebabnya.[7]
3.
Tingkatan-tingkatan maslahat dan
mafsadat
Menurut 'Izzuddin bin 'Abdussalam,
secara global tingkatan maslahat ada dua. Pertama, maslahat yang diwajibkan
oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya. Maslahat yang diwajibkan ini dapat
diklasifikasi menjadi tiga; maslahat yang afdhal, maslahat yang fadhil, dan
maslahat yang berada di antara keduanya. Maslahat yang afdhal adalah maslahat
yang tertinggi, yakni maslahat yang menegasikan mafsadat yang paling besar,
sekaligus mendatangkan maslahat yang paling rajih. Contoh dari maslahat yang
afdhal ini adalah iman kepada Allah. Sesungguhnya Rasulullah saw. Pernah
ditanya tentang amalan yang paling utama; dan beliau menjawab, "Yaitu iman
kepada Allah." Beliau ditanya lagi tentang amalan yang berada di tingkat
bawahnya; dan beliau menjawab, "Berjihad di jalan Allah." (H.R.
al-Bukhariy)
Kedua, maslahat yang disunnahkan oleh
Allah. Yakni maslahat yang diserukan oleh Allah demi memperbaiki keadaan
sekalian hamba. Yang perlu dicatat adalah bahwa kedudukan maslahat tertinggi
dari maslahat yang disunnahkan ini masih di bawah kedudukan maslahat terrendah
dari maslahat yang diwajibkan. Maknanya, amalan wajib tidak boleh dikalahkan
–bagaimana pun– oleh amalan sunnah.[8]
Mafsadat juga ada dua. Pertama,
mafsadat yang diharamkan oleh Allah untuk didekati. Kedua, mafsadat yang
dimakruhkan oleh Allah untuk didekati. Mafsadat yang diharamkan untuk didekati
diklasifikasikan menjadi tiga: mafsadat kabir (besar), mafsadat akbar (lebih
besar), dan mafsadat yang berada di antara keduanya. Rasulullah saw. pernah
ditanya tentang dosa yang paling besar. Beliau menjawab, "Menjadikan
sekutu bagi Allah, padahal Dia yang menciptakanmu." Beliau ditanya,
berikutnya apa? Beliau menjawab, "Membunuh anak karena khawatir anak itu ikut
makan harta." Beliau ditanya lagi, kemudian apa? Beliau menjawab,
"Berzina dengan istri tetangga." (H.R. al-Bukhariy dan Muslim)
Mafsadat yang dimakruhkan pun
bertingkat-tingkat, dari yang mendekati mafsadat yang diharamkan sampai yang
mendekati perkara yang dibolehkan.[9]
4.
Pertentangan maslahat dan mafsadat
Jika dua maslahat bertentangan dan
tidak mungkin dikompromikan, maka jika diketahui mana yang lebih rajih, yang
lebih rajih itulah yang dikedepankan. Jika tidak diketahui, sesungguhnya
sebagian ulama akan mengetahui mana yang lebih rajih, sehingga yang lebih rajih
itulah yang dikedepankan. Mungkin ulama lain memandang yang tidak dikedepankan
oleh ulama yang lain sebagai maslahat yang rajih sehingga dia mengedepankannya.
Kedua ulama mujtahid itu sama-sama mendapatkan maslahat atau salah satunya yang
mendapatkan maslahat, sedangkan yang lain ma'fuw 'anhu (dimaafkan). Yang
demikian ini berlaku pula untuk pertentangan antara maslahat dan mafsadat.[10]
5. Mafsadat yang dikira Maslahah
Menurut 'Izzuddin, jika seseorang
melakukan suatu mafsadat, sedangkan dia mengiranya sebagai maslahat; misalnya
seseorang mengkonsumsi makanan yang dikiranya miliknya padahal sebanarnya
bukan, maka orang itu tidak berdosa. Perbuatannya itu tidak disebut sebagai
perbuatan baik maupun perbuatan maksiat. Tidak pula disebut sebagai perbuatan
yang mubah. Banyasanya perbuatannya itu ma'fuw 'anhu (dimaafkan); disejajarkan
dengan perbuatan anak kecil atau orang gila. Tentu saja orang itu masih
berkewajiban menanggung kerusakan atau kerugian yang dilakukannya terhadap
pihak lain.
Dari penjelasan maslahat oleh izzuddin bin Abdussalam, kita bisa
melihat bahwa Izzuddin tidak hanya melihat suatu perbuatan mengandung maslahat
dari maslahat itu sendiri, melainkan juga melihat mafsadat yang terkandung
dalam suatu perbuatan tersebut .
Izzuddin merupakan ulama yang mengatakan bahwa kemaslahatan dunia
bisa ditemukan dengan akal, namun kemaslahatan akhirat hanya bisa ditemukan
dengan petunjuk syara’ tetapi tidak menegasikan adanya akal dalam
pelaksanaannya.
Menurut penulis, penjelasan Izzuddin tentang maslahah ini lebih
moderat dari pada maslahah yang disampaikan berbagai ulama yang ada. Karena
seperti yang dijelaskan di atas bahwa maslaha tidak akan ada tanpa mafsadat
begitu pula sebaliknya, keduanya saling berhubungan, hanya saja bagaimana kita
memosisikannyya sesuai dengan pembagian maslahah dan mafsadah menurut Izzuddin
tersebut. Bahkan jika ada maslahah dan mafsadat yang bertentangan Izzuddin
menyamakan pengambilan keputusan dengan ijtihad yang dilakukan oleh ulama.
Artinya masing-masing personal boleh berbeda sesuai pandangan mereka
masing-masing.
[1] Izzudin
Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qawa'idul
Ahkam fii Mashalihil Anam, (Damaskus: Darul Qolam, tt) hlm.7