Sabtu, 05 November 2016

MASLAHAH MENURUT IZZUDDIN BIN ABDUSSALAM ABDISSALAM

A.     Maslahah Menurut Izzuddin
'Izzuddin menyatakan bahwa agama Islam datang untuk memosisikan dua maslahat dan menegasikan dua mafsadat. Maslahat dunia dan maslahat akhirat; dan mafsadat dunia dan mafsadat akhirat.
Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam sendiri menyatakan bahwa kata al mashalih (bentuk plural darial maslahah) dan al mafasid (bentuk plural dari al fasadu) sering diungkapkan dengan kata khoir (kebaikan) dan asy syarr (keburukan), an naf’ (manfaat) dan adh dhoorr (bahaya), al hasanah (kebaikan) dan as sayi’ah (keburukan). Karena maslahah mencakup semua kebaikan dan manfaat, sedangkan al mafasid mencakup seluruh keburukan dan bahaya. Al-Qur’an sendiri selalu menggunakan kata al hasanah untuk menunjukan pengertian al maslahah dan kata as sayiah untuk menunjukan pengertian al mafsadah.[1]




Maslahat dan mafsadat dunia umumnya dapat diketahui dengan akal. Sebab sebelum wahyu turun pun, masyarakat Jahiliyah –dan manusia di mana saja– sudah berlomba-lomba di dalam mencari maslahat dunia dan berlari dari mafsadatnya.[2] Akan halnya maslahat dan mafsadat akhirat, maka hanya dapat diketahui dengan syara'. Tentu saja keterlibatan akal di dalam penyelesaian berbagai kasus hukum tetap dibutuhkan. Pun syara' memperkenankan penggunaan Qiyas yang mu'tabar dalam penetapan hukum.[3]
Dalam pandangan Izzuddin, sedikit sekali perkara yang mengandung maslahat saja atau mafsadat saja. Yang banyak adalah perkara yang mengandung kedua-duanya. Dasarnya adalah hadit Nabi saw yang berbunyi,
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ رواه مسلم
Surga itu dikelilingi oleh perkara-perkara yang tidak disukai, sedangkan neraka itu dikelilingi oleh perkara-perkara yang disenangi (HR. Muslim).

1.     Maslahah dan Mafsadat
Perkara-perkara yang mengantarkan ke surga adalah maslahat tetapi juga mafsadat ditinjau dari realitanya yang seringkali menyulitkan dan menyakitkan. Sedangkan perkara-perkara yang mengantarkan ke neraka adalah mafsadat tetapi juga maslahat ditinjau dari realitanya yang menyenangkan. Pada umumnya, manusia lebih mendahulukan perkara yang maslahatnya lebih kuat dan meninggalkan perkara yang mafsadatnya lebih besar. Karena itulah –karena kasih sayang Allah– disyariatkan penegakan hukum Hudud dan Ta'zir terhadap berbagai pelanggaran yang akan menjerumuskan seseorang ke jurang neraka.[4]
2.     Masalahat dan mafsadat dibagi menjadi wasilah dan tujuan
Perkara-perkara yang diwajibkan dan disunnahkan ada dua: yang merupakan tujuan dan yang merupakan wasilah. Demikian pula halnya dengan perkara-perkara yang diharamkan dan dimakruhkan. Hukum wasilah sama dengan hukum tujuan; wasilah kepada tujuan yang paling utama adalah wasilah yang paling utama.
Kemudian, wasilah-wasilah itu bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkatan maslahat dan mafsadat. Siapa saja yang bisa mengetahui tingkatan-tingkatan maslahat dan mafsadat ini, maka dia tahu perkara-perkara yang mesti didahulukan dan diakhirkan, mana yang mesti ditanggung dan dibuang.[5]
Selanjutnya Izzudin Ibnu Abdil Azis mendefinisikan maslahah dalam 2 bentuk. Yang pertama hakiki,maksudnya berupa “kesenangan dan kenikmatan”. Kedua, bentuk majazi, maksudnya “sebab-sebab yang mendatangkan kesenangan dan kenikmatan” tersebut, dan bisa jadi faktor datangnya maslahah adalah justru mafasid (kerusakan).[6] Definisi ini didasarkan bahwa pada prinsipnya ada empat bentuk manfaat, yaitu kelezatan dan sebab sebabnya serta kesenangan dan sebab-sebabnya.[7]
3.     Tingkatan-tingkatan maslahat dan mafsadat
Menurut 'Izzuddin bin 'Abdussalam, secara global tingkatan maslahat ada dua. Pertama, maslahat yang diwajibkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya. Maslahat yang diwajibkan ini dapat diklasifikasi menjadi tiga; maslahat yang afdhal, maslahat yang fadhil, dan maslahat yang berada di antara keduanya. Maslahat yang afdhal adalah maslahat yang tertinggi, yakni maslahat yang menegasikan mafsadat yang paling besar, sekaligus mendatangkan maslahat yang paling rajih. Contoh dari maslahat yang afdhal ini adalah iman kepada Allah. Sesungguhnya Rasulullah saw. Pernah ditanya tentang amalan yang paling utama; dan beliau menjawab, "Yaitu iman kepada Allah." Beliau ditanya lagi tentang amalan yang berada di tingkat bawahnya; dan beliau menjawab, "Berjihad di jalan Allah." (H.R. al-Bukhariy)
Kedua, maslahat yang disunnahkan oleh Allah. Yakni maslahat yang diserukan oleh Allah demi memperbaiki keadaan sekalian hamba. Yang perlu dicatat adalah bahwa kedudukan maslahat tertinggi dari maslahat yang disunnahkan ini masih di bawah kedudukan maslahat terrendah dari maslahat yang diwajibkan. Maknanya, amalan wajib tidak boleh dikalahkan –bagaimana pun– oleh amalan sunnah.[8]
Mafsadat juga ada dua. Pertama, mafsadat yang diharamkan oleh Allah untuk didekati. Kedua, mafsadat yang dimakruhkan oleh Allah untuk didekati. Mafsadat yang diharamkan untuk didekati diklasifikasikan menjadi tiga: mafsadat kabir (besar), mafsadat akbar (lebih besar), dan mafsadat yang berada di antara keduanya. Rasulullah saw. pernah ditanya tentang dosa yang paling besar. Beliau menjawab, "Menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dia yang menciptakanmu." Beliau ditanya, berikutnya apa? Beliau menjawab, "Membunuh anak karena khawatir anak itu ikut makan harta." Beliau ditanya lagi, kemudian apa? Beliau menjawab, "Berzina dengan istri tetangga." (H.R. al-Bukhariy dan Muslim)
Mafsadat yang dimakruhkan pun bertingkat-tingkat, dari yang mendekati mafsadat yang diharamkan sampai yang mendekati perkara yang dibolehkan.[9]
4.     Pertentangan maslahat dan mafsadat
Jika dua maslahat bertentangan dan tidak mungkin dikompromikan, maka jika diketahui mana yang lebih rajih, yang lebih rajih itulah yang dikedepankan. Jika tidak diketahui, sesungguhnya sebagian ulama akan mengetahui mana yang lebih rajih, sehingga yang lebih rajih itulah yang dikedepankan. Mungkin ulama lain memandang yang tidak dikedepankan oleh ulama yang lain sebagai maslahat yang rajih sehingga dia mengedepankannya. Kedua ulama mujtahid itu sama-sama mendapatkan maslahat atau salah satunya yang mendapatkan maslahat, sedangkan yang lain ma'fuw 'anhu (dimaafkan). Yang demikian ini berlaku pula untuk pertentangan antara maslahat dan mafsadat.[10]
5.      Mafsadat yang dikira Maslahah
Menurut 'Izzuddin, jika seseorang melakukan suatu mafsadat, sedangkan dia mengiranya sebagai maslahat; misalnya seseorang mengkonsumsi makanan yang dikiranya miliknya padahal sebanarnya bukan, maka orang itu tidak berdosa. Perbuatannya itu tidak disebut sebagai perbuatan baik maupun perbuatan maksiat. Tidak pula disebut sebagai perbuatan yang mubah. Banyasanya perbuatannya itu ma'fuw 'anhu (dimaafkan); disejajarkan dengan perbuatan anak kecil atau orang gila. Tentu saja orang itu masih berkewajiban menanggung kerusakan atau kerugian yang dilakukannya terhadap pihak lain.
Dari penjelasan maslahat oleh izzuddin bin Abdussalam, kita bisa melihat bahwa Izzuddin tidak hanya melihat suatu perbuatan mengandung maslahat dari maslahat itu sendiri, melainkan juga melihat mafsadat yang terkandung dalam suatu perbuatan tersebut .
Izzuddin merupakan ulama yang mengatakan bahwa kemaslahatan dunia bisa ditemukan dengan akal, namun kemaslahatan akhirat hanya bisa ditemukan dengan petunjuk syara’ tetapi tidak menegasikan adanya akal dalam pelaksanaannya.
Menurut penulis, penjelasan Izzuddin tentang maslahah ini lebih moderat dari pada maslahah yang disampaikan berbagai ulama yang ada. Karena seperti yang dijelaskan di atas bahwa maslaha tidak akan ada tanpa mafsadat begitu pula sebaliknya, keduanya saling berhubungan, hanya saja bagaimana kita memosisikannyya sesuai dengan pembagian maslahah dan mafsadah menurut Izzuddin tersebut. Bahkan jika ada maslahah dan mafsadat yang bertentangan Izzuddin menyamakan pengambilan keputusan dengan ijtihad yang dilakukan oleh ulama. Artinya masing-masing personal boleh berbeda sesuai pandangan mereka masing-masing.




[1] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam, (Damaskus: Darul Qolam, tt) hlm.7
[2] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qawa'idul, 8
[3] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qawa'idul, 9
[4] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qawa'idul , 14
[5] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qawa'idul ,39-40
[6] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qawa'idul.18
[7] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qawa'idul, 15
[8] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qawa'idul, 40-41
[9] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qawa'idul, 41
[10] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qawa'idul .43-44

TINJAUAN MASLAHAH SECARA UMUM

A.     Tinjauan Maslahah Secara Umum
Sebelum menjelaskan tentang konsep maslahat menurut Izzuudin perlu kiranya kita membahas definisi maslahat baik menurut bahasa ataupun secara syara’.
Dipaparkan oleh Amir Syarifuddin definisi Maslahat (مصلحة) secara bahasa berasalah dari shalaha (صلح) dengan penambahan “mim” di awalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk” atau “rusak”. Ia adalah masdar dari kata shalah (صلاح), yaitu “manfaat” atau “terlepas daripadanya kerusakan”.[1]
Demikian juga dipaparkan oleh Amir Farih,  maslahat berasal dari bahasa Arab dan telah dibakukan ke dalam bahasa Indonesia yang berarti mendatangkan kebaikan atau yang membawa kemanfaatan dan atau menolak kerusakan. Menurut bahasa aslinya-yaitu bahasa arab- kata maslahat berasal dari kata saluha, yasluhu, salahan, artinya sesuatu yang baik, patut dan bermanfaat.[2]
Pengertian maslahat dalam bahasa Arab berarti “perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia”. Dalam artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau kesenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudharatan atau kerusakan. Jadi setiap yang mengandung manfaat patut disebut maslahat. Dengan begitu maslahat itu mengandung dua sisi, yaitu menarik atau mendatangkan kemaslahatan dan menolak atau menghindarkan kemudharatan.[3]
Sedangkan secara terminologi, maslahah diartikan sebagai sebuah ungkapan mengenai suatu hal yang mendatangkan manfaat dan menolak kerusakan/kemadharatan. Namun pengertian tersebut bukanlah pengertian yang dimaksudkan oleh ahli ushul dalam terminologi mashalih al-mursalah. Menurut pendapat mereka maslahah –dalam term mashalih al-mursalah– adalah al-muhafazhah ‘ala maqasid al-syari’ah (memelihara/melindungi maksud-maksud hukum syar’i).
Macam-macam Maslahah
1.      Macam-Macam Maslahah Berdasarkan Tingkatannya.
Berdasarkan pandangan syar’i dan dalil-dalil nash serta untuk menjaga maqashid al-syari’ah, para ulama menggolongkan maslahah menjadi tiga tingkatan:
a). Maslahah al-Dharuriyyah (المصلحة الضرورية) yaitu maslahah yang berkaitan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan ini mencakup lima hal yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta. Adapun kelima kemaslahatan ini sering disebut dengan al-mashalih al-khamsah.[4]
b). Maslahah al-Hajiyah (المصلحة الحاجية) yaitu kemaslahatan yang digunakan untuk menyempurnakan kemaslahatan pokok yang biasanya berbentuk keringanan untuk memelihara dan mempertahnkan kebutuhan pokok manusia. Apabila Maslahah al-Hajiyah ini tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia sebenarnya tidak secara langsung dapat merusak lima unsure pokok yang ada akan tetapi secara tidak langsung memang dapat mengakibatkan kerusakan.[5]
c). Maslahah al-Tahsiniyyah (المصلحة التحسينية)
Makna yang mudah difahami lagi yaitu kemaslahatan yang sifatnya sebagai pelengkap yang berupa kebebasan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Maslahah ini juga berkaitan dengan kemaslahatan lima unsur pokok yang ada.
Dari ketiga maslahah dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatannya diatas adapun maslahah yang harus terlebih dahulu di penuhi adalah Maslahah al-Dharuriyyah (المصلحة الضرورية) dari pada kedua maslahah setelahnya. Dan apabila terjadi benturan antara lima unsure pokok dalam kemaslahatan maka yang harus didahulukan adalah kepentingan agama setelah itu kepentingan-kepentingan lainnya.[6]
 2. Macam-Macam Maslahah Berdasarkan Pandangan Syari’
Berdasarkan adanya pengakuan dan penolakan dalil terhadap suatu maslahah, maka para ulama membagi maslahah menjadi tiga macam, yakni:
a) Maslahah al-Mu’tabarah (المصلحة المعتبرة) yaitu maslahah yang secara tegas diakui syari’at yang terdapat dalil khusus yang menjadi dasar dari kemaslahatan tersebut. Dalam hal ini adanya pentunjuk dari syari’dapat secara langsung maupun tidak langsung. Dari langsung tidak langsungnya petunjuk atau dalil yang menjelaskan maslahah tersebut dibagi menjadi dua yaitu:[7]
1)     Munasib Mu’atstsir (المناسب المئثر) yaitu adanya petunjuk langsung dari pembuat hukum (syari’) yang membahas maslahah tersebut. Maksudnya adalah adanya petunjuk syara’ baik dalam bentuk nash baik dalam Al-Qur’an, Sunnah maupun Ijma’ yang menetapkan bahwa maslahah tersebut dapat dijadikan alasan dalam menetapkan hukum.
Contoh: Adanya dalil tentang tidak baik mendekati perempuan yang sedang haid dengan alas an haid itu adalah penyakit. Hal ini disebut maslahah karena menjauhkan diri dari kerusakan yaitu penyakit. Dalam hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 222:
 štRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙŠÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]Œr& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙŠÅsyJø9$# ( Ÿwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ ( #sŒÎ*sù tbö£gsÜs?  Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ  
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS: Al-Baqarah: 222)[8]
2)     Munasib Mula’im (المناسب الملائم) yaitu tidak adanya petunjuk langsung dari syara’ baik dalam bentuk nash Al-Qur’an, Sunnah maupun Ijma’ terhadap maslahah tersebut namun secara tidak langsung ada.
Contoh: Bolehnya jama’ shalat bagi orang yang muqim karena hujan. Keadaan hujan memang tidak  pernah dijadikan alasan untuk hukum jama’ shalat, namun syara’ melalui ijma’ menetapkan keadaan yang sejenis dengan hujan yaitu dalam perjalanan menjadi alas an untuk bolehnya menjamak shalat.
b). Maslahah al-Mulghah (المصلحة الملغاة) atau maslahah yang ditolak. Maslahah ini disebut dengan masalah yang ditolak karena dianggap baik oleh akal akan tetapi tidak diperhatikan oleh syara’ bahkan terdapat syara’ yang menolaknya. Dalam hal ini dijelaskan bahwa akal menganggapnya baik dan sejalan dengan tujuan syara’, namun ternyata syara’ menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh maslahah.[9]
c). Maslahah al-Mursalah (المصلحة المرسلة) yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung oleh syara’ dan tidak pula dibatalkan ataupun ditolak oleh syara’. Kemaslahatan dalam bentuk ini dibagi lagi kedalam dua bagian yaitu:
1)     Maslahah al-Gharibah (المصلحة الغريبة) yaitu merupakan maslahah yang asing atau maslahah yang sama sekali tidak memiliki dukungan dari syara’ baik secara rinci maupun secara umum. Dalam hal ini ulama fiqh tidak dapat mengungkapkan contohnya secara pasti.
2)     Maslahah Mursalah (المصلحة المرسلة) yaitu kemaslahatan yang tidak didukung dalil syara’ atau nash secara terperinci akan tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (Al-Qur’an atau Sunnah).
Dari beberapa pembagian maslahah yang ada, dalam menetapkan hukum menggunakan metode maslahah para ulama ushul yang setuju benar-benar memilih mana yang layak digunakan dan mana yang tidak layak digunakan dalam menetapkan hukum. Oleh karena itu metode maslahah yang digunakan tidak hanya mengambil yang mudah dan meninggalkan yang sulit, akan tetapi juga melihat secara kolektif pada maslahah yang ada agar hasil ijtihad yang diperoleh dari metode maslahah bukalah ijtihad yang dikatakan sembarang ijtihad, akan tetepi juga memiliki kehkuatan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.
Maslahah mursalah digunakan oleh beberapa ulama ushul fikih dengan istilah yang berbeda-beda. Sebagian ulama mengunakan istilah al-munasib al-mursal. Ada juga ulama yang menggunakan istilah istishlah seperti al-Ghazali, dan ada pula yang menggunakan istidlal al-mursal seperti Izzuddin bin Abdissalam. Istilah-istilah tersebut meskipun tampak berbeda namun memiliki satu tujuan. Perbedaan istilah disebabkan cara pandang yang berbeda-beda. Penggunaan istilah mashalih mursalah jika dilihat dari segi apakah mashlahah tersebut didasarkan pada dalil atau tidak. Adapun istilah al-munasib al-mursal jika dilihat dari segi kesesuaiannya dengan tujuan syara'. Sementara istilah istidladlal digunakan lebih merujuk pada proses penetaapan hukum terhadap suatu mashlahah yang tidak terdapat dalil khusus dari nash.
Kalangan ulama Malikiyah, Hanabilah dan sebagian Syafiiyah menganggap bahwa mashlahah mursalah bisa dijadikan landasan penetapan hukum. Adapun alasan-alasan yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang tidak menyetujui mashlahah mursalah sebagai landasan hukum dianggap lemah oleh pihak pendukung mashlahah mursalah. Dalam kenyataanya tidak semua kebutuhan manusia terdapat rinciannya di dalam al-Quran dan al-Sunnah. Di sisi lain, penetapan hukum berlandaskan mashlahah mursalah membutuhkan beberapa persyaratan yang cukup ketat. Dengan persyaratan yang ada akan terhindar dari penyalahgunaan.
Imam Ghazali mengemukakan beberapa persyaratan dan menggunakan mashlahah mursalah sebagai landasan hukum yaitu:[10]
1.      Mashlahat tersebut merupakan mashlahah dlaruri.
2.      Mashlahah tersebut harus kully, yangkni mencakup semua orang muslim.
3.      Mashlahah tersebut harus qath'i atau mendekati qath'ii.
Mashlahah Mursalah Menurut Malikiyah, di antara tokoh ushul fikih yang banyak mempergunakan mashlahah mursalah sebagai penetapan hukum adalah Imam al-Syatibi. Beliau merupakan pengikut mazhab Maliki. Pandangan al-Syatibi tentang mashalahah mursalah dapat dijumpai dalam bukunya al-Muwafaqat dan al-I'tisham. Dalam kitab al-Muwafaqat, al-Syatibi mengemukakan bahwa setiap prinsip hukum Islam yang berhubungan dengan mashlahah dan tidak ditunjukkan oleh nash tertentu, tetapi ia sejalan dengan tindakan syara' dan maknanya diambil dari dalil-dalil syara' maka mashlahah itu benar dan dapat dijadikan sebagai hujjah.[11]
 Syatibi dalam membangun metode maslahah mursalah beranjak dari konsep al-munasib (yang sesuai), yakni ada tidaknya persesuaian-persesuaian antara maslahah yang dipertimbangkan dengan tujuan-tujuan umum syariah yang tidak ada syahid dan 'illah, suatu indikasi yang membedakannya dari qiyas dan tidak ditemukan dalil khusus mengenai hukumnya. Konsep al-munasib itu terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, al-munasib itu memang memiliki dalil khusus yang menyebutkannya. Seperti disyariatkan qishas yang memiliki tujuan untuk memelihara jiwa manusia sehingga keberlangsungan hidup terjamin, selain bertujuan untuk memelihara anggota tubuh manusia. Validitas al-munasib dalam pengertian ini, tidak perlu diragukan lagi untuk diamalkan. Kedua, al-munasib dalam pengertian adanya anggapan maslahah dalam pemikiran subjektif manusia, tetapi syariah menolaknya. Ini berarti maslahah tersebut ditetapkan semata-mata menurut hawa nafsu, yang bertentangan dengan dalil-dalil syara', sehingga validitasnya tidak diakui hukum Islam. Ketiga, al-munasib dalam pengertian maslahah yang tidak disebutkan oleh nash-nash khusus, baik untuk dipegangi atau untuk ditinggalkan. Artinya tidak ditemukan dalil pertikular yang menunjukkan boleh tidaknya dilakukan oleh orang-orang yang beriman.
Al-munasib dalam pengertian ini, menurutnya, dapat dibagi kepada dua kemingkinan: (1) Ada nash yang mengkonfirmasi pengertian munasib itu, seperti adanya 'illah yang menghalangi pembunuh mendapatkan warisan. (2) al-munasib tersebut sesuai dengan pandangan syara' secara universal, bukan dengan dalil partikular. Al-munasib dalam pengertian ini, oleh al-Syatibi, disebut juga dengan istidlal al-mursal atau al-maslahah al-mursalah.[12]


[1] Amir Syarifuddin. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana, 2011. Hal 345
[2] Amir Farih. Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam. Semarang, Walisongo Press, 2008. Hal. 15
[3] Amir Syarifuddin. Ushul Fiqih. Hal.  345
[4] Amir Syarifuddin, Usul Fiqh Jilid 2, 349.
[5] Amir Syarifuddin, Usul Fiqh Jilid 2, 349.
[6] Amir Syarifuddin, Usul Fiqh Jilid 2, 350.
[7] Amir Syarifuddin, Usul Fiqh Jilid 2, 351.
[8]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), 35.
[9] Amir Syarifuddin, Usul Fiqh Jilid 2, 353. Lihat juga Nasrun Haroen, Usul Fiqh I, 119. Dan Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), 149.
[10] Al-Ghazali, Al-Mustashfa min al-‘Ilmi al-Ushul (Beirut: al-Resalah, 1997), Vol. I., hlm. 421.
[11] Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Kairo: Musthafa Muhammad, t.th), 1987, hlm.16.
[12] Asy-Syatibi, …hlm.  352-354

contoh SURAT GUGATAN PERCERAIAN

SURAT GUGATAN PERCERAIAN Kepada Yth: Bapak/Ibu Ketua Pengadilan Negeri/Agama [...................] Di Tempat Dengan hormat ...