Daftar Isi Kitab Sunan NasaI (Cetakan Mustafa al Halabi 1964 M/1383H)
1. Ath thaharah.
2. Al miyah.
3. Al haidh.
4. Al ghuslu wa At- tayamum.
5. Ash shalat.
6. Al mawaqiit.
7. Al adzan.
8. Al masajid.
9. Al qiblah.
10. Al imamah.
11. Iftitah shalat.
12. At tatbiiq.
13. As sahwu.
14. Al jumuat.
15. Taqsir shalat fi safar.
16. Al kusuf.
17. Al istisqa.
18. Shalat khauf.
19. Shalat al idain.
20. Qiyam lail wa tathawwu nahar.
21. Al janaiz.
22. Ash shiyam.
23. Az zakat.
24. Manasik haji.
25. Al jihad.
26. An nikah.
27. Ath thalaq.
28. Al khail.
29. Al ahbas.
30. Al washaya.
31. An nihl.
32. Al hibah.
33. Ar ruqba.
34. Al umri.
35. Al aimaan wan nudzur wal muzaraah
36. Isyratun nisa.
37. Tahrim dam.
38. Qasm fai.
39. Al baiat.
40. Al aqiqah.
41. Al faru wal atirah.
42. Ash shaid wadz dzabaih.
43. Adh dhahaya.
44. Al buyu.
45. Al qosamah.
46. Qotu sariq.
47. Al iman wa syaraihu.
48. Az zinah.
49. Aadab qodha.
50. Al istiadzah.
51. Al asyribah
Kalau kita mengklasifikasikan isi kitab tersebut adalah sebagaimana berikut ini :
1. Dari kitab pertama sampai kitab ke dua puluh satu adalah tentang thaharah dan shalat. Namun beliau lebih memperbanyak masalah shalat.
2. Beliau mengedepankan kitab shaum dari kitab zakat.
3. Beliau memberi jarak antara pembahasan pembagian rampasan perang dengan jihad.
4. Beliau juga memisahkan antara pembahasan al khail dengan jihad.
5. Imam nasai membuat kitab khusus tentang wakaf (ahbas), juga kitab wasiat dengan tersendiri, pula kitab an nihl (pemberian untuk anak), kitab hibah, tanpa ada kitab faraidh (pembagian waris).
6. Beliau memisah antar kitab asyribah dengan kitabshaid dan dzabaih. Juga beliau memisahkan kitab-kitab tadi dengan kitab dhahaya
7. Beliau mengakhirkan kitab iman.
8. Kitab iman dengan kitab istiadzah sajalah yang tidak membahas tentang hukum.
5. Nilai Atau Kualitas Haditsnya
Komentar Para Ulama
Imam al-Nasai merupakan figur yang cermat dan teliti dalam meneliti dan menyeleksi para periwayat hadis. Beliau juga telah menetapkan syarat-syarat tertentu dalam proses penyeleksian hadis-hadis yang diterimanya. Abu Ali al-Naisapuri pernah mengatakan, Orang yang meriwayatkan hadis kepada kami adalah seorang imam hadis yang telah diakui oleh para ulama, ia bernama Abu Abd al Rahman al-Nasai.
Lebih jauh lagi Imam al-Naisapuri mengatakan, Syarat-syarat yang ditetapkan al-Nasai dalam menilai para periwayat hadis lebih ketat dan keras ketimbang syarat-syarat yang digunakan Muslim bin al-Hajjaj. Ini merupakan komentar subyektif Imam al-Naisapuri terhadap pribadi al-Nasai yang berbeda dengan komentar ulama pada umumnya. Ulama pada umumnya lebih mengunggulkan keketatan penilaian Imam Muslim bin al-Hajjaj ketimbang al-Nasai. Bahkan komentar mayoritas ulama ini pulalah yang memposisikan Imam Muslim sebagai pakar hadis nomer dua, sesudah al-Bukhari.
Namun demikian, bukan berarti mayoritas ulama merendahkan kredibilitas Imam al-Nasai. Imam al-Nasai tidak hanya ahli dalam bidang hadis dan ilmu hadis, namun juga mumpuni dalam bidang fiqh. Al-Daruquthni pernah mengatakan, beliau adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam bidang fiqh pada masanya dan paling mengetahui tentang Hadis dan para rawi. Al-Hakim Abu Abdullah berkata, Pendapat-pendapat Abu Abd al-Rahman mengenai fiqh yang diambil dari hadis terlampau banyak untuk dapat kita kemukakan seluruhnya. Siapa yang menelaah dan mengkaji kitab Sunan al-Nasai, ia akan terpesona dengan keindahan dan kebagusan kata-katanya.
Tidak ditemukan riwayat yang jelas tentang afiliansi pandangan fiqh beliau, kecuali komentar singkat Imam Madzhab Syafii. Pandangan Ibn al-Atsir ini dapat dimengerti dan difahami, karena memang Imam al-Nasai lama bermukim di Mesir, bahkan merasa cocok tinggal di sana. Beliau baru berhijrah dari Mesir ke Damsyik setahun menjelang kewafatannya.
Karena Imam al-Nasai cukup lama tinggal di Mesir, sementara Imam al-Syafii juga lama menyebarkan pandangan-pandangan fiqhnya di Mesir (setelah kepindahannya dari Bagdad), maka walaupun antara keduanya tidak pernah bertemu, karena al-Nasai baru lahir sebelas tahun setelah kewafatan Imam al-Syafii, tidak menutup kemungkinan banyak pandangan-pandangan fiqh Madzhab Syafii yang beliau serap melalui murid-murid Imam al-Syafii yang tinggal di Mesir. Pandangan fiqh Imam al-Syafii lebih tersebar di Mesir ketimbang di Baghdad. Hal ini lebih membuka peluang bagi Imam al-Nasai untuk bersinggungan dengan pandangan fiqh Syafii. Dan ini akan menguatkan dugaan Ibn al-Atsir tentang afiliasi mazhab fiqh al-Nasai.
Pandangan Syafii di Mesir ini kemudian dikenal dengan qaul jadid (pandangan baru). Dan ini seandainya dugaan Ibn al-Atsir benar, mengindikasikan bahwa pandangan fiqh Syafii dan al-Nasai lebih didominasi pandangan baru (Qaul Jadid, Mesir) ketimbang pandangan klasik (Qaul Qadim, Baghdad).
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa Imam al-Nasai merupakan sosok yang berpandangan netral, tidak memihak salah satu pandangan mazhab fiqh manapun, termasuk pandangan Imam al-Syafii. Hal ini seringkali terjadi pada imam-imam hadis sebelum al-Nasai, yang hanya berafiliasi pada mazhab hadis. Dan independensi pandangan ini merupakan ciri khas imam-imam hadis. Oleh karena itu, untuk mengklaim pandangan Imam al-Nasai telah terkontaminasi oleh pandangan orang lain, kita perlu menelusuri sumber sejarah yang konkrit, bukannya hanya berdasarkan dugaan.1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak. Kami tunggu kritik saran dan komentar anda!!!