Senin, 04 Januari 2010

ariyah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari pinjam maminjam tidaklah asing bagi kita. Dalam ilmu fiqih pinjam meminjam disebut dengan “Ariyah”. Setiap sesuatu yang bisa diambil manfaatnya serta barang tersebut zatnya masih utuh maka boleh dipinjamkan. Hakikat Ariyah yaitu memperbolehkan mengambil manfaat terhadap apa yang diperolehkan oleh syara’, pemanfaan tersebut dengan syarat kekalnya zat untuk dikembalikan kepada yang mempunyainya.
1.2.    Rumusan Masalah
Apa pengertian Ariyah
Apa landasan hukum Ariyah
Apa saja rukun Ariyah
Apa saja syarat Ariyah
Ariyah suatu tanggungan atau amanah?
1.3.    Tujuan
Mengetahui pengertian Ariyah
Mengetahi ladasan hukum Ariyah
Mengetahui apa saja rukun Ariyah
Mengetahui apa saja syarat Ariyah
Mengetahui apakah Ariyah suatu tanggungan atau amanah

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ‘ARIYAH  ( اﻟﻌﺎﺭﻴﺔ )
Menurut etimologi atau menurut bahasa  اﻟﻌﺎﺭﻴﺔ  diambil dari kata ﻋﺎﺭ yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian ulama’ ‘ariyah berasal dari kata التعاور yang sama artinya dengan  التناول اوالتناوبsaling menukar dan mengganti, yakni dalam tradisi pinjam meminjam.
Secara terminologi atau secara istilah syara’ ulama’ fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:
1. Menurut Syarkhasyi dan ulama Malikiyah : ﺗﻣﻟﻴﻚﺍﻟﻤﻨﻔﻌﺔ ﺑﻐﻳﺭﻋﻮﺽ
“Pemilikan atas manfaat (suatu benda) tanpa pengganti”
2. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah : ﺍﺒﺎحةﺍﻟﻤﻨﻔﻌﺔ ﺒﻼﻋﻮض
“Pembolehan (untuk mengambil) manfaat tanpa mengganti”
3. Menurut Hanafiyah, ariyah ialah: “memiliki manfaat secara Cuma-Cuma.”
Kemudian para ualama’ Fiqh tersebut menjelaskan lebih lanjut hakekat dari ‘ariyah itu sendiri adalah sebagai berikut:
Menurut ulama Malikiyah : barang yang dipinjam boleh dipinjamkan kepada orang lain tanpa izin pemiliknya asalkan digunakan sesuai fungsinya (‘ariyah mutlak)
Ulama Hanafiyah membolehkan karena yang memberikan pinjaman telah memberikan hak penuh kepada peminjam untuk mengambil manfaat barang, tetapi jika mu’ir meminta kembali barang tersebut harus dikembalikan segera (mutlak)
Ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah barang pinjaman tidak boleh dipinjamkan lagi karena ‘ariyah itu hanya sebatas pengambilan manfaat (‘ariyah muqoyyad) dibatasi waktu dan pemanfaatannya, ukuran berat dan jenisnya.
Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, ‘ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain tanpa adanya pengganti atau imbalan. Adapun  barang yang telah dipinjam adalah wajib untuk dikembalikan. Seperti dijelaskan di dalam Al-Hadits, ialah: “barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”. (Riwayat Abu Daud)
B. Landasan Hukum
Allah berfirman:
وتعاونوا علي البر ولتقوي , ولا تعانوا علي الاثم والعدون, واتقوا االله , ان الله شديد العقاب
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.(QS Al-Maidah(5):2)
Allah Ta’ala berfirman:
ويمنعون الماعون
“Dan mereka yang enggan menolong dengan (meminjamkan) perabot rumah tangga (barang yang berguna.”(Al-Ma’un:7)
Dalam Hadits Bukhari dan Muslim dari Anas, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW. telah meminjam kuda dari Abu Thalhah, kemudian beliau mengendarainya.,
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang jayyid dari Shafyan bin Ummayyah, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW. pernah meminjam perisai dari Shafwan bin Ummayyah pada waktu perang hunain. Shafwan bertanya, “Apakah engkau merampasnya, ya Muhammad?” Nabi menjawab, “Cuma meminjam dan aku bertanggungjawab.”
Syakh Abu Syujak berkata:
وكل ما امكن الانتفاء به مع بقاء عينه جازت اعارته اذاكانت منافعه اثارا
“Setiap yang boleh dipergunakan manfaatnya, boleh pula dipinjamkan (kepada orang lain)”
Hukum pinjam meminjam itu banyak jumlahnya. Antara lain apakah pinjaman itu harus ditanggung atau merupakan amanah?
Menurut sebagian ulama’ ahli fiqh pinjaman itu harus ditanggung meski ada saksi barang pinjaman itu rusak. Pendapat dikemukakan oleh Asyab dan Syafi’I, juga merupakan slalah satu pendapat Mlaik.
Fuqaaha’ yang lain berpendaopat sebaliknya, yakni bahwa pijaman itu tidak ditanggung sama sekali. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah.
Sebagian fuqaaha’ juga berpendapat bahwa barang yang tidak jelas itu harus ditanggung, apabila tidak ada saksi barang itu rusak. Dan tidak tidak ada tanggungan terdapat barang yang sudah jelas dan barang yang ada saksi bahwa barang itu rusak. Demikian lah pendapat yang terkenak dari Malik, Ibn Qasim, dan kebanyakan pengikutnya.
Perbedaan pendapat dalam hal ini berpangkal pada adanya pertentangan antara hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah itu. Yakni bahwa dalam sebuah hadits sahih disebutkan Nabi Saw. Bersabda kepada SUmmayyah:
بل عارية مضمونة مؤداة
“bahkan ia adalah peminjam yang harus ditanggung dan dikembalikan”(HR Abu Dawud dan Ahmad)
Tetapi dalm riwayat lain Nabi Saw. Berliau bersabsabda:
ليس على المستعير ضمان
“Tidak ada tanggungan atas orang yang meminjam”(HR Ibnu Majah)
Karna itu bagi fuqaaha’ yang mengambil hadits yang terakhir dan menguatkannya, menghapuskan tanggngan dari peminjam.
Sebaliknya bagi fuqaaha’ yang mengambil hadits hafwan mewajibkan tanggungan atas peminjam.
C. Syarat-syarat Ariyah
Ulama Fiqh mensyaratkan dalam akad Ariyah sebagai beirikut:
Mu’ir berakal sehat
Dengan demikian, orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang. Ulama Hanafiah tidak mensyaratkan sudah baliqh, sedangkan ulama lainnya menambahkan bahwa yang berhak adalah orang yang dapat berbuat kebaikan sekehendaknya, tanpa dipaksa,bukan anak kecil, bukan orang bodoh, dan bukan orang yang sedang pailit (bangkrut)
Pemegangan barang oleh peminjam
Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah peminjam, seperti halnya dalam hibah.
Barang yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan maka akad tidak sah.
Para ulama telah menetapkan bahwa ariyah diperbolehkan terhaadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian, laptop, dan lain-lain.
Dan perlu diinformasikan bahwa, meminjamkan senjata dan kuda kepada musuh juga diharamkan begitu juga meminjamkan al Qur’an kepada orang kafir, juga diharamkan meminjamkan alat berburu kepada orang yang sedang ihram.
Disamping syarat-syarat diatas, ada juga yang disebut syarat tanggungan, syarat ini berlaku ketika barang pinjaman rusak atau hilang, dalam permasalahan tanggugan seperti ini para fuqoha berselisih pendapat, sebagian besar mengatakan harus ditanggung, sementara sebagian yang lain mengatakan tidak harus ditanggung dan syarat tersebut batal.
Kesimpulan pendapat maliki, apabila dipersyaratkan adanya tanggungan pada hal-hal yang tidak harus ada tanggungan, maka berlakulah sewa yang sebanding (ijaratu’l-mitsli) dalam menggunakan barang pinjaman. Karena pemberlakuan syarat tersebut adalah mengeluarkan barang pinjaman dari kedudukan hukumnya sebagai barang pinjaman kepada hukum sewa menyewa yang batal, jika pemilik barang itu tidak suka meminjamkannya kecuali dengan kecuali dengan cara mengeluarkan barang tersebut dalam tanggungan peminjam. Dengan demikian, cara seperti itu sama tukar menukar yang tidak diketahui (tidak jelas). Karena itu, harus dikembalikan kepada akad yang diketahuin (jelas).
D. Rukun Ariyah
Dalam rukun Ariyah ini ulama berbeda pendapat, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanya ijab dari yang meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah.
Menurut ulama Syafi’iyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafazd sighat akad, yakni ucapan ijab dan qobul dari peminjaman dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.
Secara umum, jumhur ulama fiqh menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat, yaitu:

Mu’ir (peminjam)
Musta’ir (yang meminjam)
Mu’ar (barang yang dipinjam)
Sighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
E. Ariyah suatu Tanggungan atau amanat?
Ulama mazhab hanafi mempunyai pendapat bahwa barang pinjaman itu merupakan amanat bagi peminjam, baik dipakai maupun tidak. Dengan demikian, dia tidak menanggung barang tersebut ketika ada kerusakan, kecuali bila kerusakan tersebut disengaja atau disebabkan kelalaian. Hal tersebut karena tanggungan bukan dibebankan kepada mereka yang bukan pelaku, selain itu peminjam dikategorikan sebagai orang yang menjaga milik orang.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa peminjam harus menanggung barang yang tidak ada padanya, yakni yang dapat disembunyikan semisal baju, dan peminjam tidak harus menanggung sesuatu yang tidak dapat disembunyikan, mereka beralasan dengan mengumpulkan dan menyelaraskan antara dua hadis :
Hadis yang berkenaan dengan pernyataan nabi kepada shafwan ibn umayag bahwa ariyah adalah tanggungan yang dikembalikan, atau dalam riwayat lain nabi menyatakan bahwa ariyah adalah barang yang harus dikembalikan.
Hadis yang menyatakan bahwa peminjam yang tidak berkhianat dan tidak bertanggung jawab, begitu pula orang yang dititipi barang jika tidak berkhianat, tidaklah bertanggung jawab, hadis yang menyatakan bahwa peminjam bertanggung jawab mengaitkannya barang yang hilang, sedangkan hadis yang menyatakan bahwa peminjam tidak harus bertanggung jawab mengaitkannya dengan barang yang tidak hilang.
Ulama dari mazhab Syafi’i mempunyai pendapat bahwa peminjam menanggung harga barang bila terjadi kerusakan dan bila dia menggunakannya tidak sesuai dengan izin yang diberikan pemilik walaupun tanpa disengaja, hal tersebut didasarkan pada hadist shafwan. Adapun jika barang tersebut digunakan sesuai dengan izin pemilik, peminjam tidak menanggung nya jika terjadi kerusakan.
Sedangkan Ulama Hanabilah, berpendapat bahwa peminjam menanggung kerusakan barang pinjamannya secara mutlak, baik disengaja ataupun tidak. Golongan ini mendasarkan pendapat mereka pada hadist shafwan ibn umayyah diatas, dan juga pada hadist  yang arti nya:
Tangan (yang mengambil)adalah bertanggung jawab atas apa yang di ambilnya sehingga dipenuhi. ( HR. Ahmad dan pengarang kitab sunan yang empat ).
BAB III
KESIMPULAN
‘ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain tanpa adanya pengganti atau imbalan. Hukum asal ariyah adalah mubah sedangkan syarat-syarat ariyah antara lain :
Mu’ir yang sehat.
Memegang barang yang dipinjam
Barang yang dipinjamkan
Sedangkan rukun-rukun ariyah adalah :
Mu’ir (peminjam)
Musta’ir (yang meminjam)
Mu’ar (barang yang dipinjam)
Sighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Adapun dalam hal ariyah merupakan tanggungan atau amanah ulama berbeda pendapat mengani hal tersebut.
Daftar Pustaka
Al-kasyani, Alaudin,  Bada’i As-Shana’i Fi Tartib Syara’i,
Al-baghdady Majmu’ Adh-Dhamanat
Anwar, Syaiful. Musthafa, Mishbah, Kifayatul Ahyar (kekengkapan Orang Saleh), Surabaya: Bina Iman, 2007
Ibnu Qudamah. Almughny
Rusyd, Ibnu, Analisis Fiqh Para Mujtahid,Jakarta: Pustaka Amani, 2007
Saleh, Hassan, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2008
Syafei, Rachmat, Fiqih Muamalah, Bandung:  Pustaka Setia, 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak. Kami tunggu kritik saran dan komentar anda!!!

contoh SURAT GUGATAN PERCERAIAN

SURAT GUGATAN PERCERAIAN Kepada Yth: Bapak/Ibu Ketua Pengadilan Negeri/Agama [...................] Di Tempat Dengan hormat ...