Sabtu, 05 November 2016

AGAMA JAWI


E.     Perjumpaan Antara mistik Islam dan Mistik Kejawen sebagai Agama Jawi
Agami Jawi seperti yang disinyalir Koentjaraningrat sering disebut dengan Islam sinkretis. Yang dimaksud sinkretis secara umum adalah proses ataupun hasil dari pengolahan, penyatuan, pengkombinasian dan penyelarasan dua atau lebih sistem prinsip yang berlainan atau berlawanan sedemikian rupa, sehingga terbentuk suatu sistem prinsip baru, yang berbeda dengan sistem-sistem prinsip sebelumnya.[20] Dengan adanya proses sinkretis maka apa yang terkandung di dalam sebuah sistem prinsip baru tidak hanya terkandung sistem prinsip asli agama yang bersangkutan tetapi juga sistem prinsip dari unsur lain. Demikian juga yang terjadi dengan Agami Jawi.
Dengan kata lain, sikap sinkretis adalah Suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan benar salahnya sesuatu agama. Yakni suatu sikap yang tidak mempersoalkan murni atau tidak murninya suatu agama. Bagi orang yang berpaham sinkretis, semua agama dipandang baik dan benar. Penganut paham sinkretisme, suka memadukan unsur-unsur dari berbagai agama, yang pada dasarnya berbeda atau bahkan berlawanan.[21]
Karena terjadi proses penyelarasan maka pemeluk sistem prinsip yang baru hampir dapat dikatakan tidak mengalami ‘split personality’, sehingga tidak terjadi rasa bermusuhan. Bahkan yang terjadi adalah rasa aman karena para pemeluk sistem prinsip baru menemukan sesuatu yang lebih sreg dan cocok, terutama pada tingkat religuisitas yang tidak terlalu terikat dengan peraturan-peraturan baku. Dengan adanya sinkretisasi berbagai prinsip yang berbeda di dalam kelompok dalam suatu penafsiran baru yang lebih komprehensif justru kemudian dapat dipertemukan berbagai sistem ajaran dan pandangan yang berbeda dan mendapatkan tempat berpijak bersama untuk hidup berdampingan tanpa harus saling merendahkan.[22]
Sebuah religiusitas baru seringkali memang sulit diterima dalam kerangka ortodoksi yang sangat menekankan pada aturan-aturan baku. Dalam beberapa kasus, kemunculan sebuah varian religius lebih sering menampakkan kerinduan manusia akan kebuTuhan-kebuTuhannya yang paling dalam dan paling eksistensial yang tidak bisa dituntaskan dengan rumusan-rumusan doktrinal. Maka ciri yang paling menonjol dari sebuah religiusitas adalah lintas agama, lintas rasional dan lintas kelompok.[23]
Kemunculan Agama Jawi bukan proses yang berlangsung dalam ruang yang kosong. Tetapi proses ini terjadi di dalam sebuah logika dialektika budaya ketika satu prinsip bertemu dengan prinsip yang lain dalam dimensi sejarah. Proses dialektika akan selalu menghasilkan sintesis-sintesis baru yang kadang tak terduga atau tidak direncanakan sebelumnya. Faktor yang paling menonjol dalam proses sinkretis antara Islam dan tradisi Jawa sehingga menghasilkan agama Jawi dengan sendirinya juga datang dari kedua belah pihak.
Bentuk Islam mitis yang berkembang di Indonesia adalah faktor paling nyata sehingga memungkinkan proses tersebut. Sementara dari budaya Jawa, tradisi kepercayaan ruh dan benda-benda ghaib yaitu animisme dan dinamisme pada rakyat kebanyakan, dan tradisi Hindu-Budha pada kaum aristokrat kerajaan menjadi faktor kedua, yang seolah bertemu dalam satu titik kompromi paling landai ketika bertemu dengan Islam mitis.
Islam mitis atau Islam tasawuf bisa didefinisikan sebagai Islam yang lebih menekankan pada pemikiran dan praktik pencarian hubungan manusia dan Tuhan dengan cara-cara berpaling pada hal-hal duniawi dan lebih mengutamakan penghayatan dan kepasrahan pada Tuhan semata. Jalan untuk menuju pada sebuah kesempurnaan hubungan antara manusia dan Tuhan, dalam Islam mitis, didapatkan dengan melalui beberapa tingkat yaitu syariat, tarikat, hakikat dan ma’rifat. Syariat adalah hidup yang sesuai dengan hukum Allah. Tarikat adalah bentuk kepasrahan pada Tuhan secara sepenuhnya. Hakikat adalah tingkat di mana manusia hanya memperhatikan Allah semata-mata dan ma’rifat adalah tahap terakhir yaitu tahap kesempurnaaan.[24]
Secara historis, Islam yang mula-mula berkembang di Indonesia pada umumnya dan Jawa pada khususnya adalah Islam yang dibawa oleh orang-orang Persia dan India melalui jalur perdagangan yang sangat kental dengan tradisi mistik.[25] Islam mitis lebih berorientasi pada dimensi esoteris (batin) dibanding dimensi eksoteris (lahir). Ini berbeda dengan Islam yang datang pada gelombang kedua yaitu Islam reformis yang dibawa oleh para haji yang pulang dari Makkah. Islam reformis sebagai bagian dari gerakan wahabi yang sangat populer di tanah Arab yang sangat menentang keras kepercayaan-kepercayaan yang dianggap sebagai tahayul, kurafat atau bid’ah. Bentuk Islam mitis lebih menampakkan wajah lunak ketika bertemu dengan agama lokal, yaitu tradisi agama asli (animisme dan dinamisme) dan Hindu-Budha.
Sebelum hadir agama-agama supra-nasional seperti Hindu, Budha, Islam, Katolik atau Kristen, bangsa Indonesia telah hidup dalam sebuah alam religius yang sering disebut dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Oleh J.W.M. Bakker, kepercayaan purba ini disebut dengan agama asli atau otokton. Agama ini disebut asli karena berasal dan berakar dalam tradisi dan kultur setempat yang tidak diketahui secara pasti kapan munculnya dan siapa pendirinya.[26]
Agama asli ini tidak memiliki sistem sejelas agama supra-nasional. Ia mengandung beberapa unsur ajaran mengenai prinsip teologis, eskatologis atau pun kosmologis. Namun demikian unsur-unsur bukan merupakan sistem ajaran yang ketat dan sistematis. Secara teologis kepercayaan ini mengajarkan keTuhanan etis, seperti yang maha baik, atau keTuhanan kosmis, seperti sangkan paraning dumadi. Secara kosmologis, kepercayaan ini mengajarkan tentang keseimbangan dunia mikrokosmos dan makrokosmos. Sedangkan secara eskatologis, kepercayaan ini memiliki ajaran tentang ruh aktif. Agama asli ini memiliki kekuatan yang relatif kokoh ketika berhadapan dengan agama-agama supra nasional. Bahkan agama asli ini tetap bisa eksis entah dalam bentuk sinkretisme, pemalsuan atau pemribumisasian agama-agama supra nasional.
Ketiga titik ini yaitu Islam mitis, agama asli, dan Hindu-Budha merupakan latar mosaik yang saling bertemu, saling pengaruh, saling mengambil yang kemudian melahirkan Agama Jawi sebagai bentuk Islam sinkretis yang mengambil posisi geografis terutama di daerah Jawa Tengah pedalaman. 
Dalam konteks sastra, pertemuan antara Islam mistik dan kepercayaan mistik pada rakyat kebanyakan menghasilkan kitab-kitab suluk dan primbon. Kitab suluk adalah suatu himpunan syair-syair mistik yang ditulis dalam bentuk macapat gaya mataram.[27] Kitab suluk adalah kitab yang di dalamnya banyak mengandung ajaran tasawuf. Kitab suluk menunjukkan usaha pengarangnya untuk menyatukan secara sinkretis ajaran-ajaran Islam, hukum Islam, dan tradisi kesusasteraan Islam dengan konsep-konsep teologi Hindu-Budha mengenai penciptaan alam, kematian, dan kehidupan setelah kematian, serta hubungan manusia dengan Tuhan. Sedangkan Primbon adalah kitab yang bercorak kegaiban dan berisi ramalan-ramalan.
Sementara itu pertemuan Islam mitis dengan tradisi Hindu-Budha kerajaan Mataram menghasilkan serat. Serat adalah kitab yang berisi ajaran tasawuf yang dipadukan dengan mistik kejawen. Serat-serat biasanya berisi ajaran mistik-moral. Diantara serat yang terkenal adalah serat Wirid Hidayat Jati, serat Centhini, dan serat Cebolek. Serat juga merupakan bagian dari strategi kerajaan Mataram untuk beradaptasi dengan perkembangan Islam yang semakin gencar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak. Kami tunggu kritik saran dan komentar anda!!!

contoh SURAT GUGATAN PERCERAIAN

SURAT GUGATAN PERCERAIAN Kepada Yth: Bapak/Ibu Ketua Pengadilan Negeri/Agama [...................] Di Tempat Dengan hormat ...