Kamis, 03 November 2016

Keberadaan Hukum islam dan Budaya Indonesia (hub agama & budaya bag 5)


  1. Keberadaan Hukum islam dan Budaya Indonesia


Dalam sejarah Islam di Indonesia, gagasan purifikasi pernah menjadi agenda penting dari kelompok Islam modernis. Gerakan ini memfokuskan untuk menghilangkan seluruh budaya masyarakat yang dianggap mengandung unsur takhayul, bid’ah dan khurafat. Model purifikasi ini berusaha untuk melenyapkan keberadaan budaya lokal yang sudah turun-temurun yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.[1]

Akan tetapi, titik tolak dari apa yang dinamakan ajaran Islam dikembalikan pada konsep yang ada pada zaman Nabi. Hal ini kemudian berimplikasi pada pelenyapan seluruh tradisi masyarakat Indonesia dan pengukuhan tradisi Arab yang dianggap sebagai tradisi Islam.

Gagasan tersebut pada masa sekarang kembali muncul dari gerakan fundamentalis yang tumbuh subur di Indonesia. Mereka berusaha menerapkan syari’ah Islam dan ajaran Islam secara kaffah. Sebagaimana para pendahulunya, titik tolak dari apa yang disebut ajaran Islam, dikembalikan pada konsep yang ada pada zaman Nabi. Fenomena ini menumbuhkan berbagai implikasi dari perilaku mereka dalam bermasyarakat. Dalam hal busana misalnya, mereka berusaha mencontoh Nabi dengan menggunakan jubah ala Arab. Kemudian mereka juga memelihara jenggot, bercadar, menggunakan terma-terma Arab sebagai pengganti dari terma lokal dan lain sebagainya.

Dengan munculnya fenomena ini, tentunya eksistensi budaya lokal menjadi terpinggirkan. Gerakan modernisme berusaha menghilangkan budaya slametan, musik gamelan dan banyak tradisi lokal yang dianggap berbau Hindu dan kejawen. Gerakan Islam fundamentalis berusaha menghilangkan seluruh budaya lokal dan menggantinya dengan sistem Islam model Arab masa Nabi.

Munculnya fenomena di atas memunculkan kegelisahan dari beberapa pemikir di Indonesia. Gagasan-gagasan untuk membentuk karakter hukum Islam yang bersifat lokal tergagas dalam pemikiran para intelektual muslim.

Hasbi as-Shiddiqy misalnya yang pernah mencoba mengintrodusir gagasan fiqh Indonesia-nya. Dalam hal ini Hasbi terpengaruh oleh adanya konsep fiqh Hijaz, fiqh Mesir dan fiqh-fiqh lokal lainnya yang muncul di beberapa negara muslim. Keprihatinan Hasbi juga terkait dengan ketidakmampuan ulama Indonesia untuk berijtihad sesuai dengan kepribadian Indonesia, sehingga seringkali mengaplikasikan fiqh Mesir atau fiqh Hijaz dimasyarakat atas dasar taklid.[2]

Lebih lanjut, dengan kelemahan ulama Indonesia yang tidak mampu melahirkan fiqh yang berkepribadian Indonesia dan menyadari ketidakmungkinan akan munculnya pemikiran progresif dari kalangan ulama konservatif, Hasbi kemudian mengajak elemen Perguruan Tinggi Indonesia untuk mencetak kader-kader mujtahid yang akan meneruskan proyek fiqh Indonesia.[3]

Salah satu yang menarik untuk dicermati, bahwa untuk membentuk fiqh Indonesia, Hasbi menekankan pentingnya kesadaran dan kearifan untuk melakukan refleksi historis atas pemikiran hukum Islam pada masa awal perkembangannya. Perspektif ini mengajarkan bahwa hukum Islam baru bisa berjalan dengan baik jika ia sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, yakni hukum yang dibentuk oleh kesadaran lingkungan, atau dengan kebudayaan dan tradisi setempat. Dalam hal inilah Hasbi mengkonsepsikan bahwa mempertimbangkan kehadiran tradisi (adat, ‘urf) setempat sebagai acuan pembentukan sebuah format hukum Islam baru menjadi satu keniscayaan.[4]

Konsepsi ini dilandasi oleh pemikiran egalitarianisme Islam yang berkonsekuensi bahwa semua ‘urf dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum. Dengan demikian hal ini menafikan ‘urf dari masyarakat Arab saja yang bisa menjadikan podasi dalam perumusan hukum. Bagi Hasbi, semua ‘urf selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam dan dalam batas-batas tertentu dapat diterima sebagai sumber hukum Islam.

Selain itu, Abdurrahman Wahid juga mengkonsepkan adanya pribumisasi Islam. Pribumisasi Islam dimaknai sebagai upaya untuk mengokohkan kembali akar budaya kita, dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama.[5]

Dalam pemikirannya, Wahid mencoba memposisikan Islam dan budaya lain dalam posisi dialogis. Dalam hal ini Abdurrahman Wahid menyatakan:

“…antara Islam dan paham pemikiran lain atau budaya lain berlangsung proses saling mengambil dan saling belajar.

Konsekwensi logis dari keterbukaan seperti ini adalah keharusan untuk mendudukkan Islam hanya sebagai faktor penghubung antara berbagai budaya lokal. Dalam melayani semua budaya lokal itu (akan) menumbuhkan universalitas pandangan baru tanpa tercabut dari akar kesejarahan masing-masing.”[6] Dengan dasar demikian, Abdurrahman Wahid menolak gerakan “Islamisasi”, “Arabisasi” atau “formalisasi ajaran Islam dalam ranah budaya”.

Dari kedua gagasan tersebut, paling tidak dapat ditarik dua paradigma penting hukum Islam yang harus diambil dalam proses membentuk hukum Islam khas Indonesia, yaitu: Pertama, Kontekstual. Yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan dimensi zaman dan tempat. Konsekwensinya, perubahan zaman dan tempat menjadi meniscayakan untuk melakukan penafsiran dan ijtihad. Dengan kemampuan melakukan adaptasi inilah sesungguhnya Islam bisa benar-benar salih li kulli zaman wa makan.

Kedua, menghargai tradisi lokal. Karakter ini dibangun dari kenyataan sejarah bahwa Islam tidak dapat dilepaskan dari tradisi masyarakat pra-Islam. Bahkan dalam faktanya, Islam telah mengadopsi tradisi-tradisi lokal yang berkembang di masyarakat Arab. Dengan demikian, Islam memposisikan tradisi lokal bukan dalam posisi obyek yang harus ditaklukan, tetapi Islam memposisikannya dalam dimensi dialogis.

Kedua hal tersebut, dalam kenyataannya seringkali dilupakan. Implikasinya, hukum Islam masa nabi Muhammad dipahami sebagai konstruksi hukum yang datang dari langit dan terlepas dari konteks sosio-kultural yang ada di masyarakat Arab. Bahkan lebih dari itu, hukum Islam zaman Nabi dipahami sebagai citra ideal yang harus diaplikasikan di seluruh kondisi zaman dan tempat.

[1] Imron Nasri (ed.). 2005. Pluralisme dan Liberalisme Pergolakan Pemikiran Anak Muda Muhammadiyah. Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri. hlm. 162-163.

[2] Hasbi Ash-Shiddiqy. 1966. Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman. Jakarta: Bulan Bintang. hlm. 43.

[3] Mahsun Fuad. 2005. Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris. Yogyakarta: LKiS. hlm. 67.

[4] Hasbi Ash-Shiddiqy, Syariat Islam…, hlm. 42.

[5] Abdurrahman Wahid. 1989. “Pribumisasi Islam” dalam Muntaha Azhari dan Abdul

      Mun’im Saleh (ed.), Islam Menatap Masa Depan. Jakarta: P3M. hlm. 96.

[6] Abdurrahman Wahid. 1989. “Pribumisasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak. Kami tunggu kritik saran dan komentar anda!!!

contoh SURAT GUGATAN PERCERAIAN

SURAT GUGATAN PERCERAIAN Kepada Yth: Bapak/Ibu Ketua Pengadilan Negeri/Agama [...................] Di Tempat Dengan hormat ...