BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hampir sudah menjadi kesepakatan di kalangan studi
Jawa, bahwa berdasarkan perilaku religiusnya, masyarakat Jawa bisa dibedakan ke
dalam dua kelompok, yaitu Islam Santri dan Islam Abangan. Perilaku religius ini
bisa dibedakan berdasarkan sistem kepercayaan kelompok dan partisipasinya dalam
kegiatan ritual.[1]
Sistem kepercayaan dan praksis ritual di antara kedua kelompok religius ini
menampakkan kecenderungan yang relatif berbeda.
Berdasarkan sistem kepercayaan, yang disebut dengan
Islam Santri adalah sekelompok muslim saleh yang memeluk agama Islam dengan
sungguh-sungguh, menjalankan perintah agama, dan berusaha membersihkan
akidahnya dari perilaku syirik. Sedangkan Islam abangan adalah sekelompok
muslim yang cara hidupnya masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra-Islam,
yaitu suatu tradisi yang menitik beratkan pada pemaduan unsur-unsur Islam,
Budha-Hindu, dan unsur-unsur asli sebelumnya. Sementara itu, berdasarkan
partisipasi ritualnya, Islam Santri lebih beorientasi menjalankan ritual yang
diajarkan Islam secara baku seperti shalat, puasa, ibadah haji, mengaji.
Sementara Islam abangan lebih berorientasi pada ritual-ritual yang tidak
diajarkan secara baku seperti slametan, ngruwat, tirakat, sesajen, dan
sebagainya.
Koentjaraningrat menyebut religiusitas Islam Abangan
dengan istilah Agami Jawi dan Islam Santri dengan Agama Islam Santri. Kategori
ini nampaknya untuk membedakan dua varian religius dan bukan varian sosial
seperti santri, priyayi, dan abangan. Yang dimaksudkan Koentjaraningrat dengan
Agami Jawi adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang
cenderung ke arah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diaku sebagai agama
Islam. Sementara itu, Agama Islam Santri lebih dekat pada dogma-dogma Islam baku.[2]
Dengan kata lain, Islam Abangan atau Agami Jawi lebih bersifat sinkretis karena
menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu-Budha dan Islam (heterodoks). Sementara
Islam Santri lebih bersifat puritan karena mereka mengikuti ajaran agama secara
ketat (ortodoks).
Walaupun demikian, seperti ditulis Koentjaraningrat,
hal itu tidak berarti mereka hampir tidak beragama atau sangat sedikit
memikirkan agama, atau menjalankan kehidupan tanpa kegiatan agama. Waktu-waktu
mereka justru banyak tersita oleh aktivitas agama. Mereka juga percaya adanya
Allah, percaya kenabian Muhammad, percaya dengan kebenaran kitab Al-Quran dan
percaya bahwa orang baik akan masuk surga. Tetapi di samping itu mereka juga
meyakini konsep dan pandangan keagamaan tertentu, percaya akan makhluk ghaib
dan kekuatan sakti, dan melakukan ritus-ritus dan upacara keagamaan yang sangat
sedikit sangkut-pautnya dengan doktrin-doktrin Islam resmi.[3]
Persoalan sinkretisme nampaknya menjadi isu sentral
dalam pembahasan Islam abangan atau Agami Jawi. Hal ini tidak bisa diingkari
karena Agami Jawi memang menampakkan perilaku religius yang banyak mengakomodir
pandangan dan sistem ritual di luar Islam baku. Agami Jawi menampakkan wajah
yang relatif ‘ramah’ atau lunak terhadap tradisi dan kepercayaan lokal yang ada
sebelumnya. Sementara Islam santri lebih menampakkan keketatan dalam berpegang
pada ajaran-ajaran Islam doktrinal.
Perilaku religius yang akomodatif ini banyak
menimbulkan pertanyaan seperti unsur-unsur prinsip apa saja yang saling
bersinkretis, sejauh mana unsur-unsur budaya Jawa itu mewarnai Islam dan begitu
juga sebaliknya, sejauh mana unsur-unsur Islam mempengaruhi budaya Jawa, dengan
cara apa dan pada tingkat apa proses sinkretis itu terjadi.
Persoalan sinkretisme menjadi menarik karena
sinkretisme nampaknya merupakan fenomena yang umum terjadi ketika dua sistem
keyakinan atau lebih saling bertemu. Sebagai misal pertemuan antara Islam dan
Hindu di India yang kemudian melahirkan religiusitas baru yang bernama agama
Shikh. Dalam konteks masyarakat Indonesia bahkan yang mengalami sinkretisme
dalam sejarah masuknya agama-agama besar bukan hanya Islam, tetapi juga Hindu,
Budha, Kriten atau Katolik. Dalam studinya tentang agama asli Indonesia, J.W.M.
Bakker mencatat bahwa ajaran Hindu dan Budha pun, yang datang lebih dulu, tidak
bisa menancap secara menyeluruh dan konsisten di negeri ini. Ajaran Hindu
tentang kasta atau catur varna dan maya tidak bisa tumbuh dengan subur.[4]
Hal serupa juga terjadi dengan Islam. Ketika Islam
memasuki Indonesia, dan khususnya Jawa, ia juga mengalami proses sinkretisasi
dengan agama asli disamping bersinkretis dengan kepercayaan-kepercayaan yang
telah datang lebih dulu, yaitu Hindu-Budha. Sehingga secara antropologis atau
pun sosiologis di Jawa dikenal dua varian Islam yang cukup berbeda secara
menyolok seperti tersebut di atas.
[1]Zaini Muchtarom, Santri
dan Abangan di Jawa, (Jakarta: INIS, 1988), Jilid II, hlm. 1,6,7.
[2] Koentjaraningrat,
Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 312
[3] Koentjaraningrat,
1984, Kebudayaan Jawa, hlm. 311
[4] J.W.M. Bakker, Agama
Asli Indonesia, (Yogyakarta: Puskat, 1976), hlm. 217-218
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak. Kami tunggu kritik saran dan komentar anda!!!