Jumat, 04 November 2016

PERJUMPAAN MISTIK ISLAM DAN KEJAWEN

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Hampir sudah menjadi kesepakatan di kalangan studi Jawa, bahwa berdasarkan perilaku religiusnya, masyarakat Jawa bisa dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu Islam Santri dan Islam Abangan. Perilaku religius ini bisa dibedakan berdasarkan sistem kepercayaan kelompok dan partisipasinya dalam kegiatan ritual.[1] Sistem kepercayaan dan praksis ritual di antara kedua kelompok religius ini menampakkan kecenderungan yang relatif berbeda.
Berdasarkan sistem kepercayaan, yang disebut dengan Islam Santri adalah sekelompok muslim saleh yang memeluk agama Islam dengan sungguh-sungguh, menjalankan perintah agama, dan berusaha membersihkan akidahnya dari perilaku syirik. Sedangkan Islam abangan adalah sekelompok muslim yang cara hidupnya masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra-Islam, yaitu suatu tradisi yang menitik beratkan pada pemaduan unsur-unsur Islam, Budha-Hindu, dan unsur-unsur asli sebelumnya. Sementara itu, berdasarkan partisipasi ritualnya, Islam Santri lebih beorientasi menjalankan ritual yang diajarkan Islam secara baku seperti shalat, puasa, ibadah haji, mengaji. Sementara Islam abangan lebih berorientasi pada ritual-ritual yang tidak diajarkan secara baku seperti slametan, ngruwat, tirakat, sesajen, dan sebagainya.
Koentjaraningrat menyebut religiusitas Islam Abangan dengan istilah Agami Jawi dan Islam Santri dengan Agama Islam Santri. Kategori ini nampaknya untuk membedakan dua varian religius dan bukan varian sosial seperti santri, priyayi, dan abangan. Yang dimaksudkan Koentjaraningrat dengan Agami Jawi adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diaku sebagai agama Islam. Sementara itu, Agama Islam Santri lebih dekat pada dogma-dogma Islam baku.[2] Dengan kata lain, Islam Abangan atau Agami Jawi lebih bersifat sinkretis karena menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu-Budha dan Islam (heterodoks). Sementara Islam Santri lebih bersifat puritan karena mereka mengikuti ajaran agama secara ketat (ortodoks).
Walaupun demikian, seperti ditulis Koentjaraningrat, hal itu tidak berarti mereka hampir tidak beragama atau sangat sedikit memikirkan agama, atau menjalankan kehidupan tanpa kegiatan agama. Waktu-waktu mereka justru banyak tersita oleh aktivitas agama. Mereka juga percaya adanya Allah, percaya kenabian Muhammad, percaya dengan kebenaran kitab Al-Quran dan percaya bahwa orang baik akan masuk surga. Tetapi di samping itu mereka juga meyakini konsep dan pandangan keagamaan tertentu, percaya akan makhluk ghaib dan kekuatan sakti, dan melakukan ritus-ritus dan upacara keagamaan yang sangat sedikit sangkut-pautnya dengan doktrin-doktrin Islam resmi.[3]
Persoalan sinkretisme nampaknya menjadi isu sentral dalam pembahasan Islam abangan atau Agami Jawi. Hal ini tidak bisa diingkari karena Agami Jawi memang menampakkan perilaku religius yang banyak mengakomodir pandangan dan sistem ritual di luar Islam baku. Agami Jawi menampakkan wajah yang relatif ‘ramah’ atau lunak terhadap tradisi dan kepercayaan lokal yang ada sebelumnya. Sementara Islam santri lebih menampakkan keketatan dalam berpegang pada ajaran-ajaran Islam doktrinal.
Perilaku religius yang akomodatif ini banyak menimbulkan pertanyaan seperti unsur-unsur prinsip apa saja yang saling bersinkretis, sejauh mana unsur-unsur budaya Jawa itu mewarnai Islam dan begitu juga sebaliknya, sejauh mana unsur-unsur Islam mempengaruhi budaya Jawa, dengan cara apa dan pada tingkat apa proses sinkretis itu terjadi.
Persoalan sinkretisme menjadi menarik karena sinkretisme nampaknya merupakan fenomena yang umum terjadi ketika dua sistem keyakinan atau lebih saling bertemu. Sebagai misal pertemuan antara Islam dan Hindu di India yang kemudian melahirkan religiusitas baru yang bernama agama Shikh. Dalam konteks masyarakat Indonesia bahkan yang mengalami sinkretisme dalam sejarah masuknya agama-agama besar bukan hanya Islam, tetapi juga Hindu, Budha, Kriten atau Katolik. Dalam studinya tentang agama asli Indonesia, J.W.M. Bakker mencatat bahwa ajaran Hindu dan Budha pun, yang datang lebih dulu, tidak bisa menancap secara menyeluruh dan konsisten di negeri ini. Ajaran Hindu tentang kasta atau catur varna dan maya tidak bisa tumbuh dengan subur.[4]
Hal serupa juga terjadi dengan Islam. Ketika Islam memasuki Indonesia, dan khususnya Jawa, ia juga mengalami proses sinkretisasi dengan agama asli disamping bersinkretis dengan kepercayaan-kepercayaan yang telah datang lebih dulu, yaitu Hindu-Budha. Sehingga secara antropologis atau pun sosiologis di Jawa dikenal dua varian Islam yang cukup berbeda secara menyolok seperti tersebut di atas.



[1]Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa, (Jakarta: INIS, 1988), Jilid II, hlm. 1,6,7.
[2] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 312
[3] Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, hlm. 311
[4] J.W.M. Bakker, Agama Asli Indonesia, (Yogyakarta: Puskat, 1976), hlm. 217-218

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak. Kami tunggu kritik saran dan komentar anda!!!

contoh SURAT GUGATAN PERCERAIAN

SURAT GUGATAN PERCERAIAN Kepada Yth: Bapak/Ibu Ketua Pengadilan Negeri/Agama [...................] Di Tempat Dengan hormat ...