Kamis, 03 November 2016

PENGERTIAN HUKUM ISLAM (Agama dan Budaya bag 2)


  1. Pengertian Hukum Islam


Berbicara mengenai hukum Islam adalah berbicara mengenai fiqh. Meskipun fiqh bisa diartikan dengan ‘hukum Islam’, namun ‘hukum’ di sini tidak selalu identik dengan perundang-undangan (rules/law). Menurut Azizy, ‘hukum’ yang mencangkup al-ahkam al-khamsah dalam fiqh lebih dekat dengan konsep ‘etika agama’ (religious ethics) Islam. Dalam hal ini ciri utamanya adalah terwujudnya kandungan ‘nilai ibadah’ yang sarat dengan pahala, siksaan, dan berkonsekuensi akhirat.[1] Hal tersebut nampaknya juga mirip dengan pemahaman Josept Schacht yang mengartikan hukum Islam sebagai sekumpulan aturan keagamaan, totalitas perintah Allah yang mengatur perilaku kehidupan umat Islam dalam keseluruhan aspeknya.[2]

Selain fiqh, berbicara hukum Islam juga harus menyinggung istilah syari’ah. Istilah syari’ah seringkali dipahami sama dengan fiqh oleh sebagian orang. Hal ini tentunya menimbulkan problem tersendiri karena kedua istilah tersebut memiliki perbedaan yang signifikan, walaupun tidak dapat dinafikan bahwa keduanya juga memilaki hubungan yang erat. Syari’ah merupakan jalan yang ditetapkan oleh Tuhan dimana manusia harus mengarahkan hidupnya untuk merealisir kehendak-Nya[3] atau dengan kata lain syariah merupakan kehendak ilahi, suatu ketentuan suci yang bertujuan mengatur kehidupan masyarakat muslim. Sedangkan fiqh merupakan ilmu tentang hukum-hukum syar’iyyah amaliah dari dalil-dalil yang terinci (adillah tafshiliyyah).[4]

 

Dengan demikian syari’ah dan fiqh memiliki perbedaan yang sangat jelas. Perbedaan keduanya disimpulkan oleh pernyataan A. A Fyzee, bahwa syari’ah mencangkup hukum-hukum dan prinsip-prinsip ajaran Islam, sementara fiqh hanya berkaitan dengan aturan-aturan hukum saja.[5]

Abu Ameenah menambahkan tiga perbedaan lain antara syari’ah dan fiqh, yaitu: Pertama, Syari’ah merupakan hukum yang diwahyukan Allah yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunah, sementara fiqh adalah hukum yang disimpulkan dari syari’ah yang merespon situasi-situasi tertentu yang tidak secara langsung dibahas dalam hukum syari’ah. Kedua, syari’ah adalah pasti dan tidak berubah, sementara fiqh berubah sesuai dengan situasi dan kondisi dimana diterapkan. Ketiga, hukum syari’ah sebagian besar bersifat umum; meletakkan prinsip-prinsip dasar, sebaliknya hukum fiqh cenderung spesifik; menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip dasar syari’ah bisa diaplikasikan sesuai dengan keadaan.[6] Akan tetapi, walaupun sesungguhnya makna syari’ah dan fiqh memiliki perbedaan, namun kemudian diterjemahkan secara longgar sebagai ‘hukum Islam’.

[1] A. Qadri Azizy. Eklektisisme hukum Nasional  Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum. Yogyakarta: Gama Media. hlm.13.

[2] Josept Schacht. 2003. Pengantar Hukum Islam, terj. Joko Supomo. Yogyakarta: Islamika. hlm. 1.

[3] Fazlur Rahman. 1997. Islam, terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka. hlm. 141.

[4] Wahbah az-Zuhaili. 1986. Usul al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Dar al-Fikr. I: 19

[5] Mun’im A. Sirry. 1996. Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar. Surabaya: Risalah Gusti. hlm. 18.

[6] Abu Ameenah Bilal Philips. 2005. Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh; Analisis Historis Atas Mazhab, Doktrin dan Kontribusi, terj. M. fauzi Arifin. Bandung: Nuansa. hlm.xvi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak. Kami tunggu kritik saran dan komentar anda!!!

contoh SURAT GUGATAN PERCERAIAN

SURAT GUGATAN PERCERAIAN Kepada Yth: Bapak/Ibu Ketua Pengadilan Negeri/Agama [...................] Di Tempat Dengan hormat ...