PERLINDUNGAN
PEREMPUAN DAN ANAK LUAR NIKAH
DALAM PERADILAN
INDONESIA
Nur Avik
NIM: 13780008
PASCASARJANA UIN
MALIKI MALANG
Abstrak
Banyak
kasus yang masuk dalam peradilan agama adalah perceraian. Perceraian sering
terjadi berdasarkan sebab kurangnya pemenuhan kebutuhan ekonomi yang seharusnya
ditanggung oleh suami walaupun tidak menutup kemungkinan istri juga banyak yang
membantu suaminya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hak-hak yang seharusnya
didapat oleh isteri tidak lagi sepenuhnya didapatkan, apalagi kewajiban yang
seharusnya tidak ditanggung menjadi tanggungannya.
Sekarang
juga masih banyak perdebatan mengenai
status anak luar nikah , apakah nasab ikut ayah atau ibu. Jika nasab
hanya dikaitkan dengan ibu dan keluarganya bagaimana perlindungan hukum
terhadap anak tersebut? Padahal yang melakukan
kesalahan adalah orang tuanya, mengapa anaknya menjadi korban.
Dalam
penulisan ini penulis bertujuan untuk mengetahui perlindungan bagi perempuan
dan perlindungan anak luar nikah yang telah dilakukan oleh lembaga peradilan. Hasilnya
bahwa perlindungan perempuan dalam Peradilan Agama telah digalakkan, ini
terwujud dalam beberapa peraturan tentang Peradilan Agama seperti halnya izin ikrar talak yang harus memberikan
mutáh, permohonan eksekusi apabila suami tidak melakukan atau melaksanakan
putusan tentang pemberian nafkah pasca cerai, gugatan perceraian yang harus
dilakukan didaerah istrinya tinggal dan pemberlakuan justice for all . Perlindungan terhadap anak juga semakin digalakkan. Ini
tercermin dalam hukum yang berkembang di Indonesia. Tercermin pada putusan MK yang menyatakan
anak luar perkawianan adalah anak yang diakui.
A. Latar Belakang
Pengadilan
Agama merukan institusi hukum dan institusi sosial. Sebagai institusi hukum
pengadilan agama mempunyai tugas dan fungsi untuk memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Sebagai institusi sosial bertugas
untuk mencegah terjadinya kedzaliman di tengah masyarakat. Untuk melaksanakan
tugas dan fungsiya tersebut dengan sebaik-baiknya, diperlukan tiga komponen yang saling mendukung, yaitu
substansi hukum (aturan hukum), sturktur hukum (aparatur pelaksana) dan cultur
hukum ( budaya termasuk sarananya).
Aturan
hukum (substansi) yang mengatur kedudukan sebagai bagian dari peradilan negara
sudah semakin kokoh, karena telah disebutkan dalam konstitusi negara. Demikian
juga kewenangan peradilan agama semakin luas tidak hanya terbatas pada hukum
keluarga (perkawinan dan kewarisan) tetapi juga termasuk hukum kebendaan
(wakaf) dan ekonomi (syariah).
Sejalan
dengan perkembangan anggaran Negara untuk sektor hukum, sarana peradilan agama
semakin baik. Gedung Pengadilan Agama di semua daerah Kabupetan dan Kota sudah
mencerminkan kewibawaan lembaga penegak hukum. Diharapkan sarana yang lengkap
ini mendorong budaya hukum masyarakat untuk mentaati hukum. Apalagi ditambah
dengan sarana IT yang berkembang pesat akan mendukugn percerpatan penyelesaian
perkara dan memudahkan masyarakat mengakeses informasi seputar perkara yang
dihadapi.
Pengadilan
Agama adalah pengadilan yang menangani masalah keperdataan islam. Kebanyakan
kasus yang masuk di Pengadilan Agama adalah masalah gugat cerai yang dilakukan
oleh para perempuan, yang mana mereka merasa selama dalam urusan keluarganya
masih banyak hak mereka yang belum terpenuhi. Selain Pengadilan Agama, keberadaan institusi hukum yang lain seperti MK, DPR, MA, juga
termasuk dalam institusi hukum islam,
karena institusi-institusi tersebut juga berperan aktif dalam pembentukan hukum
islam di Indonesia. Sehingga penulis nanti akan membahas tentang salah
satu produk hukum yang bersinggungan dengan topik yang dibahas penulis,
yaitu mengenai status anak luar nikah , apakah nasab ikut
ayah atau ibu. Jika nasab hanya dikaitkan dengan ibu dan keluarganya bagaimana
perlindungan hukum terhadap anak tersebut? Padahal yang melakukan kesalahan adalah orang tuanya, mengapa
anaknya menjadi korban.
Dalam
uraian berikut akan coba dijelaskan bagaimana aturan hukum di lingkungan
peradilan agama semakin consern memberikan perlindungan kepada kaum
perempuan. Selain itu akan menjelaskan
tentang perlindungan hukum terhadap anak
luar nikah dalam institusi hukum islam.
B. Pembahasan
1.
Perlindungan Perempuan dalam
institusi Peradilan Agama
Sebelumnya
perlu dibedakan aturan hukum formil (acara) dan hukum materiil. Hukum formil
menyangkut cara bagaimana mengajukan perkara, memeriksa mengadili dan
menyelesaikan perkara untuk mempertahankan hukum materiil. Sedangkan hukum
materiil adalah hukum yang mengatur apa
yang seharusnya diberbuat dan tidak diperbuat oleh seseorang, sehingga kepada
pelanggarnya akan dikenakan akibat hukum.
Hukum
acara yang berlaku bagi Peradilan Agama adalah hukum acara yang berlaku bagi
pengadilan dalam Peradilan Umum,[1]
kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1989
sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan
ke II Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.[2]
Segera dapat diketahui, bahwa hukum acara yang diatur secara khusus tersebut adalah
mengenai perceraian. Dalam acara khsusus tersebut, diatur bahwa seorang isteri
(perempuan) sebagai penggugat yang akan menceraikan suaminya, mengajukan
perkaranya ke pengadilan agama yang
mewilayahui tempat tinggalnya, bukan tempat suami (tergugat).
Ketentuan
berbeda dengan acara pada umumnya, gugatan diajukan ke pengadilan yang
mewilayahi tergugat. Akan tetapi ketika suami akan mencerikan isteri harus
mengajukan perkaranya ke pengadilan yang
mewilayahi isteri (perempuan). Ketentuan ini jelas bertujuan untuk meringankan
perempuan dan melindunginya dari kesulitan-kesulitan ( akses ke pengadilan),
terutama ketika suami (tergugat) sudah bertempat tinggal di wilayah lain.
Hukum
materiil peradilan agama memang masih
tersebar dalam berbagai undang-undang dan Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi
dalam konteks hukum perkawinan terdapat semangat untuk melindungi kaum
perempuan. Diantaranya adalah dalam Kompilasi Hukum Islam yang memberikan kewenangan kepada Hakim (secara ex officio)
untuk menetapkan beban kewajiban hukum kepada suami yang mengajukan permhonan
izin ikrar talak, meskipun isteri tidak memintanya dalam pemeriksaan di
persidangan. Dalam yurisprudensi tetap, ketentuan tersebut oleh
Mahkamah Agung selalu diterapkan pada putusan permohonan izin ikrar talak.
Artinya putusan yang mengabulkan permohonan izin ikrar talak selalu suami
dibebani untuk memberikan nafakah iddah dan mutah.
Perlindungan
kepada perempuan tersebut akhir-akhir ini semakin digiatkan. Penggiatan tersebut tampak dalam putusan gadilan agama
yang memerintahkan kepada suami melaksanakan kewajiban hukumnya itu secara
segera setelah ikrar talak diucapkan. Akibat diktum seperti ini, suami yang
sudah dizinkan mengucapkan ikrar talak, tidak serta merta dapat mengucapkan
ikrar talaknya pada sidang ikrar talak, apabila saat itu belum disediakan (
uang dan lainnya) sebagai kewajiban hukum yang disebutkan dalam putusan.
Beberapa
hakim akan menunda persidangan sampai suami dapat menyediakan kewajiban
hukumnya itu. Kecuali isteri merelakannya, maka suami dapat mengucapkan ikrar
talak. Penajaman ini merupakan kemajuan yang progressif, karena selama ini
beban kewajiban kepada (mantan) suami yang tidak dipenuhinya, mengharuskan
(mantan) isteri mengajukan permohonan eksekusi. Permohonan eksekusi sudah
barang tentu menghadapkan isteri pada kendala hukum ekonomi. Ia tidak tahu cara
mengajaukan eksekusi dan tidak mempunyai biaya untuk itu. Oleh karena itu,
dengan mengembangkan wawasan kepada peraturan hukum yang memungkinan dijadikan
rujukan, dilakukan kajian bahwa beban kepada suami harus dilaksanakan sesaat
segera setelah ikrar talak diucapkan. [3]
Sarana
bagi peradilan agama untuk memberikan perlindungan kepada kaum perempuan,
sekarang mulai digencarkan dalam jargon “justice for all”. Program ini
bertujuan agar semua masyarakat Indoensia dapat memperoleh akses ke pengadilan.
Program
ini prgogram Mahakamah Agung, tetapi harus diakui, bahwa peradilan agama
menjadi olomotif, karena pencari keadilan di lingkungan peradilan agama
kebanyakan masyarakat sulit mengakses keadilan, baik karena faktor ekonomi
maupun transpirtasi. Oleh karena itu justice for All dalam implementasinya berbentuk pelayanan berperkara dengan
cuma-cuma alias prodeo dan pon bantuan hukum.
Program
berperkara dengan cuma-cuma hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar
miskin yang dibuktikan dengan adanya SKTM, Jamkesmas dan lain-lain yang dikeluarkan oleh Pemda. Sedangkan pos bantuan hukum diberikan kepada
masyarakat yang tidak mampu membayar
pengacara. Melalui pos bantuan hukum ini negara akan membantu mereka dengan
memberikan jasa konsultasi hukum untuk berperkara ke pengadilan agama.
Mamang
program “justice for all” bukan khusus untuk kaum perempuan. Akan tetapi segera
harus diakui, mereka yang miskin dan tidak mempunyai akses ke pengadilan agama
dan la yang memperoleh manfaat program “justice for all” ini dalah kaum
perempuan. [4]
Dengan
demikian program berperkara dengan cuma-cuma dan pos bantuan hukum tidak lain untuk memberikan perlindungan kepada
kaum perempuan yang hingga kini masih rentan tehadap perlakuan sosial yang
tidak adil.
2.
Kedudukan Anak Luar Nikah
Sebagai
salah satu konsekwensi dari perkawinan yang sah akan menimbulkan akibat hukum,
seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta perkawinan, hubungan timbal balik
antara kedua orang tua dengan anak (nasab), kewajiban pemeliharaan anak
(hadhanah), dan kewarisan.
Salah
satu akibat dari perkawinan yang sah, anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut adalah anak sah, memiliki
hubungan keperdataan secara sempurna
dengan kedua orang tuanya, sebagaiman ketentuan pasal 42 UU Nomor 1 tahun 1974
jo. Pasal 99 Inpres. Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. [5]
Hubungan
keperdataan yang dimaksud meliputi hak nasab (garis keturunan) anak dihubungkan
kepada ayah (dalam Islam), hak pemenuhan nafkah
dari orang tua terhadap anak, hak pemeliharaan dan pendidikan
(hadhanah), hak saling mewarisi, hak perwalian
nikah bagi ayah atas anak perempuan, dan hak-hak keperdataan lainnya.
Berbeda
halnya dengan perkawinan yang sah, perkawinan tidak sah tidak memiliki akbibat hukum apapun terhadap pihak
yang terikat dalam perkawinan tersebut. Sehingga tidak ada hak dan kewajiban
yang timbul dari perkawinan tersebut,
karena memang secara hukum perkawinan tersebut tidak ada. Maka tidak ada legal standing bagi masing-masing pihak
untuk mengajukan gugatan kelalaian
kewajiban terhadap suatu pihak tertentu.
Satu
hal yang menjadi persoalan, bagi seorang laki-laki dan perempuan yang telah melakukan hubungan di luar nikah,
sangat cocok mereka tidak mendapat
perlindungan hukum karena mereka telah melakukan pelanggaran terhadap hukum tersebut, sehingga sebagai
sanksi hukum hak yang semestinya mereka
dapatkan tidak diayomi oleh hukum, hal ini adalah sebuah resiko yang sangat
logis dan dapat diterima oleh siapapun. Persoalannya adalah anak yang dilahirkan dari hubungan tersebut apakah ikut
menanggung dosa yang telah dilakukan
kedua orang tua biologisnya.
Penetapan
asal usul anak dalam perspektif hukum
islam memiliki arti yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah
hubungan nasab anak tersebut. Walaupun pada hakikatnya setiap anak yang lahir
berasal dari sperma seorang laki-laki namun hukum islam memberikan ketentuan
yang berbeda.[6]
Dalam
hukum Islam, semua anak mempunyai hak dan kewajiban yang sama termasuk anak
luar nikah. Anak luar nikah tidak dapat memilih dari rahim siapa mereka
dilahirkan. Kalau anak itu lahir dari hasil perbuatan dosa kedua orang tunya,
maka yang bersalah adalah kedua orang
tuanya. Prinsip hukum islam secara tegas menyatakan bahwa setiap anak berstatus
fitrah. jika yang berbuat kesalahan itu kedua orang tuanya, maka kesalahan itu
tidak dapat ditimpakan kepada anaknya. Islam menolak keras adanya dosa warisan,
sehingga setiap orang harus dibebani pertanggung jawaban atas hasil
perbuatannya sendiri. Jika kemudian Islam membuat pembagian terhadap anak yang
dilahirkan, bukan berarti Islam melakukan diskriminasi atas hak-hak anak.
Sebaliknya, hal itu dimaksud untuk menegakkan
hukum yang telah digariskan Allah Swt.[7]
Mengenai
status anak luar nikah, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap punya hubungan
nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala
keperluannya, baik materiil maupun spirituil adalah ibunya dan keluarga ibunya.
Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris.[8]
Dalam fiqhul
manhaji, musthafa al khan dan musthafa al bugha, menjelaskan 5 implikasi
hukum dari hubungan nasab, yaitu: pertama, hukum-hukum menikah mengenai siapa
saja yang boleh dan haram dinikahi. Kedua, hukum nafaqah dan hal-hal yang
tekaitdenganya. Ketiga, hak perwalian dan derajat-derajatnya. Keempat, waris
dan hal-hal yang terkait denganya. Kelima, wasiat.[9]
Dalam
Undang-Undang no 1 tahun 1974 masalah
anak diatur dalam pasal 42, dan 43.
Pasal
42
Anak
yang sah adalah yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Pasal
43
Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
1.
Kedudukan anak tersebut ayat
(1) di atas selanjutnya akan di atur dalam peraturan pemerintah.
Dalam
Kompilasi hukum islam:
Pasal 99
Anak sah
adalah:
1. Anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan
yang sah
2. Hasil pembuahan
suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut
Pasal
100
Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Dalam
putusan mahkamah konstitusi NO
46/PUU-VIII/2010[10]
, dalam memaknai kedudukan/status anak
luar nikah, Berikut tabel yang mencoba
mengidentifikasi tiga status hubungan antara laki-laki dan perempuan beserta
keturunan mereka berdasarkan hukum yang berlaku:
Status Hubungan
|
Undang-Undang No.1 Tahun 1974
|
Hukum Islam (Fiqh klasik)
|
Putusan MK No.46/ PUU-VIII/
2010
|
Pernikahan tercatat
|
Tidak ada persoalan
|
Tidak ada persoalan
|
Tidak ada persoalan
|
Pernikahan tidak tercatat
|
Status istri dan anak tidak
diakui
|
Status istri dan anak tidak
diakui
|
Status anak diakui
|
Tanpa Pernikahan
|
Status istri dan anak tidak
diakui
|
Status istri dan anak tidak
diakui
|
Status anak diakui
|
Semua ini adalah upaya-upaya dalam melakukan
perlindungan hukum pada anak, khususnya anak luar nikah. Dari
penjelasan di atas, mulai Hukum Islam, UU perkawinan serta Kompilasi
Hukum Islam sampai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, bisa kita lihat adanya
perkembangan dan upaya untuk melindungi anak yang dilahirkan diluar nikah.
Dimulai
dari hukum islam yang menyatakan bahwa
pembuahan yang dilakukan sebelum pernikahan maka status anaknya bernasab pada
ibu dan keluarga ibu saja. Dalam kompilasi hukum islam menyatakan permasalahan
pembuahan tidah ada masalah yang penting anaknya lahir dalam pernikahan maka anaknya diakui oleh negara dan nasab anak tersebut
tersambung dengan ayah dan ibunya.
Kemudian pada keputusan Mahkamah
konstitusi di atas, walaupun anaknya lahir diluar nikah, maka anak tersebut
tetap diakui, sehingga inilah maknda dari perlindungan anak yang
sebenarnya. Kesalahan yang dilakukan oleh orang tua seharusnya tidak
berdampak pada anak, karena sesuai prinsip Agama Islam bahwa tidak ada yang namanya
dosa keturunan atau dosa yang ditanggung oleh orang lain.
C. Kesimpulan
Perlindungan
perempuan dalam Peradilan Agama telah digalakkan, ini terwujud dalam beberapa
peratura tentang Peradilan Agama
seperti halnya izin ikrar talak yang harus memberikan mutáh. Selain
itu istri juga berhak untuk mengajukan eksekusi apabila suami tidak
melakukan atau melaksanakan putusan tentang pemberian nafkah pasca cerai. Ada juga
gugatan perceraian yang harus dilakukan didaerah istrinya tinggal dan
pemberlakuan justice for all dan adanya
prodeo dalam berperkara di Pengadilan Agama.
Perlindungan terhadap anak juga semakin digalakkan. Ini
tercermin dalam hukum yang berkembang di Indonesia. Mulai
dari status anak perspektif hukum
Islam yang menyatakan anak luar kawin adalah anak zina dan nasab hanya
tersambung pada ibu saja, kemudian UU 1
tahun 1974 dan KHI yang menyatakan anak yang lahir di
dalam atau akibat perkawinan adalah anak yang sah, selanjutnya putusan MK yang
menyatakan anak luar perkawianan adalah anak yang diakui. Ini membuktikan baahwa upaya perlindungan
hukum terhadap anak luar kawin sangan digalakkan, karena kita tahu bahwa anak
tersebut tidak berdosa dan islam juga tidak mengenal dosa keturunan.
DAFTAR
PUSTAKA
Bintania ,Aris,
Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.
Hasil
Permohonan Uji Materiil UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan oleh Machica
Mukhtar
Nurudin ,Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum
perdata islam di Indonesia, studi kritis perkembangan Hukum Islam dari fikih,
uu no 1 tahun 1974 sampai Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Prenada Media
Group, 2006.
Rosyidi.
Imron. Implikasi Uji Materi Pasal 43
Ayat (1) Uu No 1 Tahun 1974. diakses di
http:// badilag.net
SATRIA ,RIO, SHI (Hakim Pengadilan Agama
Sengeti)| Kritik analisis tentang
putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2
ayat [2] dan pasal 43 ayat [1]
Satrio
,J.I, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-undang, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000,
Undang-undang
nomor 23 tahun 2004 tentang KDRT
Zuhaili, Wahbah az.
Al Fiqhu Al Islam Wa Adillatuhu, Juz 7, cet ke 3, (Damaskus: Dar
al Fikr,1987)
[1] Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh
al-Qadha, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012. H.1.
[2] Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama, h.3.
[3] Lihat : Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang KDRT, dengan
pemikiran bahwa tidak memenuhi kewajiban yang dibebankan oleh hakim sama dengan
pembiaran dan karena termasuk kekerasan (ekonomi) yang harus dicegah, dan salah
satu pencegahannya adalah dengan putusan hakim.
[4] Menurut fakta yang terjadi di pengadilan agama, kebanyakan yang
mengajukan gugatan adalah kaum perempuan, sehingga kebanyakan kaum perempuanlah
yang akan menikmati program ini.
[5] Rio Satria, SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti)| Kritik
analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1]
[6] Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata islam di
Indonesia, studi kritis perkembangan Hukum Islam dari fikih, uu no 1 tahun 1974
sampai Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Prenada Media Group, 2006. Hal 276.
[7] Imron Rosyidi. Implikasi Uji Materi Pasal 43 ayat (1) UU NO 1 TAHUN
1974. Diakses di http://badilag.net
[8] J. Satrio I, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam
Undang-undang, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 151.
[9] Wahbah az Zuhaili, Al
Fiqhu Al Islam Wa Adillatuhu, Juz 7, cet ke 3, (Damaskus: Dar al Fikr,1987)
hlm. 674
[10] Hasil Permohonan Uji Materiil UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
oleh machica Mukhtar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak. Kami tunggu kritik saran dan komentar anda!!!