Jumat, 04 November 2016

PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK LUAR NIKAH DALAM PERADILAN INDONESIA


PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK LUAR NIKAH
DALAM PERADILAN INDONESIA
Nur Avik
NIM: 13780008
PASCASARJANA UIN MALIKI MALANG
Abstrak

Banyak kasus yang masuk dalam peradilan agama adalah perceraian. Perceraian sering terjadi berdasarkan sebab kurangnya pemenuhan kebutuhan ekonomi yang seharusnya ditanggung oleh suami walaupun tidak menutup kemungkinan istri juga banyak yang membantu suaminya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hak-hak yang seharusnya didapat oleh isteri tidak lagi sepenuhnya didapatkan, apalagi kewajiban yang seharusnya tidak ditanggung menjadi tanggungannya.
Sekarang juga masih banyak perdebatan mengenai  status anak luar nikah , apakah nasab ikut ayah atau ibu. Jika nasab hanya dikaitkan dengan ibu dan keluarganya bagaimana perlindungan hukum terhadap anak tersebut? Padahal yang melakukan  kesalahan adalah orang tuanya, mengapa anaknya menjadi korban.
Dalam penulisan ini penulis bertujuan untuk mengetahui perlindungan bagi perempuan dan perlindungan anak luar nikah yang telah dilakukan oleh lembaga peradilan. Hasilnya bahwa perlindungan perempuan dalam Peradilan Agama telah digalakkan, ini terwujud dalam beberapa peraturan tentang Peradilan Agama  seperti halnya izin ikrar talak yang harus memberikan mutáh, permohonan eksekusi apabila suami tidak melakukan atau melaksanakan putusan tentang pemberian nafkah pasca cerai, gugatan perceraian yang harus dilakukan didaerah istrinya tinggal dan pemberlakuan  justice for all . Perlindungan  terhadap anak juga semakin digalakkan.  Ini  tercermin dalam hukum yang berkembang di Indonesia.  Tercermin pada putusan MK yang menyatakan anak luar perkawianan adalah anak yang diakui.

A. Latar Belakang
Pengadilan Agama merukan institusi hukum dan institusi sosial. Sebagai institusi hukum pengadilan agama mempunyai tugas dan fungsi untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Sebagai institusi sosial bertugas untuk mencegah terjadinya kedzaliman di tengah masyarakat. Untuk melaksanakan tugas dan fungsiya tersebut dengan sebaik-baiknya, diperlukan tiga  komponen yang saling mendukung, yaitu substansi hukum (aturan hukum), sturktur hukum (aparatur pelaksana) dan cultur hukum ( budaya termasuk sarananya).
Aturan hukum (substansi) yang mengatur kedudukan sebagai bagian dari peradilan negara sudah semakin kokoh, karena telah disebutkan dalam konstitusi negara. Demikian juga kewenangan peradilan agama semakin luas tidak hanya terbatas pada hukum keluarga (perkawinan dan kewarisan) tetapi juga termasuk hukum kebendaan (wakaf) dan ekonomi (syariah).
Sejalan dengan perkembangan anggaran Negara untuk sektor hukum, sarana peradilan agama semakin baik. Gedung Pengadilan Agama di semua daerah Kabupetan dan Kota sudah mencerminkan kewibawaan lembaga penegak hukum. Diharapkan sarana yang lengkap ini mendorong budaya hukum masyarakat untuk mentaati hukum. Apalagi ditambah dengan sarana IT yang berkembang pesat akan mendukugn percerpatan penyelesaian perkara dan memudahkan masyarakat mengakeses informasi seputar perkara yang dihadapi.
Pengadilan Agama adalah pengadilan yang menangani masalah keperdataan islam. Kebanyakan kasus yang masuk di Pengadilan Agama adalah masalah gugat cerai yang dilakukan oleh para perempuan, yang mana mereka merasa selama dalam urusan keluarganya masih banyak hak mereka yang belum terpenuhi. Selain  Pengadilan Agama,  keberadaan institusi  hukum yang lain seperti MK, DPR, MA, juga termasuk dalam  institusi hukum islam, karena institusi-institusi tersebut juga berperan aktif dalam pembentukan hukum islam di Indonesia.  Sehingga  penulis nanti akan membahas tentang salah satu produk hukum yang bersinggungan dengan topik yang dibahas penulis, yaitu  mengenai  status anak luar nikah , apakah nasab ikut ayah atau ibu. Jika nasab hanya dikaitkan dengan ibu dan keluarganya bagaimana perlindungan hukum terhadap anak tersebut? Padahal yang melakukan  kesalahan adalah orang tuanya, mengapa anaknya menjadi korban.
Dalam uraian berikut akan coba dijelaskan bagaimana aturan hukum di lingkungan peradilan agama semakin consern memberikan perlindungan kepada kaum perempuan.  Selain itu akan menjelaskan tentang perlindungan hukum terhadap anak  luar nikah dalam institusi hukum islam.

B. Pembahasan
1.      Perlindungan Perempuan dalam institusi Peradilan Agama
Sebelumnya perlu dibedakan aturan hukum formil (acara) dan hukum materiil. Hukum formil menyangkut cara bagaimana mengajukan perkara, memeriksa mengadili dan menyelesaikan perkara untuk mempertahankan hukum materiil. Sedangkan hukum materiil adalah hukum yang  mengatur apa yang seharusnya diberbuat dan tidak diperbuat oleh seseorang, sehingga kepada pelanggarnya akan dikenakan akibat hukum.
Hukum acara yang berlaku bagi Peradilan Agama adalah hukum acara yang berlaku bagi pengadilan dalam Peradilan Umum,[1] kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1989 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan ke II Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.[2] Segera dapat diketahui, bahwa hukum acara yang diatur secara khusus tersebut adalah mengenai perceraian. Dalam acara khsusus tersebut, diatur bahwa seorang isteri (perempuan) sebagai penggugat yang akan menceraikan suaminya, mengajukan perkaranya ke pengadilan agama yang  mewilayahui tempat tinggalnya, bukan tempat suami (tergugat).
Ketentuan berbeda dengan acara pada umumnya, gugatan diajukan ke pengadilan yang mewilayahi tergugat. Akan tetapi ketika suami akan mencerikan isteri harus mengajukan perkaranya ke pengadilan  yang mewilayahi isteri (perempuan). Ketentuan ini jelas bertujuan untuk meringankan perempuan dan melindunginya dari kesulitan-kesulitan ( akses ke pengadilan), terutama ketika suami (tergugat) sudah bertempat tinggal di wilayah lain.
Hukum materiil  peradilan agama memang masih tersebar dalam berbagai undang-undang dan Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi dalam konteks hukum perkawinan terdapat semangat untuk melindungi kaum perempuan. Diantaranya adalah dalam Kompilasi Hukum Islam yang memberikan  kewenangan kepada Hakim (secara ex officio) untuk menetapkan beban kewajiban hukum kepada suami yang mengajukan permhonan izin ikrar talak, meskipun isteri tidak memintanya dalam pemeriksaan di persidangan.  Dalam  yurisprudensi tetap, ketentuan tersebut oleh Mahkamah Agung selalu diterapkan pada putusan permohonan izin ikrar talak. Artinya putusan yang mengabulkan permohonan izin ikrar talak selalu suami dibebani untuk memberikan nafakah iddah dan mutah.
Perlindungan kepada perempuan tersebut akhir-akhir ini semakin  digiatkan. Penggiatan  tersebut tampak dalam putusan gadilan agama yang memerintahkan kepada suami melaksanakan kewajiban hukumnya itu secara segera setelah ikrar talak diucapkan. Akibat diktum seperti ini, suami yang sudah dizinkan mengucapkan ikrar talak, tidak serta merta dapat mengucapkan ikrar talaknya pada sidang ikrar talak, apabila saat itu belum disediakan ( uang dan lainnya) sebagai kewajiban hukum yang disebutkan dalam putusan.
Beberapa hakim akan menunda persidangan sampai suami dapat menyediakan kewajiban hukumnya itu. Kecuali isteri merelakannya, maka suami dapat mengucapkan ikrar talak. Penajaman ini merupakan kemajuan yang progressif, karena selama ini beban kewajiban kepada (mantan) suami yang tidak dipenuhinya, mengharuskan (mantan) isteri mengajukan permohonan eksekusi. Permohonan eksekusi sudah barang tentu menghadapkan isteri pada kendala hukum ekonomi. Ia tidak tahu cara mengajaukan eksekusi dan tidak mempunyai biaya untuk itu. Oleh karena itu, dengan mengembangkan wawasan kepada peraturan hukum yang memungkinan dijadikan rujukan, dilakukan kajian bahwa beban kepada suami harus dilaksanakan sesaat segera setelah ikrar talak diucapkan. [3]
Sarana bagi peradilan agama untuk memberikan perlindungan kepada kaum perempuan, sekarang mulai digencarkan dalam jargon “justice for all”. Program ini bertujuan agar semua masyarakat Indoensia dapat memperoleh akses ke pengadilan.
Program ini prgogram Mahakamah Agung, tetapi harus diakui, bahwa peradilan agama menjadi olomotif, karena pencari keadilan di lingkungan peradilan agama kebanyakan masyarakat sulit mengakses keadilan, baik karena faktor ekonomi maupun transpirtasi. Oleh karena itu justice for All dalam implementasinya  berbentuk pelayanan berperkara dengan cuma-cuma alias prodeo dan pon bantuan hukum.
Program berperkara dengan cuma-cuma hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar miskin yang dibuktikan dengan adanya SKTM, Jamkesmas dan lain-lain  yang dikeluarkan oleh Pemda.  Sedangkan pos bantuan hukum diberikan kepada masyarakat yang tidak  mampu membayar pengacara. Melalui pos bantuan hukum ini negara akan membantu mereka dengan memberikan jasa konsultasi hukum untuk berperkara ke pengadilan agama.
Mamang program “justice for all” bukan khusus untuk kaum perempuan. Akan tetapi segera harus diakui, mereka yang miskin dan tidak mempunyai akses ke pengadilan agama dan la yang memperoleh manfaat program “justice for all” ini dalah kaum perempuan. [4]
Dengan demikian program berperkara dengan cuma-cuma dan pos bantuan hukum tidak  lain untuk memberikan perlindungan kepada kaum perempuan yang hingga kini masih rentan tehadap perlakuan sosial yang tidak adil.
2.      Kedudukan Anak Luar Nikah
Sebagai salah satu konsekwensi dari perkawinan yang sah akan menimbulkan akibat hukum, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta perkawinan, hubungan timbal balik antara kedua orang tua dengan anak (nasab), kewajiban pemeliharaan anak (hadhanah), dan kewarisan.
Salah satu akibat dari perkawinan yang sah, anak yang dilahirkan dari  pernikahan tersebut adalah anak sah, memiliki hubungan keperdataan secara  sempurna dengan kedua orang tuanya, sebagaiman ketentuan pasal 42 UU Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 99 Inpres. Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. [5]
Hubungan keperdataan yang dimaksud meliputi hak nasab (garis keturunan) anak dihubungkan kepada ayah (dalam Islam), hak pemenuhan nafkah  dari orang tua terhadap anak, hak pemeliharaan dan pendidikan (hadhanah), hak  saling mewarisi, hak perwalian nikah bagi ayah atas anak perempuan, dan hak-hak keperdataan lainnya.
Berbeda halnya dengan perkawinan yang sah, perkawinan tidak sah tidak  memiliki akbibat hukum apapun terhadap pihak yang terikat dalam perkawinan tersebut. Sehingga tidak ada hak dan kewajiban yang timbul dari perkawinan  tersebut, karena memang secara hukum perkawinan tersebut tidak ada. Maka tidak  ada legal standing bagi masing-masing pihak untuk mengajukan gugatan  kelalaian kewajiban terhadap suatu pihak tertentu.
Satu hal yang menjadi persoalan, bagi seorang laki-laki dan perempuan  yang telah melakukan hubungan di luar nikah, sangat cocok mereka tidak  mendapat perlindungan hukum karena mereka telah melakukan pelanggaran  terhadap hukum tersebut, sehingga sebagai sanksi hukum hak yang semestinya  mereka dapatkan tidak diayomi oleh hukum, hal ini adalah sebuah resiko yang sangat logis dan dapat diterima oleh siapapun. Persoalannya adalah anak yang  dilahirkan dari hubungan tersebut apakah ikut menanggung dosa yang telah  dilakukan kedua orang tua biologisnya.
Penetapan asal usul anak dalam perspektif  hukum islam memiliki arti yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah hubungan nasab anak tersebut. Walaupun pada hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki namun hukum islam memberikan ketentuan yang berbeda.[6]
Dalam hukum Islam, semua anak mempunyai hak dan kewajiban yang sama termasuk anak luar nikah. Anak luar nikah tidak dapat memilih dari rahim siapa mereka dilahirkan. Kalau anak itu lahir dari hasil perbuatan dosa kedua orang tunya, maka yang bersalah adalah kedua  orang tuanya. Prinsip hukum islam secara tegas menyatakan bahwa setiap anak berstatus fitrah. jika yang berbuat kesalahan itu kedua orang tuanya, maka kesalahan itu tidak dapat ditimpakan kepada anaknya. Islam menolak keras adanya dosa warisan, sehingga setiap orang harus dibebani pertanggung jawaban atas hasil perbuatannya sendiri. Jika kemudian Islam membuat pembagian terhadap anak yang dilahirkan, bukan berarti Islam melakukan diskriminasi atas hak-hak anak. Sebaliknya, hal itu dimaksud untuk menegakkan  hukum yang telah digariskan Allah Swt.[7]
Mengenai status anak luar nikah, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala keperluannya, baik materiil maupun spirituil adalah ibunya dan keluarga ibunya. Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris.[8]
Dalam  fiqhul  manhaji, musthafa al khan dan musthafa al bugha, menjelaskan 5 implikasi hukum dari hubungan nasab, yaitu: pertama, hukum-hukum menikah mengenai siapa saja yang boleh dan haram dinikahi. Kedua, hukum nafaqah dan hal-hal yang tekaitdenganya. Ketiga, hak perwalian dan derajat-derajatnya. Keempat, waris dan hal-hal yang terkait denganya. Kelima, wasiat.[9]
Dalam Undang-Undang no 1 tahun 1974 masalah  anak diatur dalam pasal 42, dan 43.
Pasal 42
Anak yang sah adalah yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Pasal 43
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
1.      Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan di atur dalam peraturan pemerintah.
Dalam Kompilasi hukum islam:
Pasal 99
Anak sah adalah:
1.  Anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah
2.  Hasil  pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut
Pasal 100
Anak  yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Dalam putusan mahkamah konstitusi  NO 46/PUU-VIII/2010[10] , dalam memaknai kedudukan/status  anak luar nikah,  Berikut tabel yang mencoba mengidentifikasi tiga status hubungan antara laki-laki dan perempuan beserta keturunan mereka berdasarkan hukum yang berlaku:
Status Hubungan
Undang-Undang No.1 Tahun 1974
Hukum Islam (Fiqh klasik)
Putusan MK No.46/ PUU-VIII/ 2010
Pernikahan tercatat
Tidak ada persoalan

Tidak ada persoalan

Tidak ada persoalan
Pernikahan tidak tercatat
Status istri dan anak tidak diakui
Status istri dan anak tidak diakui
Status anak diakui
Tanpa Pernikahan
Status istri dan anak tidak diakui
Status istri dan anak tidak diakui
Status anak diakui


Semua  ini adalah upaya-upaya dalam melakukan perlindungan hukum pada anak, khususnya anak luar nikah.  Dari  penjelasan di atas, mulai Hukum Islam, UU perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam sampai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, bisa kita lihat adanya perkembangan dan upaya untuk melindungi anak yang dilahirkan diluar nikah.
Dimulai dari hukum islam  yang menyatakan bahwa pembuahan yang dilakukan sebelum pernikahan maka status anaknya bernasab pada ibu dan keluarga ibu saja. Dalam kompilasi hukum islam menyatakan permasalahan pembuahan tidah ada masalah yang penting anaknya lahir dalam pernikahan maka anaknya  diakui oleh negara dan nasab anak tersebut tersambung dengan ayah dan ibunya.  Kemudian  pada keputusan Mahkamah konstitusi di atas, walaupun anaknya lahir diluar nikah, maka anak tersebut tetap diakui, sehingga inilah maknda dari perlindungan anak yang sebenarnya.  Kesalahan  yang dilakukan oleh orang tua seharusnya tidak berdampak pada anak, karena sesuai prinsip Agama Islam bahwa tidak ada yang namanya dosa keturunan atau dosa yang ditanggung oleh orang lain.

C. Kesimpulan
Perlindungan perempuan dalam Peradilan Agama telah digalakkan, ini terwujud dalam beberapa peratura tentang Peradilan Agama   seperti halnya izin ikrar talak yang harus memberikan mutáh.  Selain  itu istri juga berhak untuk mengajukan eksekusi apabila suami tidak melakukan atau melaksanakan putusan tentang pemberian nafkah pasca cerai.  Ada  juga gugatan perceraian yang harus dilakukan didaerah istrinya tinggal dan pemberlakuan  justice for all dan adanya prodeo dalam berperkara di Pengadilan Agama.
Perlindungan  terhadap anak juga semakin digalakkan.  Ini  tercermin dalam hukum yang berkembang di Indonesia.  Mulai  dari status anak perspektif hukum  Islam yang menyatakan anak luar kawin adalah anak zina dan nasab hanya tersambung pada ibu saja, kemudian UU 1  tahun  1974  dan KHI yang menyatakan anak yang lahir di dalam atau akibat perkawinan adalah anak yang sah, selanjutnya putusan MK yang menyatakan anak luar perkawianan adalah anak yang diakui.  Ini membuktikan baahwa upaya perlindungan hukum terhadap anak luar kawin sangan digalakkan, karena kita tahu bahwa anak tersebut tidak berdosa dan islam juga tidak mengenal dosa keturunan.






DAFTAR PUSTAKA


Bintania  ,Aris,  Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.
Hasil Permohonan Uji Materiil UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan oleh Machica Mukhtar
Nurudin  ,Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata islam di Indonesia, studi kritis perkembangan Hukum Islam dari fikih, uu no 1 tahun 1974 sampai Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Prenada Media Group, 2006.
Rosyidi. Imron.  Implikasi Uji Materi Pasal 43 Ayat (1) Uu No 1 Tahun 1974. diakses di  http:// badilag.net
SATRIA  ,RIO, SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti)|  Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil  Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1] 
Satrio ,J.I, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-undang, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000,
Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang KDRT
Zuhaili,  Wahbah az.  Al Fiqhu Al Islam Wa Adillatuhu, Juz 7, cet ke 3, (Damaskus: Dar al Fikr,1987) 



[1] Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012. H.1.
[2] Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama, h.3.
[3] Lihat : Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang KDRT, dengan pemikiran bahwa tidak memenuhi kewajiban yang dibebankan oleh hakim sama dengan pembiaran dan karena termasuk kekerasan (ekonomi) yang harus dicegah, dan salah satu pencegahannya adalah dengan putusan hakim.
[4] Menurut fakta yang terjadi di pengadilan agama, kebanyakan yang mengajukan gugatan adalah kaum perempuan, sehingga kebanyakan kaum perempuanlah yang akan menikmati program ini.
[5] Rio Satria, SHI (Hakim Pengadilan Agama Sengeti)| Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal 2 ayat [2] dan pasal 43 ayat [1]
[6] Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata islam di Indonesia, studi kritis perkembangan Hukum Islam dari fikih, uu no 1 tahun 1974 sampai Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Prenada Media Group, 2006. Hal 276.
[7] Imron Rosyidi. Implikasi Uji Materi Pasal 43 ayat (1) UU NO 1 TAHUN 1974. Diakses di http://badilag.net
[8] J. Satrio I, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-undang, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 151.
[9]  Wahbah az Zuhaili, Al Fiqhu Al Islam Wa Adillatuhu, Juz 7, cet ke 3, (Damaskus: Dar al Fikr,1987) hlm. 674
[10] Hasil Permohonan Uji Materiil UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan oleh machica Mukhtar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak. Kami tunggu kritik saran dan komentar anda!!!

contoh SURAT GUGATAN PERCERAIAN

SURAT GUGATAN PERCERAIAN Kepada Yth: Bapak/Ibu Ketua Pengadilan Negeri/Agama [...................] Di Tempat Dengan hormat ...