Kamis, 03 November 2016

Sejarah Persinggungan antara Hukum Islam dan Budaya (hub agama & budaya bag4)


  1. Sejarah Persinggungan antara Hukum Islam dan Budaya


Dalam paradigma sebagian masyarakat, Islam dianggap sebagai agama yang lahir dengan membawa risalah baru. Dalam hal ini, Islam dianggap sebagai sebuah agama yang muncul untuk merubah seluruh sistem kebudayaan, khususnya Arab pra-Islam. Dalam konsep yang ada, masa pra-Islam seringkali dianggap sebagai masa kebodohan (jahiliyyah). Bila jahiliyah terkait dengan sistem etika sosialnya yang tidak manusiawi, mungkin bisa dianggap benar. Akan tetapi bila jahiliyyah ditujukan untuk seluruh sistem budaya yang berkembang di masyarakat Arab, maka hal tersebut tidak bisa dibenarkan. Thaha Husain menolak anggapan bahwa pra-Islam dianggap sebagai masa jahiliyah dengan asumsi, pertama, al-Qur’an menantang bangsa Arab dengan retorika untuk mendatangkan surat yang sepadan dan menyamai al-Qur’an.[1]

Tantangan ini tentunya tidak ditujukan kepada orang lemah. Dengan demikian tantangan al-Qur’an mengindikasikan bahwa masyarakat Arab telah berada pada tingkat kemajuan fantastik dalam stilistika, epistemik, dan peradaban, sebagai sebuah sisi yang menjadi tema tantangan al-Qur’an. Kedua, dalam faktanya, Islam banyak mewarisi peninggalan-peninggalan bangsa Arab serta mengadopsi sistem (pranata) yang berkembang dikalangan mereka.[2]

Dari fakta yang ada, banyak budaya yang ada di masa pra-Islam diadopsi dan dipraktekkan oleh nabi Muhammad. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam lahir tidak dalam rangka menghilangkan seluruh kebudayaan yang berkembang dan dijalankan oleh masyarakat Arab pra-Islam. Nabi Muhammad banyak menciptakan aturan-aturan yang melegalkan hukum adat masyarakat Arab, sehingga memberi tempat bagi praktek hukum Adat di dalam sistem hukum Islam.[3]

Sebagai bukti dari hal tersebut adalah adanya konsep sunah taqririyyah, Sunah taqririyyah merupakan legitimasi Nabi terhadap ucapan atau perbuatan sahabat, baik dengan cara diam dan sebagainya.

Nabi Muhammad. Hal ini mengindikasikan bahwa Nabi tidak melakukan tindakan-tindakan perubahan terhadap hukum yang berlaku di masyarakat Arab, sepanjang hukum tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran fundamental Islam.

Dalam hal ibadah, Islam menjalankan ibadah haji dan umrah sebagaimana telah dipraktekkan dalam masyarakat Arab jauh sebelum Islam datang. Masyarakat Arab menjalankan ritual-ritual tersebut sebagaimana dijalankan oleh umat Islam sekarang ini, yaitu: talbiyyah, ihram, wukuf dan lain sebagainya. Setelah kedatangan Islam, kemudian praktek tersebut diteruskan dengan penggunaan istilah yang sama. Akan tetapi Islam kemudian membersihkan ibadah ini dari perilaku syirik, seperti ungkapan- talbiyyah mereka yang masih bernuansa syirik. Disamping itu Islam juga melarang bertawaf secara telanjang.[4]

Selain dalam hal ibadah, hukum Islam juga mengadopsi budaya yang lain, misalnya sistem qisas dan diyat. Kedua hal tersebut merupakan praktek budaya masyarakat pra-Islam kemudian diadopsi dalam hukum pidana Islam. Demikian juga terkait dengan beberapa sistem transaksi yang berkembang di masyarakat pra-Islam juga diadopsi dalam sistem hukum Islam.[5]

Pada masa sahabat Nabi, hukum-hukum yang dibangun oleh para sahabat juga senantiasa memperhitungkan budaya yang berkembang di masyarakat. Apalagi setelah masa penaklukan dimana kekuasaan dan pengaruh Islam semakin berkembang luas. Khalifah Umar misalnya, mengadopsi sistem diwan dari tradisi masyarakat Persia. Selain itu, Umar juga mengadopsi sistem pelayanan pos yang merupakan tradisi masyarakat Sasanid dan kerajaan Byzantium.

Dalam pemikiran ulama fiqih, dapat dilihat pengaruh sosial budaya terhadap gagasan-gagasan yang dibangunnya. Abu Hanifah memasukkan adat sebagai salah satu prinsip istihsan-nya. Dalam ijtihadnya, Abu Hanifah memanfaatkan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan sosial yang beragam dari masyarakat sebagai sumber hukum sekunder sepanjang hal tersebut tidak berlawanan dengan nass maupun spirit syari’ah. Salah satu faktanya adalah pendapat Abu Hanifah yang menganggap bahwa kedua telapak kaki bukanlah termasuk dalam kategori aurat. Ia beralasan bahwa kedua telapak kaki lebih menyulitkan untuk ditutupi daripada kedua telapak tangan, khususnya bagi perempuan-perempuan miskin di pedesaan yang (saat itu) seringkali berjalan (tanpa alas kaki) untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Demikian juga dengan Imam Malik yang mendudukkan adat masyarakat Madinah sebagai bagian penting dalam teori hukumnya. Secara logis, Imam Malik berpandangan bahwa karena sebagian besar masyarakat Madinah merupakan keturunan langsung sahabat, dan Madinah merupakan tempat Rasulullah menghabiskan sepuluh tahun terakhir kehidupannya, maka praktek (adat) yang dilakukan pasti diperbolehkan, jika tidak malah dianjurkan oleh Rasulullah.

Salah satu hal penting untuk menjelaskan pengaruh sosial budaya dalam konstruk pemikiran hukum Islam adalah terkait dengan fenomena Imam Syafi’i. Sejarah hidupnya menunjukkan bahwa pemikirannya sangat dipengaruhi oleh masyarakat sekitar. Dengan kata lain, keadaan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat mempengaruhi Imam Syafi’i dalam membentuk pemikiran hukumnya. Fakta yang paling nyata dari hal tersebut adalah munculnya apa yang disebut dengan qaul qadim dan qaul jadid dalam spektrum pemikiran Imam Syafi’i. Qaul qadim dan qaul jadid membuktikan fleksibilitas fiqh dan adanya ruang gerak dinamis bagi kehidupan, perkembangan dan pembaharuan. Menurut Ali Sayis, lahirnya madzhab jadid merupakan dampak dari perkembangan baru yang dialaminya, dari penemuan hadis, pandangan dan kondisi sosial baru yang tidak ditemuinya di Hijaz dan Irak. Menurut sejarah, madzhab qadimdibangun di Irak, sedangkan madzhab jadidadalah pendapatnya selama berdiam di Mesir.

[1] Q.S. Yunus (10): 38. Q.S. Hud (11): 13.

[2] Khalil Abdul Karim. 2003. Syari’ah Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj. Kamran        As’ad. Yogyakarta: LKiS. hlm. x-xi.

[3]     Majid Khadduri. 2002. Perang dan Damai Dalam Hukum Islam, terj. Kuswanto. Yogyakarta: Tarawang Press. hlm. 19; Ratno Lukito, Islamic Law…, hlm. 4.

 

[4] Khalil Abdul Karim, Syari’ah Sejarah…, hlm. 7-8.

[5] Khalil Abdul Karim, Syari’ah Sejarah…, hlm. 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak. Kami tunggu kritik saran dan komentar anda!!!

contoh SURAT GUGATAN PERCERAIAN

SURAT GUGATAN PERCERAIAN Kepada Yth: Bapak/Ibu Ketua Pengadilan Negeri/Agama [...................] Di Tempat Dengan hormat ...