Sabtu, 05 November 2016

MASLAHAH MENURUT IZZUDDIN BIN ABDUSSALAM ABDISSALAM

A.     Maslahah Menurut Izzuddin
'Izzuddin menyatakan bahwa agama Islam datang untuk memosisikan dua maslahat dan menegasikan dua mafsadat. Maslahat dunia dan maslahat akhirat; dan mafsadat dunia dan mafsadat akhirat.
Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam sendiri menyatakan bahwa kata al mashalih (bentuk plural darial maslahah) dan al mafasid (bentuk plural dari al fasadu) sering diungkapkan dengan kata khoir (kebaikan) dan asy syarr (keburukan), an naf’ (manfaat) dan adh dhoorr (bahaya), al hasanah (kebaikan) dan as sayi’ah (keburukan). Karena maslahah mencakup semua kebaikan dan manfaat, sedangkan al mafasid mencakup seluruh keburukan dan bahaya. Al-Qur’an sendiri selalu menggunakan kata al hasanah untuk menunjukan pengertian al maslahah dan kata as sayiah untuk menunjukan pengertian al mafsadah.[1]




Maslahat dan mafsadat dunia umumnya dapat diketahui dengan akal. Sebab sebelum wahyu turun pun, masyarakat Jahiliyah –dan manusia di mana saja– sudah berlomba-lomba di dalam mencari maslahat dunia dan berlari dari mafsadatnya.[2] Akan halnya maslahat dan mafsadat akhirat, maka hanya dapat diketahui dengan syara'. Tentu saja keterlibatan akal di dalam penyelesaian berbagai kasus hukum tetap dibutuhkan. Pun syara' memperkenankan penggunaan Qiyas yang mu'tabar dalam penetapan hukum.[3]
Dalam pandangan Izzuddin, sedikit sekali perkara yang mengandung maslahat saja atau mafsadat saja. Yang banyak adalah perkara yang mengandung kedua-duanya. Dasarnya adalah hadit Nabi saw yang berbunyi,
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ رواه مسلم
Surga itu dikelilingi oleh perkara-perkara yang tidak disukai, sedangkan neraka itu dikelilingi oleh perkara-perkara yang disenangi (HR. Muslim).

1.     Maslahah dan Mafsadat
Perkara-perkara yang mengantarkan ke surga adalah maslahat tetapi juga mafsadat ditinjau dari realitanya yang seringkali menyulitkan dan menyakitkan. Sedangkan perkara-perkara yang mengantarkan ke neraka adalah mafsadat tetapi juga maslahat ditinjau dari realitanya yang menyenangkan. Pada umumnya, manusia lebih mendahulukan perkara yang maslahatnya lebih kuat dan meninggalkan perkara yang mafsadatnya lebih besar. Karena itulah –karena kasih sayang Allah– disyariatkan penegakan hukum Hudud dan Ta'zir terhadap berbagai pelanggaran yang akan menjerumuskan seseorang ke jurang neraka.[4]
2.     Masalahat dan mafsadat dibagi menjadi wasilah dan tujuan
Perkara-perkara yang diwajibkan dan disunnahkan ada dua: yang merupakan tujuan dan yang merupakan wasilah. Demikian pula halnya dengan perkara-perkara yang diharamkan dan dimakruhkan. Hukum wasilah sama dengan hukum tujuan; wasilah kepada tujuan yang paling utama adalah wasilah yang paling utama.
Kemudian, wasilah-wasilah itu bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkatan maslahat dan mafsadat. Siapa saja yang bisa mengetahui tingkatan-tingkatan maslahat dan mafsadat ini, maka dia tahu perkara-perkara yang mesti didahulukan dan diakhirkan, mana yang mesti ditanggung dan dibuang.[5]
Selanjutnya Izzudin Ibnu Abdil Azis mendefinisikan maslahah dalam 2 bentuk. Yang pertama hakiki,maksudnya berupa “kesenangan dan kenikmatan”. Kedua, bentuk majazi, maksudnya “sebab-sebab yang mendatangkan kesenangan dan kenikmatan” tersebut, dan bisa jadi faktor datangnya maslahah adalah justru mafasid (kerusakan).[6] Definisi ini didasarkan bahwa pada prinsipnya ada empat bentuk manfaat, yaitu kelezatan dan sebab sebabnya serta kesenangan dan sebab-sebabnya.[7]
3.     Tingkatan-tingkatan maslahat dan mafsadat
Menurut 'Izzuddin bin 'Abdussalam, secara global tingkatan maslahat ada dua. Pertama, maslahat yang diwajibkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya. Maslahat yang diwajibkan ini dapat diklasifikasi menjadi tiga; maslahat yang afdhal, maslahat yang fadhil, dan maslahat yang berada di antara keduanya. Maslahat yang afdhal adalah maslahat yang tertinggi, yakni maslahat yang menegasikan mafsadat yang paling besar, sekaligus mendatangkan maslahat yang paling rajih. Contoh dari maslahat yang afdhal ini adalah iman kepada Allah. Sesungguhnya Rasulullah saw. Pernah ditanya tentang amalan yang paling utama; dan beliau menjawab, "Yaitu iman kepada Allah." Beliau ditanya lagi tentang amalan yang berada di tingkat bawahnya; dan beliau menjawab, "Berjihad di jalan Allah." (H.R. al-Bukhariy)
Kedua, maslahat yang disunnahkan oleh Allah. Yakni maslahat yang diserukan oleh Allah demi memperbaiki keadaan sekalian hamba. Yang perlu dicatat adalah bahwa kedudukan maslahat tertinggi dari maslahat yang disunnahkan ini masih di bawah kedudukan maslahat terrendah dari maslahat yang diwajibkan. Maknanya, amalan wajib tidak boleh dikalahkan –bagaimana pun– oleh amalan sunnah.[8]
Mafsadat juga ada dua. Pertama, mafsadat yang diharamkan oleh Allah untuk didekati. Kedua, mafsadat yang dimakruhkan oleh Allah untuk didekati. Mafsadat yang diharamkan untuk didekati diklasifikasikan menjadi tiga: mafsadat kabir (besar), mafsadat akbar (lebih besar), dan mafsadat yang berada di antara keduanya. Rasulullah saw. pernah ditanya tentang dosa yang paling besar. Beliau menjawab, "Menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dia yang menciptakanmu." Beliau ditanya, berikutnya apa? Beliau menjawab, "Membunuh anak karena khawatir anak itu ikut makan harta." Beliau ditanya lagi, kemudian apa? Beliau menjawab, "Berzina dengan istri tetangga." (H.R. al-Bukhariy dan Muslim)
Mafsadat yang dimakruhkan pun bertingkat-tingkat, dari yang mendekati mafsadat yang diharamkan sampai yang mendekati perkara yang dibolehkan.[9]
4.     Pertentangan maslahat dan mafsadat
Jika dua maslahat bertentangan dan tidak mungkin dikompromikan, maka jika diketahui mana yang lebih rajih, yang lebih rajih itulah yang dikedepankan. Jika tidak diketahui, sesungguhnya sebagian ulama akan mengetahui mana yang lebih rajih, sehingga yang lebih rajih itulah yang dikedepankan. Mungkin ulama lain memandang yang tidak dikedepankan oleh ulama yang lain sebagai maslahat yang rajih sehingga dia mengedepankannya. Kedua ulama mujtahid itu sama-sama mendapatkan maslahat atau salah satunya yang mendapatkan maslahat, sedangkan yang lain ma'fuw 'anhu (dimaafkan). Yang demikian ini berlaku pula untuk pertentangan antara maslahat dan mafsadat.[10]
5.      Mafsadat yang dikira Maslahah
Menurut 'Izzuddin, jika seseorang melakukan suatu mafsadat, sedangkan dia mengiranya sebagai maslahat; misalnya seseorang mengkonsumsi makanan yang dikiranya miliknya padahal sebanarnya bukan, maka orang itu tidak berdosa. Perbuatannya itu tidak disebut sebagai perbuatan baik maupun perbuatan maksiat. Tidak pula disebut sebagai perbuatan yang mubah. Banyasanya perbuatannya itu ma'fuw 'anhu (dimaafkan); disejajarkan dengan perbuatan anak kecil atau orang gila. Tentu saja orang itu masih berkewajiban menanggung kerusakan atau kerugian yang dilakukannya terhadap pihak lain.
Dari penjelasan maslahat oleh izzuddin bin Abdussalam, kita bisa melihat bahwa Izzuddin tidak hanya melihat suatu perbuatan mengandung maslahat dari maslahat itu sendiri, melainkan juga melihat mafsadat yang terkandung dalam suatu perbuatan tersebut .
Izzuddin merupakan ulama yang mengatakan bahwa kemaslahatan dunia bisa ditemukan dengan akal, namun kemaslahatan akhirat hanya bisa ditemukan dengan petunjuk syara’ tetapi tidak menegasikan adanya akal dalam pelaksanaannya.
Menurut penulis, penjelasan Izzuddin tentang maslahah ini lebih moderat dari pada maslahah yang disampaikan berbagai ulama yang ada. Karena seperti yang dijelaskan di atas bahwa maslaha tidak akan ada tanpa mafsadat begitu pula sebaliknya, keduanya saling berhubungan, hanya saja bagaimana kita memosisikannyya sesuai dengan pembagian maslahah dan mafsadah menurut Izzuddin tersebut. Bahkan jika ada maslahah dan mafsadat yang bertentangan Izzuddin menyamakan pengambilan keputusan dengan ijtihad yang dilakukan oleh ulama. Artinya masing-masing personal boleh berbeda sesuai pandangan mereka masing-masing.




[1] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam, (Damaskus: Darul Qolam, tt) hlm.7
[2] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qawa'idul, 8
[3] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qawa'idul, 9
[4] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qawa'idul , 14
[5] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qawa'idul ,39-40
[6] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qawa'idul.18
[7] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qawa'idul, 15
[8] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qawa'idul, 40-41
[9] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qawa'idul, 41
[10] Izzudin Ibnu Abdil Azis Ibnu Abdis Salam, Qawa'idul .43-44

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak. Kami tunggu kritik saran dan komentar anda!!!

contoh SURAT GUGATAN PERCERAIAN

SURAT GUGATAN PERCERAIAN Kepada Yth: Bapak/Ibu Ketua Pengadilan Negeri/Agama [...................] Di Tempat Dengan hormat ...