A.
Tinjauan Maslahah Secara Umum
Sebelum menjelaskan tentang konsep
maslahat menurut Izzuudin perlu kiranya kita membahas definisi maslahat baik
menurut bahasa ataupun secara syara’.
Dipaparkan oleh Amir Syarifuddin
definisi Maslahat (مصلحة) secara bahasa berasalah dari shalaha (صلح) dengan
penambahan “mim” di awalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari
kata “buruk” atau “rusak”. Ia adalah masdar dari kata shalah (صلاح), yaitu “manfaat”
atau “terlepas daripadanya kerusakan”.[1]
Demikian juga dipaparkan oleh Amir
Farih, maslahat berasal dari bahasa Arab
dan telah dibakukan ke dalam bahasa Indonesia yang berarti mendatangkan
kebaikan atau yang membawa kemanfaatan dan atau menolak kerusakan. Menurut
bahasa aslinya-yaitu bahasa arab- kata maslahat berasal dari kata saluha,
yasluhu, salahan, artinya sesuatu yang baik, patut dan bermanfaat.[2]
Pengertian maslahat dalam bahasa Arab
berarti “perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia”. Dalam
artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia,
baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau
kesenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak
kemudharatan atau kerusakan. Jadi setiap yang mengandung manfaat patut disebut
maslahat. Dengan begitu maslahat itu mengandung dua sisi, yaitu menarik atau
mendatangkan kemaslahatan dan menolak atau menghindarkan kemudharatan.[3]
Sedangkan secara terminologi, maslahah
diartikan sebagai sebuah ungkapan mengenai suatu hal yang mendatangkan manfaat
dan menolak kerusakan/kemadharatan. Namun pengertian tersebut bukanlah
pengertian yang dimaksudkan oleh ahli ushul dalam terminologi mashalih
al-mursalah. Menurut pendapat mereka maslahah –dalam term mashalih al-mursalah–
adalah al-muhafazhah ‘ala maqasid al-syari’ah (memelihara/melindungi
maksud-maksud hukum syar’i).
Macam-macam Maslahah
1. Macam-Macam Maslahah Berdasarkan
Tingkatannya.
Berdasarkan pandangan syar’i dan
dalil-dalil nash serta untuk menjaga maqashid al-syari’ah, para ulama
menggolongkan maslahah menjadi tiga tingkatan:
a). Maslahah
al-Dharuriyyah (المصلحة الضرورية) yaitu maslahah yang berkaitan dengan kebutuhan pokok umat
manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan ini mencakup lima hal yaitu
memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan
memelihara harta. Adapun kelima kemaslahatan ini sering disebut dengan al-mashalih
al-khamsah.[4]
b).
Maslahah al-Hajiyah (المصلحة
الحاجية) yaitu kemaslahatan yang digunakan untuk menyempurnakan
kemaslahatan pokok yang biasanya berbentuk keringanan untuk memelihara dan
mempertahnkan kebutuhan pokok manusia. Apabila Maslahah al-Hajiyah ini
tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia sebenarnya tidak secara langsung dapat
merusak lima unsure pokok yang ada akan tetapi secara tidak langsung memang
dapat mengakibatkan kerusakan.[5]
c).
Maslahah al-Tahsiniyyah (المصلحة
التحسينية)
Makna yang mudah difahami lagi yaitu kemaslahatan
yang sifatnya sebagai pelengkap yang berupa kebebasan yang dapat melengkapi
kemaslahatan sebelumnya. Maslahah ini juga berkaitan dengan kemaslahatan lima
unsur pokok yang ada.
Dari ketiga maslahah dilihat dari segi kualitas dan kepentingan
kemaslahatannya diatas adapun maslahah yang harus terlebih dahulu di penuhi
adalah Maslahah al-Dharuriyyah (المصلحة الضرورية) dari pada kedua maslahah setelahnya. Dan apabila terjadi
benturan antara lima unsure pokok dalam kemaslahatan maka yang harus didahulukan
adalah kepentingan agama setelah itu kepentingan-kepentingan lainnya.[6]
2.
Macam-Macam Maslahah Berdasarkan Pandangan Syari’
Berdasarkan adanya pengakuan dan
penolakan dalil terhadap suatu maslahah, maka para ulama membagi maslahah
menjadi tiga macam, yakni:
a) Maslahah
al-Mu’tabarah (المصلحة
المعتبرة) yaitu maslahah yang secara tegas diakui syari’at yang terdapat
dalil khusus yang menjadi dasar dari kemaslahatan tersebut. Dalam hal ini
adanya pentunjuk dari syari’dapat secara langsung maupun tidak langsung. Dari
langsung tidak langsungnya petunjuk atau dalil yang menjelaskan maslahah
tersebut dibagi menjadi dua yaitu:[7]
1)
Munasib Mu’atstsir (المناسب المئثر) yaitu adanya petunjuk langsung dari pembuat hukum (syari’)
yang membahas maslahah tersebut. Maksudnya adalah adanya petunjuk syara’ baik
dalam bentuk nash baik dalam Al-Qur’an, Sunnah maupun Ijma’ yang menetapkan
bahwa maslahah tersebut dapat dijadikan alasan dalam menetapkan hukum.
Contoh:
Adanya dalil tentang tidak baik mendekati perempuan yang sedang haid dengan
alas an haid itu adalah penyakit. Hal ini disebut maslahah karena menjauhkan
diri dari kerusakan yaitu penyakit. Dalam hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an
surat Al-Baqarah ayat 222:
tRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]r& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙÅsyJø9$# ( wur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜt ( #sÎ*sù tbö£gsÜs? Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§qG9$# =Ïtäur úïÌÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang
haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah
mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri. (QS: Al-Baqarah: 222)[8]
2)
Munasib Mula’im (المناسب الملائم) yaitu tidak adanya petunjuk langsung dari syara’ baik
dalam bentuk nash Al-Qur’an, Sunnah maupun Ijma’ terhadap maslahah tersebut
namun secara tidak langsung ada.
Contoh: Bolehnya jama’ shalat bagi orang yang
muqim karena hujan. Keadaan hujan memang tidak
pernah dijadikan alasan untuk hukum jama’ shalat, namun syara’
melalui ijma’ menetapkan keadaan yang sejenis dengan hujan yaitu dalam
perjalanan menjadi alas an untuk bolehnya menjamak shalat.
b).
Maslahah al-Mulghah (المصلحة
الملغاة) atau maslahah yang ditolak. Maslahah ini disebut dengan
masalah yang ditolak karena dianggap baik oleh akal akan tetapi tidak
diperhatikan oleh syara’ bahkan terdapat syara’ yang menolaknya.
Dalam hal ini dijelaskan bahwa akal menganggapnya baik dan sejalan dengan
tujuan syara’, namun ternyata syara’ menetapkan hukum yang
berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh maslahah.[9]
c).
Maslahah al-Mursalah (المصلحة
المرسلة) yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung oleh syara’
dan tidak pula dibatalkan ataupun ditolak oleh syara’. Kemaslahatan
dalam bentuk ini dibagi lagi kedalam dua bagian yaitu:
1)
Maslahah al-Gharibah (المصلحة الغريبة) yaitu merupakan maslahah yang asing atau maslahah yang sama
sekali tidak memiliki dukungan dari syara’ baik secara rinci maupun
secara umum. Dalam hal ini ulama fiqh tidak dapat mengungkapkan contohnya
secara pasti.
2)
Maslahah Mursalah (المصلحة المرسلة) yaitu kemaslahatan yang tidak didukung dalil syara’ atau
nash secara terperinci akan tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (Al-Qur’an
atau Sunnah).
Dari beberapa pembagian maslahah yang ada,
dalam menetapkan hukum menggunakan metode maslahah para ulama ushul yang setuju
benar-benar memilih mana yang layak digunakan dan mana yang tidak layak
digunakan dalam menetapkan hukum. Oleh karena itu metode maslahah yang
digunakan tidak hanya mengambil yang mudah dan meninggalkan yang sulit, akan
tetapi juga melihat secara kolektif pada maslahah yang ada agar hasil ijtihad
yang diperoleh dari metode maslahah bukalah ijtihad yang dikatakan sembarang
ijtihad, akan tetepi juga memiliki kehkuatan hukum yang dapat dipertanggung
jawabkan.
Maslahah mursalah
digunakan oleh beberapa ulama ushul fikih dengan istilah yang berbeda-beda.
Sebagian ulama mengunakan istilah al-munasib al-mursal. Ada juga ulama yang
menggunakan istilah istishlah seperti al-Ghazali, dan ada pula yang menggunakan
istidlal al-mursal seperti Izzuddin bin Abdissalam. Istilah-istilah tersebut
meskipun tampak berbeda namun memiliki satu tujuan. Perbedaan istilah
disebabkan cara pandang yang berbeda-beda. Penggunaan istilah mashalih mursalah
jika dilihat dari segi apakah mashlahah tersebut didasarkan pada dalil atau
tidak. Adapun istilah al-munasib al-mursal jika dilihat dari segi kesesuaiannya
dengan tujuan syara'. Sementara istilah istidladlal digunakan lebih merujuk
pada proses penetaapan hukum terhadap suatu mashlahah yang tidak terdapat dalil
khusus dari nash.
Kalangan ulama Malikiyah, Hanabilah dan
sebagian Syafiiyah menganggap bahwa mashlahah mursalah bisa dijadikan landasan
penetapan hukum. Adapun alasan-alasan yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang
tidak menyetujui mashlahah mursalah sebagai landasan hukum dianggap lemah oleh
pihak pendukung mashlahah mursalah. Dalam kenyataanya tidak semua kebutuhan
manusia terdapat rinciannya di dalam al-Quran dan al-Sunnah. Di sisi lain,
penetapan hukum berlandaskan mashlahah mursalah membutuhkan beberapa
persyaratan yang cukup ketat. Dengan persyaratan yang ada akan terhindar dari
penyalahgunaan.
Imam Ghazali mengemukakan beberapa
persyaratan dan menggunakan mashlahah mursalah sebagai landasan hukum yaitu:[10]
1. Mashlahat tersebut merupakan mashlahah
dlaruri.
2. Mashlahah tersebut harus kully, yangkni
mencakup semua orang muslim.
3. Mashlahah tersebut harus qath'i atau
mendekati qath'ii.
Mashlahah Mursalah Menurut Malikiyah, di
antara tokoh ushul fikih yang banyak mempergunakan mashlahah mursalah sebagai
penetapan hukum adalah Imam al-Syatibi. Beliau merupakan pengikut mazhab
Maliki. Pandangan al-Syatibi tentang mashalahah mursalah dapat dijumpai dalam
bukunya al-Muwafaqat dan al-I'tisham. Dalam kitab al-Muwafaqat, al-Syatibi
mengemukakan bahwa setiap prinsip hukum Islam yang berhubungan dengan mashlahah
dan tidak ditunjukkan oleh nash tertentu, tetapi ia sejalan dengan tindakan
syara' dan maknanya diambil dari dalil-dalil syara' maka mashlahah itu benar
dan dapat dijadikan sebagai hujjah.[11]
Syatibi
dalam membangun metode maslahah mursalah beranjak dari konsep al-munasib (yang
sesuai), yakni ada tidaknya persesuaian-persesuaian antara maslahah yang
dipertimbangkan dengan tujuan-tujuan umum syariah yang tidak ada syahid dan
'illah, suatu indikasi yang membedakannya dari qiyas dan tidak ditemukan dalil
khusus mengenai hukumnya. Konsep al-munasib itu terbagi menjadi tiga bagian.
Pertama, al-munasib itu memang memiliki dalil khusus yang menyebutkannya.
Seperti disyariatkan qishas yang memiliki tujuan untuk memelihara jiwa manusia
sehingga keberlangsungan hidup terjamin, selain bertujuan untuk memelihara
anggota tubuh manusia. Validitas al-munasib dalam pengertian ini, tidak perlu
diragukan lagi untuk diamalkan. Kedua, al-munasib dalam pengertian adanya
anggapan maslahah dalam pemikiran subjektif manusia, tetapi syariah menolaknya.
Ini berarti maslahah tersebut ditetapkan semata-mata menurut hawa nafsu, yang
bertentangan dengan dalil-dalil syara', sehingga validitasnya tidak diakui
hukum Islam. Ketiga, al-munasib dalam pengertian maslahah yang tidak disebutkan
oleh nash-nash khusus, baik untuk dipegangi atau untuk ditinggalkan. Artinya
tidak ditemukan dalil pertikular yang menunjukkan boleh tidaknya dilakukan oleh
orang-orang yang beriman.
Al-munasib dalam
pengertian ini, menurutnya, dapat dibagi kepada dua kemingkinan: (1) Ada nash
yang mengkonfirmasi pengertian munasib itu, seperti adanya 'illah yang
menghalangi pembunuh mendapatkan warisan. (2) al-munasib tersebut sesuai dengan
pandangan syara' secara universal, bukan dengan dalil partikular. Al-munasib
dalam pengertian ini, oleh al-Syatibi, disebut juga dengan istidlal al-mursal
atau al-maslahah al-mursalah.[12]
[5] Amir
Syarifuddin, Usul Fiqh Jilid 2, 349.
[6] Amir
Syarifuddin, Usul Fiqh Jilid 2, 350.
[8]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: PT. Sygma Examedia
Arkanleema, 2009), 35.
[9] Amir
Syarifuddin, Usul Fiqh Jilid 2, 353. Lihat juga Nasrun Haroen, Usul
Fiqh I, 119. Dan Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana,
2005), 149.
[10] Al-Ghazali, Al-Mustashfa min al-‘Ilmi
al-Ushul (Beirut: al-Resalah, 1997), Vol. I., hlm. 421.
[11] Asy-Syatibi,
al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah,
(Kairo: Musthafa Muhammad, t.th), 1987, hlm.16.
[12] Asy-Syatibi, …hlm. 352-354
KABAR BAIK!!!
BalasHapusNama saya Aris. Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial, dan putus asa, saya telah penipuan oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan menggunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 Juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dengan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan untuk dikirim langsung ke rekening saya tanpa penundaan. Karena saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah dia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda mematuhi perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan kehilangan Sety saya diperkenalkan dan diberitahu tentang Ibu Cynthia Dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua yang akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya yang saya kirim langsung ke rekening bulanan.