Sabtu, 05 November 2016

TINJAUAN MASLAHAH SECARA UMUM

A.     Tinjauan Maslahah Secara Umum
Sebelum menjelaskan tentang konsep maslahat menurut Izzuudin perlu kiranya kita membahas definisi maslahat baik menurut bahasa ataupun secara syara’.
Dipaparkan oleh Amir Syarifuddin definisi Maslahat (مصلحة) secara bahasa berasalah dari shalaha (صلح) dengan penambahan “mim” di awalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk” atau “rusak”. Ia adalah masdar dari kata shalah (صلاح), yaitu “manfaat” atau “terlepas daripadanya kerusakan”.[1]
Demikian juga dipaparkan oleh Amir Farih,  maslahat berasal dari bahasa Arab dan telah dibakukan ke dalam bahasa Indonesia yang berarti mendatangkan kebaikan atau yang membawa kemanfaatan dan atau menolak kerusakan. Menurut bahasa aslinya-yaitu bahasa arab- kata maslahat berasal dari kata saluha, yasluhu, salahan, artinya sesuatu yang baik, patut dan bermanfaat.[2]
Pengertian maslahat dalam bahasa Arab berarti “perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia”. Dalam artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau kesenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudharatan atau kerusakan. Jadi setiap yang mengandung manfaat patut disebut maslahat. Dengan begitu maslahat itu mengandung dua sisi, yaitu menarik atau mendatangkan kemaslahatan dan menolak atau menghindarkan kemudharatan.[3]
Sedangkan secara terminologi, maslahah diartikan sebagai sebuah ungkapan mengenai suatu hal yang mendatangkan manfaat dan menolak kerusakan/kemadharatan. Namun pengertian tersebut bukanlah pengertian yang dimaksudkan oleh ahli ushul dalam terminologi mashalih al-mursalah. Menurut pendapat mereka maslahah –dalam term mashalih al-mursalah– adalah al-muhafazhah ‘ala maqasid al-syari’ah (memelihara/melindungi maksud-maksud hukum syar’i).
Macam-macam Maslahah
1.      Macam-Macam Maslahah Berdasarkan Tingkatannya.
Berdasarkan pandangan syar’i dan dalil-dalil nash serta untuk menjaga maqashid al-syari’ah, para ulama menggolongkan maslahah menjadi tiga tingkatan:
a). Maslahah al-Dharuriyyah (المصلحة الضرورية) yaitu maslahah yang berkaitan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan ini mencakup lima hal yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta. Adapun kelima kemaslahatan ini sering disebut dengan al-mashalih al-khamsah.[4]
b). Maslahah al-Hajiyah (المصلحة الحاجية) yaitu kemaslahatan yang digunakan untuk menyempurnakan kemaslahatan pokok yang biasanya berbentuk keringanan untuk memelihara dan mempertahnkan kebutuhan pokok manusia. Apabila Maslahah al-Hajiyah ini tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia sebenarnya tidak secara langsung dapat merusak lima unsure pokok yang ada akan tetapi secara tidak langsung memang dapat mengakibatkan kerusakan.[5]
c). Maslahah al-Tahsiniyyah (المصلحة التحسينية)
Makna yang mudah difahami lagi yaitu kemaslahatan yang sifatnya sebagai pelengkap yang berupa kebebasan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Maslahah ini juga berkaitan dengan kemaslahatan lima unsur pokok yang ada.
Dari ketiga maslahah dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatannya diatas adapun maslahah yang harus terlebih dahulu di penuhi adalah Maslahah al-Dharuriyyah (المصلحة الضرورية) dari pada kedua maslahah setelahnya. Dan apabila terjadi benturan antara lima unsure pokok dalam kemaslahatan maka yang harus didahulukan adalah kepentingan agama setelah itu kepentingan-kepentingan lainnya.[6]
 2. Macam-Macam Maslahah Berdasarkan Pandangan Syari’
Berdasarkan adanya pengakuan dan penolakan dalil terhadap suatu maslahah, maka para ulama membagi maslahah menjadi tiga macam, yakni:
a) Maslahah al-Mu’tabarah (المصلحة المعتبرة) yaitu maslahah yang secara tegas diakui syari’at yang terdapat dalil khusus yang menjadi dasar dari kemaslahatan tersebut. Dalam hal ini adanya pentunjuk dari syari’dapat secara langsung maupun tidak langsung. Dari langsung tidak langsungnya petunjuk atau dalil yang menjelaskan maslahah tersebut dibagi menjadi dua yaitu:[7]
1)     Munasib Mu’atstsir (المناسب المئثر) yaitu adanya petunjuk langsung dari pembuat hukum (syari’) yang membahas maslahah tersebut. Maksudnya adalah adanya petunjuk syara’ baik dalam bentuk nash baik dalam Al-Qur’an, Sunnah maupun Ijma’ yang menetapkan bahwa maslahah tersebut dapat dijadikan alasan dalam menetapkan hukum.
Contoh: Adanya dalil tentang tidak baik mendekati perempuan yang sedang haid dengan alas an haid itu adalah penyakit. Hal ini disebut maslahah karena menjauhkan diri dari kerusakan yaitu penyakit. Dalam hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 222:
 štRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙŠÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]Œr& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙŠÅsyJø9$# ( Ÿwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ ( #sŒÎ*sù tbö£gsÜs?  Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ  
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS: Al-Baqarah: 222)[8]
2)     Munasib Mula’im (المناسب الملائم) yaitu tidak adanya petunjuk langsung dari syara’ baik dalam bentuk nash Al-Qur’an, Sunnah maupun Ijma’ terhadap maslahah tersebut namun secara tidak langsung ada.
Contoh: Bolehnya jama’ shalat bagi orang yang muqim karena hujan. Keadaan hujan memang tidak  pernah dijadikan alasan untuk hukum jama’ shalat, namun syara’ melalui ijma’ menetapkan keadaan yang sejenis dengan hujan yaitu dalam perjalanan menjadi alas an untuk bolehnya menjamak shalat.
b). Maslahah al-Mulghah (المصلحة الملغاة) atau maslahah yang ditolak. Maslahah ini disebut dengan masalah yang ditolak karena dianggap baik oleh akal akan tetapi tidak diperhatikan oleh syara’ bahkan terdapat syara’ yang menolaknya. Dalam hal ini dijelaskan bahwa akal menganggapnya baik dan sejalan dengan tujuan syara’, namun ternyata syara’ menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh maslahah.[9]
c). Maslahah al-Mursalah (المصلحة المرسلة) yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung oleh syara’ dan tidak pula dibatalkan ataupun ditolak oleh syara’. Kemaslahatan dalam bentuk ini dibagi lagi kedalam dua bagian yaitu:
1)     Maslahah al-Gharibah (المصلحة الغريبة) yaitu merupakan maslahah yang asing atau maslahah yang sama sekali tidak memiliki dukungan dari syara’ baik secara rinci maupun secara umum. Dalam hal ini ulama fiqh tidak dapat mengungkapkan contohnya secara pasti.
2)     Maslahah Mursalah (المصلحة المرسلة) yaitu kemaslahatan yang tidak didukung dalil syara’ atau nash secara terperinci akan tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (Al-Qur’an atau Sunnah).
Dari beberapa pembagian maslahah yang ada, dalam menetapkan hukum menggunakan metode maslahah para ulama ushul yang setuju benar-benar memilih mana yang layak digunakan dan mana yang tidak layak digunakan dalam menetapkan hukum. Oleh karena itu metode maslahah yang digunakan tidak hanya mengambil yang mudah dan meninggalkan yang sulit, akan tetapi juga melihat secara kolektif pada maslahah yang ada agar hasil ijtihad yang diperoleh dari metode maslahah bukalah ijtihad yang dikatakan sembarang ijtihad, akan tetepi juga memiliki kehkuatan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.
Maslahah mursalah digunakan oleh beberapa ulama ushul fikih dengan istilah yang berbeda-beda. Sebagian ulama mengunakan istilah al-munasib al-mursal. Ada juga ulama yang menggunakan istilah istishlah seperti al-Ghazali, dan ada pula yang menggunakan istidlal al-mursal seperti Izzuddin bin Abdissalam. Istilah-istilah tersebut meskipun tampak berbeda namun memiliki satu tujuan. Perbedaan istilah disebabkan cara pandang yang berbeda-beda. Penggunaan istilah mashalih mursalah jika dilihat dari segi apakah mashlahah tersebut didasarkan pada dalil atau tidak. Adapun istilah al-munasib al-mursal jika dilihat dari segi kesesuaiannya dengan tujuan syara'. Sementara istilah istidladlal digunakan lebih merujuk pada proses penetaapan hukum terhadap suatu mashlahah yang tidak terdapat dalil khusus dari nash.
Kalangan ulama Malikiyah, Hanabilah dan sebagian Syafiiyah menganggap bahwa mashlahah mursalah bisa dijadikan landasan penetapan hukum. Adapun alasan-alasan yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang tidak menyetujui mashlahah mursalah sebagai landasan hukum dianggap lemah oleh pihak pendukung mashlahah mursalah. Dalam kenyataanya tidak semua kebutuhan manusia terdapat rinciannya di dalam al-Quran dan al-Sunnah. Di sisi lain, penetapan hukum berlandaskan mashlahah mursalah membutuhkan beberapa persyaratan yang cukup ketat. Dengan persyaratan yang ada akan terhindar dari penyalahgunaan.
Imam Ghazali mengemukakan beberapa persyaratan dan menggunakan mashlahah mursalah sebagai landasan hukum yaitu:[10]
1.      Mashlahat tersebut merupakan mashlahah dlaruri.
2.      Mashlahah tersebut harus kully, yangkni mencakup semua orang muslim.
3.      Mashlahah tersebut harus qath'i atau mendekati qath'ii.
Mashlahah Mursalah Menurut Malikiyah, di antara tokoh ushul fikih yang banyak mempergunakan mashlahah mursalah sebagai penetapan hukum adalah Imam al-Syatibi. Beliau merupakan pengikut mazhab Maliki. Pandangan al-Syatibi tentang mashalahah mursalah dapat dijumpai dalam bukunya al-Muwafaqat dan al-I'tisham. Dalam kitab al-Muwafaqat, al-Syatibi mengemukakan bahwa setiap prinsip hukum Islam yang berhubungan dengan mashlahah dan tidak ditunjukkan oleh nash tertentu, tetapi ia sejalan dengan tindakan syara' dan maknanya diambil dari dalil-dalil syara' maka mashlahah itu benar dan dapat dijadikan sebagai hujjah.[11]
 Syatibi dalam membangun metode maslahah mursalah beranjak dari konsep al-munasib (yang sesuai), yakni ada tidaknya persesuaian-persesuaian antara maslahah yang dipertimbangkan dengan tujuan-tujuan umum syariah yang tidak ada syahid dan 'illah, suatu indikasi yang membedakannya dari qiyas dan tidak ditemukan dalil khusus mengenai hukumnya. Konsep al-munasib itu terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, al-munasib itu memang memiliki dalil khusus yang menyebutkannya. Seperti disyariatkan qishas yang memiliki tujuan untuk memelihara jiwa manusia sehingga keberlangsungan hidup terjamin, selain bertujuan untuk memelihara anggota tubuh manusia. Validitas al-munasib dalam pengertian ini, tidak perlu diragukan lagi untuk diamalkan. Kedua, al-munasib dalam pengertian adanya anggapan maslahah dalam pemikiran subjektif manusia, tetapi syariah menolaknya. Ini berarti maslahah tersebut ditetapkan semata-mata menurut hawa nafsu, yang bertentangan dengan dalil-dalil syara', sehingga validitasnya tidak diakui hukum Islam. Ketiga, al-munasib dalam pengertian maslahah yang tidak disebutkan oleh nash-nash khusus, baik untuk dipegangi atau untuk ditinggalkan. Artinya tidak ditemukan dalil pertikular yang menunjukkan boleh tidaknya dilakukan oleh orang-orang yang beriman.
Al-munasib dalam pengertian ini, menurutnya, dapat dibagi kepada dua kemingkinan: (1) Ada nash yang mengkonfirmasi pengertian munasib itu, seperti adanya 'illah yang menghalangi pembunuh mendapatkan warisan. (2) al-munasib tersebut sesuai dengan pandangan syara' secara universal, bukan dengan dalil partikular. Al-munasib dalam pengertian ini, oleh al-Syatibi, disebut juga dengan istidlal al-mursal atau al-maslahah al-mursalah.[12]


[1] Amir Syarifuddin. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana, 2011. Hal 345
[2] Amir Farih. Kemaslahatan dan Pembaharuan Hukum Islam. Semarang, Walisongo Press, 2008. Hal. 15
[3] Amir Syarifuddin. Ushul Fiqih. Hal.  345
[4] Amir Syarifuddin, Usul Fiqh Jilid 2, 349.
[5] Amir Syarifuddin, Usul Fiqh Jilid 2, 349.
[6] Amir Syarifuddin, Usul Fiqh Jilid 2, 350.
[7] Amir Syarifuddin, Usul Fiqh Jilid 2, 351.
[8]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), 35.
[9] Amir Syarifuddin, Usul Fiqh Jilid 2, 353. Lihat juga Nasrun Haroen, Usul Fiqh I, 119. Dan Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), 149.
[10] Al-Ghazali, Al-Mustashfa min al-‘Ilmi al-Ushul (Beirut: al-Resalah, 1997), Vol. I., hlm. 421.
[11] Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Kairo: Musthafa Muhammad, t.th), 1987, hlm.16.
[12] Asy-Syatibi, …hlm.  352-354

1 komentar:

  1. KABAR BAIK!!!

    Nama saya Aris. Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial, dan putus asa, saya telah penipuan oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan menggunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 Juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dengan tingkat bunga hanya 2%.

    Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan untuk dikirim langsung ke rekening saya tanpa penundaan. Karena saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah dia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda mematuhi perintahnya.

    Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan kehilangan Sety saya diperkenalkan dan diberitahu tentang Ibu Cynthia Dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua yang akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya yang saya kirim langsung ke rekening bulanan.

    BalasHapus

Pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak. Kami tunggu kritik saran dan komentar anda!!!

contoh SURAT GUGATAN PERCERAIAN

SURAT GUGATAN PERCERAIAN Kepada Yth: Bapak/Ibu Ketua Pengadilan Negeri/Agama [...................] Di Tempat Dengan hormat ...