Minggu, 12 November 2017

Bunga dan Riba dalam Gadai

  1. Perlakuan Bunga dan Riba dalam Gadai
Gadai pada prinsipnya merupakan kegiatan utang piutang yang murni berfungsi sosial.Namun, hal ini berlaku pada masa Rasulullah Saw, masih hidup.Rahn pada saat itu belum berupa sebuah lembaga keuangan formal seperti sekarang ini, sehingga aktivitas gadai hanya berlaku bagi perorangan.Jadi pada saat itu masih mungkin jika aktivitas tersebut hanya berfungsi sosial dan rahin tidak berkewajiban memberikan tambahan apapun dalam pelunasan utangnya.[1]Kondisi saat ini, gadai sudah menjadi lembaga keuangan formal yang telah diakui oleh pemerintah.Mengenai fungsi dari Pengadaian tersebut tentu sudah bersifat komersiil.Artinya Pegadaian harus memperoleh pendapatan guna menggantikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan, sehingga Pegadaian mewajibkan menambahkan sejumlah uang tertentu kepada nasabah sebagai imbalan jasa.Minimal biaya itu dapat menutupi biaya operasional gadai.Gadai yang ada saat ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan mengarahkan kepada suatu persoalan riba, yang dilarang oleh syara’.[2]
Riba’ terjadi apabila dalam akad gadai ditemukan bahwa peminjam harus memberi tambahan sejumlah uang atau persentase tertentu dari pokok utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain yang telah ditentukan penerima gadai. Hal ini lebih sering disebut juga dengan ‘bunga gadai’, yang pembayarannya dilakukan setiap 15 (lima belas) hari sekali. Sebab apabila pembayarannya terlambat sehari saja, maka nasabah harus membayar 2 (dua) kali lipat dari kewajibannya, karena perhitungannya sehari sama dengan 15 hari. Hal ini jelas merugikan pihak nasabah, karena ia harus menambahkan sejumlah uang tertentu untuk melunasi hutangnya. Padahal biasanya orang yang menggadaikan barang itu untuk kebutuhan konsumtif.Namun, apabila tidak maka dilihat dari segi komersiil, pihak Pegadaian dirugikan, misalnya karena inflasi, atau pelunasan yang tidak tepat waktu, sementara barang jaminan tidak laku dijual.
Karena itu aktivitas akad gadai dalam Islam, tidak dibenarkan adanya praktik pemungutan bunga karena dilarang syara’, dan pihak yang terbebani merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus susah payah mengembalikan hutangnya, penggadai juga masih berkewajiban untuk membayar bunganya.
Menurut Muhammad Akram Khan, bahwa pinjaman itu sebagai bagian dari faktor produksi dan memiliki potensi untuk berkembang dan menciptakan nilai, serta juga menciptakan adanya kerugian. Oleh karena itu, apabila menuntut adanya pengembalian yang pasti sebagai balasan uang (sebagai modal), maka yang demikian itu dapat dianggap bunga dan itu sama dengan riba’.
Mengenai riba itu, para ulama telah berbeda pendapat. Walaupun demikian, Afzalurrahman dalam Muhammad dan Solikhul Hadi, memberikan pedoman bahwa yang dikatakan riba (bunga), di dalamnya terdapat 3 unsur berikut:[3]
  1. Kelebihan dari pokok pinjaman;
  2. Kelebihan pembayaran itu sebagai imbalan tempo pembayaran; dan
  3. Sejumlah tambahan itu disyaratkan dalam transaksi.
Sedangkan berdasarkan hasil kesimpulan penelitian Muhammad Yusuf, tentang Pegadaian Konvensional dalam Perspektif Hukum Islam dan Viyolina, dengan tentang Sistem Bunga dalam Gadai Ditinjau dari Hukum Islam, memberikan kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, Islam membenarkan adanya praktik gadai yang dilakukan dengan cara-cara dan tujuan yang tidak merugikan orang lain. Gadai dibolehkan dengan syarat rukun yang bebas dari unsur yang dilarang dan merusak perjanjian gadai. Praktik yang terjadi di gadai konvensional, pada dasarnya masih terdapat beberapa hal yang dipandang merusak dan menyalahi norma dan etika bisnis Islam, di antaranya adalah masih terdapatnya unsur riba’, yaitu yang berupa sewa modal yang disamakan dengan bunga; Kedua, gadai yang berlaku saat ini masih terdapat satu di antara banyak unsur yang dilarang syara’, yaitu dalam upaya meraih keuntungan, gadai tersebut memungut sewa modal atau bunga; Ketiga, unsur riba’ yang terdapat dalam aktivitas gadai saat ini sudah pada tingkat yang nyata, yaitu pada transaksi penetapan dan penarikan bunga dalam gadai yang sudah jelas tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadist; Keempat, penetapan bunga gadai yang pada awalnya sebagai fasilitas untuk memudahkan dalam menentukan besar kecilnya pinjaman, telah menjadi kegiatan spekulatif dari kaum kapitalis dalam mengekploitasikan keuntungan yang besar, yang memberikan kemadharatan, sehingga penetapan bunga gadai adalah tidak sah dan haram.
Sedangkan dalam gadai syariah tidak menganut sistem bunga, namun lebih menggunakan biaya jasa, sebagai penerimaan dan labanya, yang dengan pengenaan biaya jasa itu paling tidak dapat menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan dalam operasionalnya.Oleh karena itu, untuk menghindari adanya unsur riba’ (bunga) dalam gadai syariah dalam usahanya pembentukan laba, maka gadai syariah menggunakan mekanisme yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, seperti melalui akad qardhul hasan dan akad ijarah, akad rahn, akad mudharabah, akad ba’i muqayadah, dan akad musyarakah.Oleh karena itu, pendapat bahwa gadai ketika sebagai sebuah lembaga keuangan, maka fungsi sosialnya perlu dipertimbangkan lagi, apalagi fungsi sosial gadai itu dihilangkan, tidak sepenuhnya benar.Karena paling tidak ada 2 (dua) alasan bahwa dengan terlembaganya gadai, bukan berarti menghilangkan fungsi sosial gadai itu, yang berdasarkan hadist-hadist yang mendasarinya menunjukkan bahwa fungsi gadai itu memang untuk fungsi sosial. Alasan itu adalah: 1. Dengan terlembaganya gadai, Pegadaian tetap dapat mendapatkan penerimaan dari pihak rahin, berupa biaya administrasi dan biaya jasa lainnya, seperti jasa penyimpanan dan pemeliharaan. Berarti Pegadaian tidak dirugikan; 2. Fungsi sosial tersebut masih diperlukan guna membantu masyarakat yang membutuhkan dana yang sifatnya mendesak, terutama untuk keperluan hidup sehari-hari, seperti dalam kasus Rasulullah Saw. Yang menggadaikan baju besinya demi untuk mendapatkan bahan makanan; 3. Pegadaian tidak akan merugi karena ada marhun, yang dapat dilelang apabila rahin tidak mampu membayar. Hal itu diperkuat pendapat Muhammad Akram Khan, bahwa keberadaan gadai syariah tidak hanya digunakan untuk fungsi komersiil (untuk mendapatkan keuntungan) saja, tetapi juga digunakan untuk fungsi sosial juga.[4] Mungkin yang patut mendapatkan perhatian dari kita adalah imbalan jasa yang masih digunakan oleh gadai yang dikenal dengan ‘bunga gadai’, yang sangat memberatkan dan merugikan pihak penggadai. bahwa gadai syariah sebagai konsep hutang piutang yang sesuai dengan syariah, karenanya bentuk yang lebih tepat adalah skim qardhul hasan, disebabkan kegunaannya untuk keperluan yang sifatnya sosial. Pinjaman tersebut diberikan gadai syariah untuk tujuan kesejahteraan, seperti pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan darurat lainnya, terutama diberikan untuk membantu meringankan beban ekonomi para orang yang berhak menerima zakat (mustahiq).
Dalam bentuk qardhul hasan ini, hutang yang terjadi wajib dilunasi pada waktu jatuh tempo tanpa ada tambahan apapun yang disyaratkan (kembali pokok).Peminjam hanya menanggung biaya yang secara nyata terjadi, seperti, biaya administrasi, biaya penyimpanan dan dibayarkan dalam bentuk uang, bukan prosentase.Peminjam pada waktu jatuh tempo tanpa ikatan syarat apapun boleh menambahkan secara sukarela pengembalian hutangnya.

[1]Muhammad dan Solikhul Hadi, dalam Andrian Sutedi,Hukum Gadaihlm. 47
[2]Andrian Sutedi,Hukum Gadai,hal 48
[3]Andrian Sutedi,Hukum Gadai,hal.49
[4]Andrian Sutedi,Hukum Gadai, hal.50

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak. Kami tunggu kritik saran dan komentar anda!!!

contoh SURAT GUGATAN PERCERAIAN

SURAT GUGATAN PERCERAIAN Kepada Yth: Bapak/Ibu Ketua Pengadilan Negeri/Agama [...................] Di Tempat Dengan hormat ...