Senin, 27 November 2017

pembuktian dan bukti dalam hukum



A. Pengertian pembuktian
Menurut M. Yahya Harahap, SH. (1991:01) dalam pengertian yang luas, pembuktian adalah kemampuan penggugat atau tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa – peristiwa yang didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan dalam arti sempit, pembuktian hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hal yang masih disengketakan atau hanya sepanjang yang menjadi perselisihan di antara pihak – pihak yang beperkara . Menurut R.Subekti (1978:5) yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu daya upaya para pihak yang beperkara untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil – dalil yang dikemukakannya di dalam suatu perkara yang sedang diperseketakan di muka pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim.[1]
Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku.
Dari pengertian tersebut, maka sudah dapat disimpulkan bahwa pembuktian adalah upaya para pihak yang beperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang di ajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat – alat bukti yang telah ditetepkan oleh undang - undang
B. Tujuan pembuktian.
Pembuktian  bertujuan untuk mendapatkan kebenaran suatu peristiwa atau hak yang diajukan kepada hakim. Para praktisi hukum membedakan tentang kebenaran yang dicari dalam hukum perdata dan hukum pidana. Dalam hukum perdata, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran formal. Sedangkan dalam hukum pidana, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran materiil. Dalam praktik perdilan, sebenarnya seorang hakim  dituntut mencari kebenaran materiil terhadap perkara yang sedang diperiksanya, karna tujuan pembuktian itu adalah untuk menyakinkan hakim atau memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa – peristiwa tertentu, sehingga hakim dalam mengonstatir, mengualifisir dan mengkonstituir, serta mengambil keputusan berdasarkan kepada pembuktian tersebut.
Tujuan pembuktian ialah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang di ajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. hakim tidak dapat menjatukan perkara suatu putusan sebelumnya baginya bahwa fakta atau peristiwa yang diajukan itu benar terjadi, yakni dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak.[2]
C. Teori pembuktian
            Ada 3 (tiga) teori pembuktian:
1.      Teori pembuktian bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan – ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim.   
2.      Teori pembuktian negatif
Di mana hakim terikat dengan ketentuan-ketentuan yang bersifat negatif sehingga membatasi hakim untuk melakukan sesuatu kecuali yang diijinkan oleh Undag-Undang.
3.      Teori pembuktian positif
Dimana hakim diwajibkan untuk melakukan segala tindakan dalam pembuktian, kecuali yang dilarang dalam Undang-Undang.
Pendapat umum menghendaki teori pembuktian lebih babas . untuk memberi kelonggaran kepada hakim dalam mencari kebenaran.[3]
D. Hukum pembuktian
a.       Pembuktian harus mengikuti hukum pembuktian
Menurut hukum pembuktian dalam acara perdata, maka pembuktiannya adalah:
1.      Bersifat mencari kebenaran formil
2.      Tidak disyaratkan adanya keyakinan hakim
3.      Alat bukti harus mememiliki syarat formil dan materiil
4.       Hakim wajib menerapkan hukum pembuktian
E. Beban pembuktian
            Siapakah yang wajib bukti, yaitu para pihak yang berkepentingan. Para pihaklah yang wajib mengajukan alat-alat bukti.
            Pasal 163 HIR /pasal 283 R.Bg dan pasal 1865 BW. Menyatakan bahwa barang siapa yang:
-          Mengaku mempunyai sesuau hak, atau
-          Mengemukakan suatu peristiwa(keadaan) untuk menguwatkan haknya, atau
-          Membantah hak orang lain, maka ia harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.
Hakimlah yang menetapkan kepada siapa dibebenkan pembuktian. Pihak yang dibebankan wajib bukti mengandung resiko  bahwa jika tidak berhasil maka ia akan dikalahkan. Baik penggugat maupun tergugat dapat dibebankan pembuktian.
F. Hal-hal Yang harus dibuktikan.
Yang harus dibuktikan ialah adanya peristiwa atau hak yang
-          Menjadi sengketa dan
-          Relevan dengan pokok perkara, sehingga diketemukan adanya hubungan hukum antara dua pihak.
G. Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan.
Dalam pemeriksaan perkara perdata, ada beberapa yang menurut hukum pembuktian dalam acara perdata tidak perlu di buktikan atau di ketahui oleh hakim, yaitu:
1.      Dalam hal dijatuhkan putusan verstek.
2.      Dalam hal tergugat mengakui gugatan penggugat.
3.      Dalam hal telah dilakukan sumpah decisoir.
4.      Dalam bantahan pihak lawan kurang cukup atau dalam hal yang diajukan Referte.
5.      Dalam hal apa yang dikenal sebagai peristiwa natoir.
6.      Dalam hal peristiwa yang terjadi dalam persidangan di muka hakim.
7.      Dalam hal yang tarmasuk dalam pengetahuan tentang pengalaman.
Dalam hal-hal yang bersifat negatif.


[1]. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (jakarta, kencana, 2006)
[2]Mukti Arto, Peraktek perkara perdata pada peradilan agama, (yogyakarta,Pustaka Pelajar, 1998 ) hlm. 135-136
[3]Mukti Arto, Peraktek perkara perdata pada peradilan agama, (yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998 ) hlm.136

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak. Kami tunggu kritik saran dan komentar anda!!!

contoh SURAT GUGATAN PERCERAIAN

SURAT GUGATAN PERCERAIAN Kepada Yth: Bapak/Ibu Ketua Pengadilan Negeri/Agama [...................] Di Tempat Dengan hormat ...