A.
Pengertian pembuktian
Menurut M. Yahya Harahap, SH.
(1991:01) dalam pengertian yang luas, pembuktian adalah kemampuan penggugat
atau tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan
hubungan hukum dan peristiwa – peristiwa yang didalilkan atau dibantahkan dalam
hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan dalam arti sempit, pembuktian hanya
diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hal yang masih
disengketakan atau hanya sepanjang yang menjadi perselisihan di antara pihak –
pihak yang beperkara . Menurut R.Subekti (1978:5) yang dimaksud dengan
pembuktian adalah suatu daya upaya para pihak yang beperkara untuk meyakinkan
hakim tentang kebenaran dalil – dalil yang dikemukakannya di dalam suatu
perkara yang sedang diperseketakan di muka pengadilan, atau yang diperiksa oleh
hakim.[1]
Membuktikan artinya mempertimbangkan
secara logis kebenaran suatu fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti
yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku.
Dari pengertian tersebut, maka sudah
dapat disimpulkan bahwa pembuktian adalah upaya para pihak yang beperkara untuk
meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang di ajukan oleh
para pihak yang bersengketa dengan alat – alat bukti yang telah ditetepkan oleh
undang - undang
B.
Tujuan pembuktian.
Pembuktian bertujuan untuk mendapatkan kebenaran suatu
peristiwa atau hak yang diajukan kepada hakim. Para praktisi hukum membedakan
tentang kebenaran yang dicari dalam hukum perdata dan hukum pidana. Dalam hukum
perdata, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran formal. Sedangkan
dalam hukum pidana, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran materiil.
Dalam praktik perdilan, sebenarnya seorang hakim dituntut mencari kebenaran materiil terhadap
perkara yang sedang diperiksanya, karna tujuan pembuktian itu adalah untuk
menyakinkan hakim atau memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya
peristiwa – peristiwa tertentu, sehingga hakim dalam mengonstatir,
mengualifisir dan mengkonstituir, serta mengambil keputusan berdasarkan kepada
pembuktian tersebut.
Tujuan pembuktian ialah untuk
memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang di ajukan itu
benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. hakim
tidak dapat menjatukan perkara suatu putusan sebelumnya baginya bahwa fakta
atau peristiwa yang diajukan itu benar terjadi, yakni dibuktikan kebenarannya,
sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak.[2]
C.
Teori pembuktian
Ada 3 (tiga) teori
pembuktian:
1.
Teori pembuktian bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan – ketentuan yang
mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada
hakim.
2.
Teori pembuktian negatif
Di mana hakim terikat dengan ketentuan-ketentuan yang bersifat
negatif sehingga membatasi hakim untuk melakukan sesuatu kecuali yang diijinkan
oleh Undag-Undang.
3.
Teori pembuktian positif
Dimana hakim diwajibkan untuk melakukan segala tindakan dalam
pembuktian, kecuali yang dilarang dalam Undang-Undang.
Pendapat umum menghendaki teori
pembuktian lebih babas . untuk memberi kelonggaran kepada hakim dalam mencari
kebenaran.[3]
D.
Hukum pembuktian
a.
Pembuktian harus mengikuti hukum pembuktian
Menurut hukum pembuktian dalam acara perdata, maka pembuktiannya
adalah:
1.
Bersifat mencari kebenaran formil
2.
Tidak disyaratkan adanya keyakinan hakim
3.
Alat bukti harus mememiliki syarat formil dan materiil
4.
Hakim wajib menerapkan hukum pembuktian
E.
Beban pembuktian
Siapakah yang
wajib bukti, yaitu para pihak yang berkepentingan. Para pihaklah yang wajib
mengajukan alat-alat bukti.
Pasal 163 HIR
/pasal 283 R.Bg dan pasal 1865 BW. Menyatakan bahwa barang siapa yang:
-
Mengaku mempunyai sesuau hak, atau
-
Mengemukakan suatu peristiwa(keadaan) untuk menguwatkan haknya,
atau
-
Membantah hak orang lain, maka ia harus membuktikan adanya hak atau
peristiwa itu.
Hakimlah yang menetapkan kepada
siapa dibebenkan pembuktian. Pihak yang dibebankan wajib bukti mengandung
resiko bahwa jika tidak berhasil maka ia
akan dikalahkan. Baik penggugat maupun tergugat dapat dibebankan pembuktian.
F.
Hal-hal Yang harus dibuktikan.
Yang
harus dibuktikan ialah adanya peristiwa atau hak yang
-
Menjadi sengketa dan
-
Relevan dengan pokok perkara, sehingga diketemukan adanya hubungan
hukum antara dua pihak.
G.
Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan.
Dalam pemeriksaan perkara perdata,
ada beberapa yang menurut hukum pembuktian dalam acara perdata tidak perlu di
buktikan atau di ketahui oleh hakim, yaitu:
1.
Dalam hal dijatuhkan putusan verstek.
2.
Dalam hal tergugat mengakui gugatan penggugat.
3.
Dalam hal telah dilakukan sumpah decisoir.
4.
Dalam bantahan pihak lawan kurang cukup atau dalam hal yang
diajukan Referte.
5.
Dalam hal apa yang dikenal sebagai peristiwa natoir.
6.
Dalam hal peristiwa yang terjadi dalam persidangan di muka hakim.
7.
Dalam hal yang tarmasuk dalam pengetahuan tentang pengalaman.
Dalam
hal-hal yang bersifat negatif.
[1].
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
(jakarta, kencana, 2006)
[2]Mukti
Arto, Peraktek perkara perdata pada peradilan agama, (yogyakarta,Pustaka
Pelajar, 1998 ) hlm. 135-136
[3]Mukti
Arto, Peraktek perkara perdata pada peradilan agama, (yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 1998 ) hlm.136
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak. Kami tunggu kritik saran dan komentar anda!!!