Minggu, 12 November 2017

rencana peraturan perundang undangan

  1. A.    Latar Belakang
Kebijakan otonomi daerah telah menjadi pemicu lahirnya ribuan Peraturan Daerah (Perda) di berbagai propinsi dan kabupaten. Tapi sayangnya dari sekian banyak Perda yang dihasilkan tersebut cenderung dibuat dengan cara yang kurang melibatkan publik dan tidak transparan. Sehingga tidak jarang terjadi penolakan terhadap peraturan yang dibuat. Sebagai contoh, di Sumatera Barat publiknya bereaksi keras terhadap Perda tentang APBD Propinsi Sumbar karena banyaknya tunjangan untuk DPRD yang tidak masuk akal dan di-mark up. Begitu pula di Jakarta, publik menjadi berang ketika APBD DKI Jakarta memberikan uang kopi kepada gubernur sebesar 90 juta. Bahkan kalangan pengusaha yang terhimpun dalam KADIN menyampaikan keluhan kepada presiden bahwa terdapat 1.006 Perda yang bermasalah dan memberatkan dunia usaha.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa banyak Perda yang bermasalah dan merugikan bagi publiknya. Oleh karena itu kemudian kemahiran, profesionalitas, ketepatan dalam penyusunan PERDA harus dimiliki secara total oleh para pihak yang berwenang, dan lebih khusus kepada para mahasiswa syariah dengan basic hukum harus mampu dalam hal ini. Secara sigkat uraian dalam makalah sederhana ini akan menyajikan mengenai tahapan Perancangan Peraturan Daerah (Ranperda) menjadi Peraturan Daerah (Perda).

  1. B.     Gambaran Umum Raperda
Pelaksanaan otonomi daerah (otda) di Indonesia sesungguhnya telah dimulai sejak awal kemerdekaan Republik ini, bahkan pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda sudah dilakukan, walaupun dalam suasana kolonial. Perlunya sistem otonomi daerah disadari oleh para pendiri negara Republik Indonesia ketika menyusun UUD 1945, mengingat letak geografi dan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia yang tersebar di berbagai pulau dan terdiri atas berbagai suku, agama, ras, dan golongan. Pasal 18 UUD 1945 (sebelum perubahan) mengatur bahwa: ”Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam Sistem Pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-Daerah yang bersifat Istimewa”.[1]
Secara formal, rancangan peraturan daerah dapat berasal dari DPRD atau Kepala Pemerintah Daerah. Namun demikian, Penyusunan sebuah Perda hanya dapat diinisiasi apabila terdapat permasalahan yang pencegahan atau pemecahannya memerlukan sebuah Perda baru. Sehingga inisiasi awal penyusunan Perda baru dapat diprakarsai oleh pemangku kepentingan yang terkait, baik itu lembaga/instansi pemerintah, badan legislatif, dunia usaha, perguruan tinggi, organisasi non-pemerintah, maupun kelompok masyarakat.
Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa “penyelenggara pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggung jawabnya serta atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan antara lain dalam peraturan daerah….” Lebih lanjut ditegaskan bahwa kebijakan daerah dimaksu  tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta peraturan daerah lain.
Terlepas dari pihak mana yang mengambil prakarsa awal penyusunan sebuah Perda baru, hendaknya diingat bahwa saat ini terdapat dua jalur penyusunan Perda, yaitu jalur eksekutif dan jalur legislatif. Oleh karena itu, pejabat berwenang dari lembaga/instansi eksekutif dan badan legislative hendaknya dilibatkan sejak awal. Dengan kata lain, sebelum melangkah terlalu jauh, inisiasi awal yang bisa saja datang dari kelompok masyarakat atau pemangku kepentingan lainnya tersebut haruslah diadopsi menjadi inisiasi lembaga/instansi eksekutif atau badan legislatif. Setelah instansi/badan yang menginisiasi memahami prinsip-prinsip penyusunan peraturan.[2]
Hampir sama dengan proses pembuatan undang-undang, proses pembuatan Perda juga dapat muncul melalui dua jalur, yaitu atas usulan eksekutif (pemda) dan atas usulan legislatif (DPRD). Selama kebijakan otonomi bergulir yang ditandai dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah instrumen hukum dari pemerintah pusat yang dijadikan landasan atau acuan dalam menyusun peraturan di tingkat daerah terbatas pada PP No. 1 Tahun 2001 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD, dan Kepmendagri No. 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.
Dalam prakteknya, karena lazimnya prosedur penyusunan rancangan Perda atas usulan DPRD diatur dalam tata tertib DPRD – yang penyusunannya mengacu pada PP No. 21 Tahun 2001, maka usulan rancangan Perda atas usulan DPRD lebih mengacu pada PP No. 1 Tahun 2001. Sedangkan Kepmendagri No. 23 Tahun 2001 lebih diperlakukan sebagai pedoman penyusunan rancangan Perda atas usulan pemda.[3]

  1. C.    Tahapan tahapan Perancangan Peraturan Daerah (Ranperda) menjadi Peraturan Daerah (Perda).

  1. 1.      Tahap Persiapan/Perumusan Masalah.
Para perancang Perda perlu membuat Perda atas nama dan untuk kepentingan masyarakat. Langkah pertama yang harus diambil adalah mengajukan pertanyaan mengenai jenis permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Permasalahan dapat mencakup banyak hal, antara lain degradasi dan deviasi sumber daya, konflik pemanfaatan antar pihak yang mengakibatkan keresahan sosial, dan lain-lain. Selain mengidentifikasi masalah, perancang Perda harus pula mengidentifikasi penyebab terjadinya masalah (akar masalah) dan pihakpihak yang terkena dampak dari berbagai masalah tersebut, seperti nelayan tradisional dan nelayan kecil lainnya, nelayan skala menengah dan besar, wisatawan, industri perikanan skala besar, dan industri skala besar lainnya. Perancang Perda hendaknya memahami konsekuensi-konsekuensi yang mungkin akan timbul dari penanganan masalah-masalah tertentu.
Misalnya saja, apakah semua pihak akan diperlakukan secara adil? Apakah ada pihakpihak tertentu yang sangat diuntungkan dan di lain sisi mengorbankan pihak lain? Dengan hanya menangani sejumlah permasalahan, apakah tidak menimbulkan permasalahan baru? Bagaimana mengidentifikasi masalah tersebut. Ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi masalah tersebut. Melakukan identifikasi masalah dengan metode ROCCIPI (Rule, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process, dan Ideology).
  1. Rule (Peraturan)
1)      Susunan kata dari peraturan kurang jelas atau rancu.
2)      Peraturan mungkin memberi peluang perilaku masalah.
3)      Tidak menangani penyebab-penyebab dari perilaku bermasalah.
4)      Memberi peluang pelaksanaan yang tidak transparan, tidak bertanggung jawab, dan tidak partisipatif, dan
5)      Memberikan kewenangan yang tidak perlu kepada pejabat pelaksana dalam memutuskan apa dan bagaimana mengubah perilaku bermasalah.
Karena permasalahan rule (peraturan ini) menjadi permasalahan yang siginifikan maka baik, metode ROCCIPI maupun metode Fishbone ataupun RIA mewajibkan adanya riset yang mendalam berkaitan dengan hal ini. Demikian pula dengan konsepsi perancangan Perda. Sebagai peraturan yang sifatnya lebih delegatif maka perlu ada tahapan khusus, yaitu mengidentifikasi dasar hukum (legal baseline).
  1. Opportunity (Kesempatan)
1)      Apakah lingkungan di sekeliling pihak yang dituju suatu undang memungkinkan mereka berperilaku sebagaimana diperintahkan undang-undang atau tidak?
2)      Apakah lingkungan tersebut membuat perilaku yang sesuai tidak mungkin terjadi?
  1. Capacity (Kemampuan)
1)      Apakah para pelaku peran memiliki kemampuan berperilaku sebagaimana ditentukan oleh peraturan yang ada?
2)      Berperilaku sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang yang ada.
3)      Dalam prakteknya, kesempatan dan kemampuan saling bertumpang tindih. Tidak menjadi soal kategori ROCCIPI yang mana yang mengilhami seorang penyusun rancangan undang-undang ketika merumuskan hipotesa penjelasan.
4)      Kategori-kategori ini berhasil dalam tujuannya apabila berhasil merangsang para pembuat rancangan undang-undang untuk mengidentifikasikan penyebab dari perilaku bermasalah yang harus diubah oleh rancangan mereka.
  1. Communication (Komunikasi)
Ketidaktahuan seorang pelaku peran tentang undang-undang mungkin dapat menjelaskan mengapa dia berperilaku tidak sesuai. Apakah pihak yang berwenang telah mengambil langkah-langkah yang memadai untuk mengomunikasikan peraturan-peraturan yang ada kepada para pihak yang dituju? Tidak ada orang yang dengan secara sadar mematuhi undang-undang kecuali bila dia mengetahui perintah.
  1. Interest (Kepentingan)
Apakah ada kepentingan material atau non material (sosial) yang mempengaruhi pemegang peran dalam bertindak sesuai atau tidak sesuai dengan aturan yang ada?
  1. Process (Proses)
Menurut kriteria dan prosedur apakah – dengan proses yang bagaimana – para pelaku peran memutuskan untuk mematuhi undang-undang atau tidak?. Biasanya, apabila sekelompok pelaku peran terdiri dari perorangan, kategori “proses” menghasilkan beberapa hipotesa yang berguna untuk menjelaskan perilaku mereka. Orang-orang biasanya memutuskan sendiri apakah akan mematuhi peraturan atau tidak.
  1. Ideology (Idiologi)
Apakah nilai-nilai, kebiasaan dan adat-istiadat yang ada cukup mempengaruhi pemegang peran untuk bertindak sesuai atau bertentangan dengan aturan yang ada?

  1. 2.      Tahap Pembahasan/Persetujuan di tingkat DPR.
Pembahasan di DPRD merupakan salah satu bentuk dari dilaksanakannya konsultasi publik. DPRD selaku wakil rakyat kembali akan melakukan seri konsultasi publik dengan membuka ruang diskusi dengan berbagai kepentingan yang terlibat, seperti asosiasi, perguruan tinggi dan masyarakat yang langsung terkena dampak dengan diberlakukannya peraturan ini. Pembahasan di DPRD tidak dilakukan oleh DPRD semata, melainkan bekerja sama dengan kepala daerah, seperti apa yang diamanatkan dalam UU Nomor 10, Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.[4]
Dalam uraian di atas telah dijelaskan bahwa DPRD memiliki peluang dan kewenangan yang luas dalam pembentukan peraturan daerah. Untuk itu dengan peluang dan kewenangan tersebut adakah kemauan dan kemampuan para anggota DPRD untuk melaksanakan kewenangannya dalam pembuatan Perda.Pengkajian terhadap rancangan peraturan daerah akan difokuskan pada tahap-tahap pembahasannya. Hal ini untuk menemukan norma tentang peluang dimana partisipasi masyarakat dalam proses pembahasan rancangan peraturan daerah dapat dilakukan beserta mekanismenya.Rancangan Perda disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, dan atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi (Pasal 141 ayat (1) UU No. 32/2004) dan Pasal 28 ayat (1) UU No. 10/2004. Berdasarkan atas ketentuan tersebut gagasan untuk membentuk sebuah Perda dapat diusulkan oleh setiap anggota DPRD. Dalam undang-undang tersebut tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang berapa jumlah anggota dapat mengusulkan sebuah perda. Namun DPRD sebagai lembaga politis, usulan anggota untuk membentuk Perda setidak-tidaknya akan dilakukan dengan mekanisme politis juga, yakni ada tidaknya dukungan dari anggota lain yang merasa berkepentingan. Berbeda dengan yang mengusulkan komisi, gabungan komisi atau kelengkapan DPRD bidang legislasi tidak perlu menghitung jumlah anggota karena mereka merupakan alat kelengkapan DPRD. Dengan demikian, pada prinsipnya setiap anggota DPRD dapat memberikan usulan, dimana materinya dapat berasal dari hasil audiensi maupun hasil penjaringan di masyarakat ketika masa reses dilakukan. Pelaksanaan legislasi daerah merupakan tugas dan wewenang serta salah satu fungsi penting dari DPRD yang rutin dilakukan menyangkut produk hukum Peraturan Daerah, namun dalam struktur alat kelengkapan DPRD tidak ada alat khusus DPRD yang membidangi legislasi daerah. Dalam Pasal 46 (1) UU Pemerintahan Daerah, alat kelengkapan DPRD terdiri atas :
  1. Pimpinan;
  2. Komisi;
  3. Panitia Musyawarah;
  4. Panitia Anggaran;
  5.  Badan Kehormatan;
  6. Alat kelengkapan lain yang diperlukan.
Dari ketentuan Pasal tersebut, sebenarnya ada dasar untuk membentuk badan legislasi daerah yang khusus menangani pembentukan Perda, tinggal kemauan untuk itu. Jika ada badan legislasi daerah tentunya proses penampungan aspirasi dalam rangka partisipasi masyarakat akan lebih mudah dan efektif. Tahapan pembahasan rancangan peraturan daerah baik rancangan yang berasal dari DPRD maupun dari Kepala daerah baik dalam PP No. 25/2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib DPRD maupun dalam Kepmendagri No. 162/2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib DPRD (yang munculnya menimbulkan polemik karena Kepmendagri tersebut ditetapkan lebih dahulu yaitu tanggal 12 Juli 2004, sedang PP tersebut ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 28 Agustus 2004) dibagi dalam 4 tahap atau tingkatan yang dilakukan DPRD bersama Kepala daerah. Pembicaraan tingkat pertama, meliputi : penjelasan Kepala Daerah dalam Rapat Paripurna tentang penyampaian Raperda yang berasal dari Kepala Daerah, atau penjelasan dalam Rapat Paripurna oleh Pimpinan Komisi/Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus terhadap Raperda dan atau Perubahan Perda atas usul prakarsa DPRD. Pembicaraan tingkat kedua meliputi :
  1. Dalam hal Raperda yang berasal dari Kepala Daerah:
    a) pemandangan umum dari fraksi-fraksi terhadap Raperda yang berasal dari Kepala Daerah,
b) jawaban Kepala Daerah terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi.
  1. Dalam hal Raperda atas usul DPRD:
a) pendapat Kepala Daerah terhadap Raperda atas usul DPRD
b) jawaban dari fraksi-fraksi terhadap pendapat Kepala Daerah.
Pembicaraan tingkat ketiga, meliputi pembahasan dalam rapat Komisi/Gabungan Komisi atau Rapat Panitia Khusus dilakukan bersama-sama dengan Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk. Pembicaraan tingkat keempat meliputi :
1)      pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna yang didahului dengan :
a.       laporan hasil pembicaraan tahap ketiga;
b.      pendapat akhir fraksi;
c.       pengambilan keputusan.
2)       penyampaian sambutan Kepala Daerah terhadap pengambilan keputusan.
Terhadap Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. Bagaimana jika dalam masa sidang terdapat dua rancangan peraturan daerah, yaitu dari DPRD dan dari Kepala daerah. Pengaturan terhadap hal ini dapat ditemukan dalam UU No. 10/2004 Pasal 31 dan UU No. 32/2004 Pasal 140 ayat (2) “Apabila dalam suatu masa sidang, gubernur atau bupati/walikota dan dewan perwakilan rakyat daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalahrancangan peraturan daerahyang disampaikan oleh dewan perwakilan rakyat daerah, sedangkan rancangan peraturan daerah yang disampaikan oleh gubernur, bupati/walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan”.
Ketentuan dalam dua UU tersebut berbeda dengan ketentuan dalam PP No. 25/2004 Pasal 96 dan Kepmendagri No. 162/2004 Pasal 100. Dua pasal dalam dua produk hukum tersebut menegaskan, Apabila terdapat dua Rancangan Peraturan Daerah yang diajukan mengenai hal sama, yang dibicarakan adalah Rancangan Peraturan Daerah yang diterima terlebih dahulu, sedangkan Rancangan Peraturan Daerah yang diterima kemudian dipergunakan sebagai pelengkap.
Secara prosedur dan substansial ketentuan dalam Peraturan Pemerintah dan Kepmendagri tersebut terjadi penyimpangan (konflik) dari ketentuan dalam dua UU tersebut. Secara prosedur, menurut UU yang akan dibahas jika ada dua Raperda yang diajukan secara bersamaan dalam masa sidang yang sama adalah Raperda yang dari DPRD, namun menurut PP dan Kepmendagri yang dibicarakan (yang diutamakan) untuk dibahas adalah Raperda yang diterima terlebih dahulu. Artinya jika yang diterima lebih dahulu Raperda dari Kepala Daerah, maka Raperda tersebut yang akan diutamakan untuk dibahas. Ketentuan dalam PP dan Kepmendagri tersebut menafikkan (menghilangkan) prinsip yang mengutamakan Raperda usulan DPRD. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 95 ayat (1) Kepmendagri tersebut yang menegaskan bahwa, DPRD memegang kekuasaan membentuk Peraturan Daerah. Secara substansial, Raperda dari Kepala Daerah jika yang diutamakan untuk dibahas Raperda yang dari DPRD, menurut kedua UU tersebut digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. Artinya Raperda dari Kepala Daerah akan dijadikan bahan untuk dibandingkan dengan prinsip jika Raperda dari DPRD tidak atau kurang sempurna, maka Raperda dari Kepala Daerah dapat dijadikan bahan bandingan. Sedang menurut PP dan Kepmendagri, Raperda yang diterima kemudian (bisa dari DPRD atau dari Kepala Daerah) dipergunakan sebagai pelengkap.
Bagaimana penyelesaiannya jika terjadi konflik norma seperti tersebut di atas. Dalam teori hukum jika terjadi konflik norma (antinomi) maka penyelesaiannya adalah dengan menggunakan asas-asas dalam hukum (PM Hadjon, 1994:13) yakni asas “lex superior” lex superior derogat legi inferiori”, undang-undang yang lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah.Berdasarkan uraian di atas, jelas sekali bahwa DPRD memiliki kewenangan yang lebih luas untuk mengusulkan rancangan peraturan daerah dalam proses legislasi daerah. Untuk itu bagaimana mengoptimalkan dan melaksanakan (politik hukum positsif) kewenangan tersebut dengan melibatkan rakyat didaerah melelui elemen-elemen masyarakat yang berkompeten untuk itu. Sebab hakekat dari otonomi daerah (sebagai pelaksanaan dari desentralisasi baik politik maupun ekonomi) adalah untuk mendekatkan dalam proses pengambilan kebijakan/keputusan dengan rakyat daerah setempat  (Ibnu, 2005:2).
Dengan kedudukan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah, dan kewenangan yang lebih luas dalam proses pembentukan peraturan daerah, maka sikap responsi anggota DPRD dan terjalinnya komunikasi yang intensif dan harmonis dengan rakyat di daerah sangat tepat jika rakyat menyampaikan partisipasinya dalam proses pembahasan dan penentuan sebuah Perda melalui lembaga ini. Terhadap hal ini penjelasan Pasal 139 ayat (1) UU No. 32/2004 menegaskan, hak masyarakat (hak untuk memberikan masukan dalam rangka penyiapan atau pembahasan Raperda) dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD.[5]

  1. 3.      Tahap Pengesahan/Pengundangan.
Perjalanan akhir dari perancangan sebuah draf perda adalah tahap pengesahan yang dilakukan dalam bentuk penandatangan naskah oleh pihak pemerintah daerah dengan DPRD. Dalam konsep hukum, perda tersebut telah mempunyai kekuatan hukum materiil (materiele rechtskrach) terhadap pihak yang menyetujuinya. Sejak ditandatangani, maka rumusan hukum yang ada dalam raperda tersebut sudah tidak dapat diganti secara sepihak. Pengundangan dalam Lembaran Daerah adalah tahapan yang harus dilalui agar raperda mempunyai kekuatan hukum mengikat kepada publik. Dalam konsep hukum, maka draf raperda sudah menjadi perda yang berkekuatan hukum formal (formele-rechtskrach). Secara teoritik, “semua orang dianggap tahu adanya perda” mulai diberlakukan dan seluruh isi/muatan perda dapat diterapkan.
Pandangan sosiologi hukum dan psikologi hukum, menganjurkan agar tahapan penyebarluasan (sosialisasi) perda harus dilakukan. Hal ini diperlukan agar terjadi komunikasi hukum antara perda dengan masyarakat yang harus patuh. Pola ini diperlukan agar terjadi internalisasi nilai atau norma yang diatur dalam perda sehingga ada tahap pemahaman dan kesadaran untuk mematuhinya.[6]

  1. D.    Daftar Rujukan
Tim Direktorat Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. bekerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP) melalui Proyek Enhancing Communications, Advocacy and Public Participation Capacity for Legal Reforms (CAPPLER Project). Perancangan Peraturan Daerah Panduan Praktis Memahami, (Jakarta: CAPPLER Project,2008)

Local Government Support Program Legislative Strengthening Team, Legal Drafting Penyusunan Peraturan Daerah.

http://www.huma.or.id, (diakses pada tanggal 03 November 2011)

http://peraturan-daerah.blogspot.com/, (artikel yang terbit pada selasa 23 desember 2008), diakses pada tanggal 03 November 2011.




[1]  Tim Direktorat Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. bekerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP) melalui Proyek Enhancing Communications, Advocacy and Public Participation Capacity for Legal Reforms (CAPPLER Project). Perancangan Peraturan Daerah Panduan Praktis Memahami,(Jakarta: CAPPLER Project,2008), hlm.1-5
[2] Local Government Support Program Legislative Strengthening Team, Legal Drafting
Penyusunan Peraturan Daerah, hlm. 15-17
[3] http://www.huma.or.id, (diakses pada tanggal 03 November 2011)
[4] Tim Direktorat Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah,Op.Cit.hlm.33-34
[5] http://peraturan-daerah.blogspot.com/, (artikel yang terbit pada selasa 23 desember 2008), diakses pada tanggal 03 November 2011
[6] Ibid….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak. Kami tunggu kritik saran dan komentar anda!!!

contoh SURAT GUGATAN PERCERAIAN

SURAT GUGATAN PERCERAIAN Kepada Yth: Bapak/Ibu Ketua Pengadilan Negeri/Agama [...................] Di Tempat Dengan hormat ...