Senin, 27 November 2017

Pembubaran Persekutuan (Maatschap) atas Dasar Wanprestasi



Latar Belakang

Dalam dunia usaha, kerjasama antara beberapa pihak telah umum terjadi. Kerjasama ini tentu saja tidak lepas dari aspek hukum perdata, terutama dalam ranah hukum perjanjian yang diatur dalam Buku ke-III Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau disingkat KUHPer (dalam bahasa Belanda disebut Burgerlijk Wetboek). Dilihat dari aspek hukumnya, pendirian suatu badan usaha pada umumnya adalah didasarkan atas perjanjian. Hal ini pula yang berlaku pada maatschap.

Maatschap didirikan atas dasar suatu perjanjian pendirian maatschap oleh pihak-pihak yang bersangkutan (yang disebut sekutu). Para pihak ini mengikatkan diri dalam suatu perjanjian untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan dihasilkan oleh persekutuan tersebut, dengan syarat bahwa masing-masing sekutu diwajibkan memasukkan inbreng (bisa berupa barang-barang, uang, atau keahlian) ke dalam persekutuan tersebut.

Adapun seperti lazimnya suatu perjanjian biasa, dalam perjanjian seperti ini juga bisa terjadi salah satu pihak (atau beberapa pihak) tidak memenuhi prestasinya. Ketika salah satu atau beberapa pihak tersebut tidak memenuhi prestasi yang telah disepakati dalam perjanjian, maka terjadilah apa yang dinamakan wanprestasi. Konsekuensinya, terhadap pihak yang dirugikan diberikan beberapa pilihan untuk pemenuhan haknya, yaitu ia dapat menuntut pelaksanaan perjanjian, ia bisa meminta ganti rugi saja, ia juga bisa meminta ganti rugi disertai pelaksanaan perjanjian, atau ia dapat menuntut pembatalan perjanjian disertai ganti rugi.

Wanprestasi dalam perjanjian ini tergamabr dalam kasus Geldersch Dagblad melawan CV Drukkerij en Uitgeverij De Graafschap. Dalam kasus ini, Penggugat menuntut pembatalan perjanjian disertai ganti rugi karena alasan bahwa pihak Tergugat tidak telah melaksanakan kewajibannya dengan baik. Dalam kasus ini, Penggugatnya adalah NV Geldersch Dagblad, sedangkan Tergugatnya adalah CV Drukkerij en Uitgeverij De Graafschap. Para pengurus NV Geldersch Dagblad atas nama NV bersama-sama dengan CV Graafshcap mendirikan suatu maatschap untuk penerbitan harian yang bernama Geldersch Dagblad de Graafschap, yang akan dicetak oleh Geldersch Dagblad. Usaha itu dimulai tanggal 5 Mei 1945 dengan terbitnya nomor perdana. Menurut NV Geldersch Dagblad, Tergugat telah melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban-kewajibannya, antara lain Tergugat tidak melaksanakan administrasi yang baik dan telah tidak memberikan kesempatan pada Penggugat untuk meninjau administrasi, selain itu, Tergugat dengan keputusannya sendiri telah tidak menerbitkan harian itu pada beberapa tanggal-tanggal tertentu dan telah menggunakan administrasi dan daftar langganan untuk kepentingannya sendiri.

Atas dasar-dasar tersebut, Penggugat mengemukakan adanya wanprestasi, atau paling tidak ada perbuatan melawan hukum dari pihak Tergugat. Pihak Tergugat kemudian melawan dengan mengemukakan bahwa memang telah diakui ada pembicaraan mengenai pendirian suatu persekutuan, tapi persekutuan tersebut tidak pernah didirikan.

Rechtbank, ketika dihadapkan pada perkara ini, menyatakan gugatan penggugat tidak bisa diterima. Dasar keputusannya adalah bahwa dalil-dalil Penggugat kacau dan bertentangan satu sama lain, sehingga berakibat tidak jelas kapan perjanjian yang menjadi dasar gugatan itu diadakan, dan apa isi dari perjanjian itu.

Pada tingkat banding, Hof menguatkan keputusan yang dibanding dengan memberikan pertimbangan bahwa dasar dari tuntutan adalah penuntutan pembatalan perjanjian maatschap dengan disertai ganti rugi atas dasar wanprestasi. Hof melihat bahwa pengakhiran maatschap yang didirikan untuk waktu yang tidak tertentu mengacu pada ketentuan Pasal 1649 KUHPer, dengan mana pengakhiran ini hanya dapat dimungkinkan dengan pembubaran (opzegging) dan mengenai hal ini tidak bisa dimintakan pembatalan. Atas dasar tersebut gugatan pembanding tidak dapat diterima. Geldersch Dagblad membawa kasus ini ke tingkat kasasi.

Pada tingkat kasasi, Hoge Raad melihat bahwa pengakhiran maatschap dapat dimintakan oleh salah satu pihak yang merasa dirugikan, asalkan diajukan atas dasar alasan yang sah. Di sini Hoge Raad menerima wanprestasi sebagai alasan yang sah dari Penggugat untuk memajukan gugatan pembatalan maatschap disertai ganti rugi. Namun untuk pembatalan maatschap di sini tidak bisa dipakai Pasal 1266 KUHPer, melainkan digunakan Pasal 1647 KUHPer. Atas pertimbangannya itu, Hoge Raad membatalkan putusan hakim Gerechtshof Arnhem dan mengembalikan kasus ini pada Hof agar diperiksa lebih lanjut dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan Hoge Raad tersebut.

Permasalahan Hukum

1. Apa yang menyebabkan Pasal 1266 KUHPer tidak dapat digunakan untuk Pembatalan perjanjian maatschap?
2. Mengapa Pasal 1647 KUHPer boleh berlaku terhadap maatschap yang didirikan bukan untuk waktu tertentu, sedangkan untuk maatschap jenis tersebut telah diatur pembubarannya dalam Pasal 1649?

Persekutuan Perdata (Maatschap)

Dalam literatur Belanda, maatshcap sering disebut burgerlijke maatschap atau ”persekutuan perdata.” Menurut Pasal 1618 KUHPer, maatshcap adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu, dengan maksud untuk membagi keuntungan yang diperoleh.

Dilihat dari bunyi pasal tersebut, dapat ditafsirkan bahwa maatschap memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
1. merupakan suatu perjanjian
2. ada perikatan antara dua orang atau lebih
2. ada pemasukan (inbreng)
3. ada tujuan untuk membagi keuntungan yang diperoleh

Unsur pemasukan (inbreng) tersebut bisa berupa sejumlah uang, barang dengan wujud tertentu, atau berupa tenaga, jasa, atau keahlian (skill). Selain itu, dalam maatshcap juga harus ada kerjasama antar para sekutu dan kerjasama antara sekutu dengan maatschap sebagai suatu kesatuan. Hal ini menunjukkan adanya hubungan hukum dan hak serta kewajiban para sekutu satu sama lainnya, serta hak dan kewajiban para sekutu terhadap maatschap sebagai suatu kesatuan.

Atas kekayaan maatschap ini, ada kepemilikan bersama yang terikat dimana semua sekutu memiliki hak yang sebanding atas seluruh benda milik bersama sebagai suatu kesatuan. Atas benda milik bersama ini tidak dapat ditetapkan harta bagian masing-masing sekutu atas masing-masing benda yang menjadi bagian dari keseluruhan benda milik bersama. Dengan demikian sekutu masing-masing tidak bisa menjual atau mengalihkan benda milik maatschap tanpa persetujuan semua sekutu.

Pada maatschap, tidak ada nama bersama seperti halnya yang terjadi dalam persekutuan dengan firma. Konsekuensinya adalah masing-masing sekutu bertindak keluar (bertindak dengan pihak ketiga) atas namanya sendiri, kecuali telah diperjanjikan bahwa sekutu yang bersangkutan bertindak atas nama maatschap (seluruh sekutu), sehingga pihak ketiga tahu bahwa ia telah berhubungan dengan suatu maatschap.

Mengenai pembubaran maatschap, Pasal 1646 KUHPer mengatur bahwa suatu maatschap hanya dapat berakhir apabila:
1. Lewatnya waktu untuk mana persekutuan telah diadakan;
2. Musnahnya barang atau diselesaikannya perbuatan yang menjadi pokok persekutuan;
3. Atas kehendak semata-mata dari beberapa orang sekutu;
4. Jika salah seorang sekutu meninggal atau ditaruh di bawah pengampuan atau dinyatakan pailit.

Putusan Hakim dan Pasal 1266 KUHPer

Dalam hukum acara perdata, dikenal dua macam cara untuk mengajukan tuntutan hak, yaitu melalui gugatan dan permohonan. Tuntutan hak ini bertujuan untuk melindungi pihak yang memiliki hak. Namun tuntutan hak ini juga harus dilandasi oleh kepentingan hukum yang cukup.
[1] Tuntutan hak yang berupa gugatan terjadi jika ada pihak yang bersengketa, dan ada pihak lain yang ditarik sebagai lawan. Dalam permohonan, tututan hak terjadi tidak atas landasan sengketa dan tidak ada pihak lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan (ex-parte).

Bentuk keputusan hakim dalam masing-masing cara mengajukan tuntutan hak itupun berbeda. Dalam gugatan, keputusan hakim yang akan diberikan adalah Putusan hakim, namun dalam halnya permohonan, bentuk putusan hakim yang akan diberikan adalah dalam bentuk Penetapan hakim. Dalam kasus ini, ada penafsiran mengenai putusan hakim ex pasal 1266 KUHPer, dan hal tersebut akan dibahas di bawah ini.

Pasal 1266 KUHPer dan Sifat Putusan Hakim

Dilihat dari pengertiannya, putusan hakim adalah suatu wewenang yang dimiliki oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.
[2]

Pasal 185 ayat (1) HIR (Ps. 196 ayat 1 Rbg) membedakan antara putusan akhir dan putusan yang bukan putusan akhir. Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan perdadilan tertentu. Menurut jenisnya, putusan akhir ini dibagi atas tiga jenis, yaitu:
1. putusan yang bersifat menghukum (condemnatoir)
2. putusan yang bersifat menciptakan (constitutif)
3. putusan yang bersifat menerangkan (declaratoir)

Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Dalam putusan condemnatoir diakui hak penggugat atas prestasi yang dituntutnya. Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum tertentu, sedangkan putusan declaratoir adalah putusan yang bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah. Pada dasarnya semua putusan yang bersifat condemnatoir maupun constitutif adalah bersifat declaratoir. Dalam Arrest Geldersch Dagblad ini sendiri terlihat adanya perbedaan antara putusan declaratoir dan constitutif.

a. Putusan Constitutif
Seperti telah dijelaskan di atas, putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum, misalnya pemutusan perkawinan, pengangkatan wali, dan pernyataan pailit. Diktum putusan seperti ini, walupun memang sah, akan tetapi pada umumnya tidak dapat dilaksanakan oleh pengadilan secara riil, karena tidak menetapkan hak atas suatu prestasi tertentu.

b. Putusan Declaratoir
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, putusan declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah, misalnya bahwa anak yang menjadi sengketa adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Di sini dinyatakan bahwa suatu keadaan hukum tertentu yang menjadi tuntutan itu ada atau tidak ada, tanpa memutuskan hak atas suatu prestasi. Putusan declaratoir murni tidak memerlukan upaya memaksa karena sudah mempunyai akibat hukum tanpa bantuan daripada pihak lawan yang dikalahkan untuk melaksanakannya, sehingga putusan seperti ini hanya mempunyai kekuatan mengikat saja.

Pasal 1266 KUHPer dalam perspektif hakim Hoge Raad

Sebelum membicarakan mengenai syarat batal yang ada dalam Pasal 1266 KUHPer, terlebih dahulu akan dibahas mengenai syarat batal itu senidiri. Syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian. Dengan begitu syarat batal mewajibkan si berutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang demikian itu terjadi.

Dalam Pasal 1266 KUHPerdata dikatakan bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal-balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian, perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat-batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal itu tidak dinyatakan dalam perjanjian, maka hakim atas permintaan penggugat berwenang untuk, menurut keadaan, memberikan suatu jangka waktu pada tergugat untuk memenuhi kewajiban, asalkan tidak melewati satu bulan.

Dari bunyi pasal di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian timbal balik ketika salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban (wanprestasi atau in default). Jadi walaupun ayat keduanya mengatakan bahwa perjanjian tidaklah batal demi hukum, namun batalnya suatu perjanjian itu dihitung sejak saat wanprestasi, bukan sejak saat putusan hakim mengenai pembatalan suatu perjanjian diputuskan. Hal ini menggambarkan putusan hakim yang bersifat declaratoir dimana putusan pembatalan tersebut hanya merupakan suatu hal yang menerangkan saja dari suatu keadaan hukum (dalam hal ini batalnya suatu perjanjian) yang sudah terjadi pada saat wanprestasi. Apalagi syarat batal ini mengandung konsekuensi bahwa perjanjian yang batal tersebut seolah-olah tidak pernah ada dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula.
[3] Hal ini akan menimbulkan ketidakjelasan terhadap prestasi yang telah dinikmati masing-masing pihak. Apakah prestasi ini harus dikembalikan sebagai pemenuhan dari syarat ”segala sesuatu kembali ke keadaan semula”? Faktor penting lain yang menjadi tidak jelas adalah hak dan kewajiban para sekutu, juga hubungan-hubungan hukum yang terjadi karena perjanjian-perjanjian yang telah diikat dengan pihak ketiga.

Menurut pendapat yang dianut oleh Hoge Raad dalam arrest Geldersch Dagblad ini, putusan pembatalan perjanjian maatschap ex Pasal 1266 KUHPer bersifat declaratoir, jadi batalnya maatschap itu sendiri terjadi sejak saat salah satu pihak dinyatakan wanprestasi. Jadi di sini ada suatu keadaan batal yang memiliki daya kerja mundur atau surut. Dengan merujuk kepada karakterisitik maatschap dimana ada suatu kerjasama antar para sekutu, antara para sekutu dengan maatschap secara keseluruhan, adanya kepemilikan bersama yang terikat dimana benda-benda milik bersama itu tidak bisa dipindahtangankan tanpa persetujuan semua sekutu, dan adanya perjanjian-perjanjian serta hubungan hukum dengan pihak-pihak ketiga di luar maatshcap, maka dengan adanya daya kerja mundur dari pembatalan tersebut, hubungan-hubungan hukum serta hak dan kewajiban para pihak yang telah disebutkan sebelumnya menjadi mengambang dalam masa sejak wanprestasi terjadi hingga putusan hakim mengenai pembatalan dilakukan.

Pembatalan sendiri berakibat bahwa segala keadaan akan dikembalikan seperti semula. Untuk hubungan hukum yang terjadi sebelum pembatalan terjadi, maka status hubungan tersebut bisa dikatakan jelas karena ”dikembalikan seperti semula”. Namun tidak demikian adanya ketika pihak ketiga melakukan perjanjian pada maatschap atau pada salah satu sekutu setelah wanprestasi dianggap terjadi, namun sebelum putusan hakim dijatuhkan, dan pihak ketiga atau maatschapnya telah melakukan prestasi tertentu. Apakah pihak ketiga tersebut boleh menuntut agar prestasi atau kenikmatan atas prestasinya dikembalikan? Alasan-alasan tersebut menjadi salah satu penyebab mengapa hakim menyatakan Pasal 1266 KUHPer menjadi tidak bisa diterapkan pada kasus tuntutan pembatalan oleh N.V. Geldersch Dagblad ini.

Perbedaan Perspektif Pembatalan Menurut Pasal 1266 KUHPer menurut Literatur

Menurut beberapa literatur, interpretasi Pasal 1266 KUHPer adalah secara constitutif, bukan declaratoir. Hal ini mengacu pada ayat (2) dari pasal 1266 tersebut dimana dikatakan bahwa ”...perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan pada hakim.” Bunyi pasal ini menimbulkan interpretasi bahwa batalnya suatu perjanjian tidak terjadi saat wanprestasi terjadi, namun pada saat dikeluarkannya putusan pembatalan oleh hakim. Dengan demikian putusan hakim mengenai pembatalan perjanjian tersebut dipandang sebagai putusan konstitutif, yang secara aktif membatalkan perjanjian tersebut.
[4] Hakim bahkan dianggap memiliki kekuasaan discretianair, artinya ia berwenang untuk menilai wanprestasi si berutang. Apabila kelalaian itu dianggapnya terlalu kecil, hakim berwenang untuk menolak pembatalan perjanjian, meskipun ganti rugi yang diminta harus diluluskan.[5] Dengan demikian pembatalan perjanjian dipandang berlaku sejak putusan hakim dijatuhkan, bukan sejak wanprestasi terjadi.

Menurut Prof. Subekti dalam bukunya, Hukum Perjanjian, berlaku surutnya suatu pembatalan hanya suatu pedoman yang harus dilaksanakan jika itu memungkinkan untuk dilaksanakan. Contohnya dalam hal suatu perjanjian sewa-menyewa, bagaimana si penyewa dapat megembalikan ”kenikmatan” yang sudah diperoleh dari barang yang disewa? Contoh lain adalah dalam perjanjian ketenagakerjaan, bagaimana si majikan dapat mengembalikan ”tenaga” yang sudah dinikmatinya dari si pekerja? Ketika berlaku surutnya pembatalan tidak dimungkinkan, maka pembatalan perjanjian sepatutnya dihitung sejak saat putusan pembatalan dijatuhkan, jadi sifat pembatalan ini berlaku ke depan. Menurut beberapa penulis, pengistilahan untuk keadaan ini bukan pembatalan, namun pemutusan perjanjian, ada pula yang menyebut pemecahan perjanjian.

Ketidakberlakuan Pasal 1266 KUHPer dalam Pembubaran Maatschap

Dalam kasus ini harus dilihat bahwa meskipun maatschap diakui sebagai perjanjian timbal balik antara para sekutu yang menimbulkan kewajiban-kewajiban, dan karenanya juga menimbulkan hak, yang saling berhubungan pada kedua belah pihak, tapi karakteristik maatshcap adalah lebih spesifik dari perjanjian timbal balik biasa.

Bahwa memang perjanjian pendirian maatschap merupakan perjanjian timbal balik, dan untuk pembatalan perjanjian mengacu pada Pasal 1266 KUHPer. Namun pasal ini menimbulkan kebingungan, apakah yang dimintakan pembatalan adalah maatschapnya, atau perjanjian pendirian maatschapnya. Karena pembatalan perjanjian maatschap tidak serta merta mengakibatkan maatschap itu sendiri bubar. Analoginya adalah dari pembatalan perjanjian antara para pemegang saham dalam suatu perseroan terbatas. Pembatalan perjanjian antara para pemegang saham itu sendiri tidak serta merta menyebabkan perseroan itu bubar.

Perlu diingat pula bahwa maatschap dapat didirikan oleh beberapa orang sekutu (jadi di sini hak dan kewajiban timbal balik tidak terjadi antara dua pihak saja, namun lebih dari dua pihak), selain itu maatschap juga dapat memiliki hubungan dengan pihak ketiga. Dengan demikian Pasal 1266 KUHPer yang kebatalannya ditafsirkan oleh hakim Hoge Raad memiliki daya kerja mundur akan mengakibatkan ketidakjelasan hubungan antara para sekutu dan hubungan dengan pihak ketiga sejak saat wanprestasi hingga pada saat pembatalan itu diputuskan oleh hakim.

Selanjutnya, karena maatschap bisa saja mengikat banyak pihak, maka dapat dilihat bahwa karakterisitik maatschap adalah lebih khusus dari perjanjian timbal balik biasa. Dan atas karakteristik yang lebih khusus ini telah diberikan ruang untuk pengaturannya secara lebih khusus melalui Pasal 1647 dan 1649 KUHPer. Dan di sini Hoge Raad berpendapat bahwa Pasal 1266 KUHPer adalah ketentuan yang umum mengenai pembatalan perjanjian, sedangkan Pasal 1647 dan 1649 KUHPer adalah ketentuan khusus yang mengatur mengenai pembubaran maatschap. Jadi di sini keberlakuan 1266 KUHPer untuk pembubaran maatschap disingkirkan.

Pasal 1647 KUHPer dan Pasal 1649 KUHPer

· Pasal 1647 KUHPer
Pasal 1647 KUHPer menyatakan bahwa pembubaran perseroan yang didirikan untuk suatu waktu tertentu tidak boleh dituntut oleh seorang pesero sebelum lewat waktunya itu, kecuali jika ada alasan yang sah, seperti jika seorang peserta tidak memenuhi kewajibannya atau sakit-sakitan sehingga tidak dapat mengurus perseroan itu, atau alasan lain semacam itu, yang pertimbangan tentang sah dan beratnya diserahkan kepada pengadilan.

· Pasal 1649 KUHPer
Pasal 1649 KUHPer menyatakan bahwa perseroan boleh dibubarkan atas kehendak beberapa peserta atau hanya atas kehendak satu orang peserta, jika perseroan itu didirikan untuk waktu yang tak tentu.
Pembubaran demikian baru terjadi jika pemberitahuan pembubaran disampaikan kepada semua peserta dengan itikad baik dan tepat pada waktunya.

Alasan Keberlakuan Pasal 1647 dan 1649 KUHPer

Seperti telah disinggung sebelumnya, suatu maatschap memiliki karakteristik tersendiri yang lebih khusus sehingga keberlakuan Pasal 1266 KUHPer (yang dipandang Hoge Raad sebagai ketentuan umum) tidak dapat diterapkan. Untuk pembubaran maatschap, yang berlaku adalah Pasal 1647 dan 1649 KUHPer.

Dalam bunyi pasal 1647 KUHPer terdapat kata-kata ”perseroan yang didirikan untuk suatu waktu tertentu”, yang berarti pasal tersebut mengatur mengenai pembubaran persekutuan yang didirikan untuk jangka waktu tertentu. Namun kalimat berikutnya mengatakan ”...jika ada ada alasan yang sah...yang pertimbangan tentang sah dan beratnya diserahkan pada pengadilan. Kalimat itu mengindikasikan bahwa pada hakikatnya suatu persekutuan untuk waktu tertentu hanya dapat dibubarkan ketika waktu tertentunya sudah tercapai. Namun ketika dalam persekutuan tersebut ada alasan sah bagi salah satu pihak untuk mengajukan pembatalan, maka hal itu dimungkinkan.

Selanjutnya Pasal 1649 mengandung pengertian, yaitu bahwa suatu persekutuan yang didirikan untuk waktu tidak tertentu dapat dibubarkan atas kehendak beberapa sekutu atau hanya atas kehendak satu orang sekutu dengan cara memberitahukan pembubaran persekutuan tersebut kepada semua sekutu dengan itikad baik dan dalam waktu yang cukup.

Dalam kasus Geldersch Dagblad ini, pembatalan diajukan oleh salah satu pihak atas dasar wanprestasi dari pihak lawan. Apakah hal ini dimungkinkan? Ternyata oleh Hoge Raad dimungkinkan, dengan mengacu pada Pasal 1647 KUHPer, yaitu atas dasar alasan yang sah.

Timbul pertanyaan mengapa Hoge Raad memberlakukan Pasal 1647 KUHPer pada persekutuan (maatschap) yang didirikan untuk waktu tertentu. Hoge Raad dalam hal ini berpendapat bahwa Pasal 1647 KUHPer tersebut harus diterjemahkan sebagai suatu pasal yang berlaku bagi pembubaran persekutuan, sekalipun persekutuan itu didirikan untuk waktu tidak tertentu, atas dasar alasan sah dari pihak yang mengajukan gugatan pembatalan. Dalam pertimbangannya Hoge Raad mengatakan bahwa memang tidak bisa dipungkiri bahwa untuk maatschap yang didirikan untuk waktu tidak tertentu juga ada kebutuhan untuk menuntut pembatalan berdasarkan alasan yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 1647 KUHPer. Bahwa hakim Hoge Raad berpendirian, menurut letak kepentingannya, wanprestasi yang dipersalahkan kepada sesama sekutu dipandang sebagai alasan yang sah untuk mengajukan pembubaran.

Selanjutnya, atas dasar tesebut Hoge Raad berpendapat bahwa Pasal 1647 KUHPer tidak memaksa untuk diimplementasikan semata-mata pada persekutuan yang didirikan untuk jangka waktu tertentu saja. Penafsiran Pasal 1647 KUHPer tersebut berdasarkan tujuannya harus dilihat bahwa kesempatan untuk pembatalan berdasarkan alasan yang sah, yang dalam pasal tersebut secara khusus dimaksudkan untuk maatschap yang didirikan untuk jangka waktu tertentu, harus terbuka pula untuk maatschap yang didirikan untuk jangka waktu tidak tertentu, jika sekutu dalam maatschap yang disebutkan terakhir memiliki alasan yang sah untuk mengajukan pembatalan.

Karena dalam kasus ini hakim Hoge Raad memandang alasan wanprestasi sesama sekutu yang dimajukan oleh pihak Geldersch Dagblad sebagai alasan yang sah untuk mengajukan pembatalan, maka hakim Hoge Raad memandang Pasal 1647 KUHPer bisa diberlakukan terhadap maatschap yang didirikan untuk waktu yang tidak tertentu.

Memang, meskipun kata-kata yang terdapat dalam bagian pertama Pasal 1647 KUHPer ini disebutkan pembubaran perseroan yang didirikan untuk suatu waktu tertentu. Namun dengan interpretasi pasal secara keseluruhan, keberlakuan pasal ini tidak semata-mata untuk pembubaran persekutuan yang didirikan untuk jangka waktu tidak tertentu saja. Kata-kata dalam bagian pertama pasal itu harus diterjemahkan bahwa untuk persekutuan yang didirikan untuk suatu jangka waktu tertentu bubar dengan sendirinya ketika jangka waktunya telah berakhir, namun jika jangka waktu tersebut tidak ada (termasuk sebelum jangka waktu berakhir dan jangka waktunya tidak tertentu), maka salah satu sekutu dapat menuntut pembubaran jika ada alasan yang sah untuk itu.

Dari kata-kata ”...tidaklah dapat dituntut oleh sorang sekutu selain atas dasar alasan yang sah, sebagaimana jika seorang sekutu lain karena sakit terus-menerus menjadi tak cakap melakukan pekerjaannya untuk persekutuan, atau lain-lain hal semacam itu yang sah maupun pentingnya diserahkan pada penilaian hakim.” Dari kalimat tersebut, diambil pengertian bahwa untuk persekutuan (termasuk yang didirikan tidak untuk waktu tertentu), ketika salah satu sekutu melakukan wanprestasi maka sekutu yang dirugikan dapat mengajukan gugatan pembatalan berdasarkan Pasal 1647 KUHPer. Atas dasar wanprestasi itu pulalah, kepada pihak yang merasa dirugikan (dalam hal ini Penggugat), diberikan hak untuk menuntut ganti kerugian dari pihak yang wanprestasi.
[6] ganti rugi yang dapat dituntut adalah yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi dan dapat diduga atau sepatutnya dapat diduga oleh pihak yang wanprestasi. Unsur dapat diduga atau sepatutnya dapat menduga ini diukur menurut pengalaman orang normal.

Kesimpulan

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, maatschap termasuk dalam perjanjian timbal-balik dan hal ini telah diakui oleh Hoge Raad yang memeriksa kasus Geldersch Dagblad ini. Lazimnya suatu perjanjian, maka pembatalannya dapat dimintakan atas dasar Pasal 1266 KUHPer. Namun dalam kasus ini, ternyata hakim Hoge Raad menolak keberlakuan pasal tersebut untuk pembubaran maatschap.

Alasannya adalah karena putusan pembatalan perjanjian oleh hakim dengan menggunakan Pasal 1266 KUHPer diinterpretasikan sebagai putusan declaratoir, atau hanya menerangkan saja keadaan hukum yang sebenarnya telah terjadi. Dengan demikian, berarti wanprestasi yang dilakukan Tergugat dihitung telah terjadi pada
saat wanprestasi itu nyata-nyata terjadi, bukan pada saat dikeluarkannya putusan. Hal ini akan menimbulkan ketidakpastian terhadap status sekutu-sekutu maatschap dan pihak ketiga yang memiliki hubungan hukum dengan maatschap tersebut. Selain itu, maatshcap dianggap memilki karakteristik yang lebih khusus daripada perjanjian timbal-balik biasa sehingga untuk pengakhirannya harus pula digunakan ketentuan hukum yang khusus, yang terdapat dalam Pasal 1647 dan 1649 KUHPer.

Selanjutnya, Hoge Raad memberlakukan Pasal 1647 KUHPer untuk pembubaran maatschap yang didirikan untuk waktu tidak tertentu. Alasannya adalah bahwa setelah dilakukan interpretasi, Pasal 1647 KUHPer tidak memaksa untuk diimplementasikan hanya pada suatu persekutuan yang didirikan untuk jangka waktu tertentu. Meskipun pembubaran maatschap yang didirikan untuk jangka waktu tidak tertentu telah disinggung dalam Pasal 1649 KUHPer, namun pembatalan maatschap yang didirikan untuk jangka tidak tertentu, yang didasarkan atas alasan yang sah (dalam kasus ini wanprestasi), tidak diberikan pengaturannya dalam pasal ini. Pengaturan pembubaran maatschap atas alasan yang sah ini ada dalam Pasal 1647 KUHPer. Jadi pasal ini harus ditafsirkan bahwa untuk maatschap yang didirikan untuk suatu waktu tertentu, maka maatschap tersebut bubar dengan sendirinya ketika jangka waktunya telah berakhir, namun ketika jangka waktu tersebut belum berakhir (termasuk untuk maatschap yang didirikan untuk jangka waktu tidak tertentu dimana tidak ada jangka waktunya) maka jika ada alasan yang sah, terhadap salah satu sekutu dibuka kesempatan untuk mengajukan pembatalan.
Dengan demikian, Pasal 1647 KUHPer dapat diterapkan pula dalam pembubaran suatu persekutuan yang didirikan untuk waktu tidak tertentu.

[1] Lihat azas Poin d’interet, Poin d’action,yang berarti siapa yang berkepentingan, dia yang mendalilkan. Namun hal ini juga harus dilandasi oleh kepentingan hukum yang cukup.

[2] Sudikno Mertomkusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keenam, (Yogyakarta: Penerbit Liberty), 2002. hal. 202.
[3] Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa), 2002. hal. 77.
[4] Ibid., hal. 50.

[5] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa), 1980. hal. 148.
[6] Pasal 1267 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak. Kami tunggu kritik saran dan komentar anda!!!

contoh SURAT GUGATAN PERCERAIAN

SURAT GUGATAN PERCERAIAN Kepada Yth: Bapak/Ibu Ketua Pengadilan Negeri/Agama [...................] Di Tempat Dengan hormat ...