“UU tidak dapat diganggu gugat
hubungannya dengan asas lex superior derogat lex inferior
dan hak uji materi yang merupakan kewenangan MK”
Suatu Undang-Undang diberlakukan berdasarkan sejumlah asas, salah satunya adalah asas Undang-Undang tidak bisa diganggugugat.
Pengertian dari asas bahwa Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat
adalah berkaitan dengan materi muatan undang-undang. Dalam hal ini
muatan undang-undang tidak dapat diuji oleh badan peradilan. Hanya
pembentuk undang-undang sendiri yang dapat menilai substansi UU.
Sehingga perubahan, pencabutan atau pembatalan suatu undang-undang hanya
dapat dilakukan dengan UU sendiri.1Asas
ini seolah bertentangan dengan praktik ketatanegaraan yang dilaksanakan
oleh Mahkamah Konsitusi. Sedangkan Hakim Konstitusi, sebagaimana
hakim-hakim yang lain dilarang menolak perkara yang diajukan kepadanya
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas.
Dalam
Ilmu Hukum dikenal dua macam judicial review, yaitu: pertama, judicial
review dalam bidang pengadilan, dan kedua dalam bidang hukum konstitusi.
Pembagian nomer dua inilah yang menjadi kewenangan lembaga pengadilan
tertinggi untuk membatalkan putusan badan legislatif dan atau eksekutif.
Dalam hal ini dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi.2
Sebelum amandemen UUD 1945, Undang-Undang yang telah diberlakukan, secara normatif memang tidak bisa diganggugugat dan wajib dilaksanakan oleh semua golongan, baik penyelenggara kekuasaan negara maupun rakyat. Hal ini merupakan asas
yang melekat pada setiap undang-undang yang ada. Undang-Undang akan
tetap berlaku meskipun substansinya bertentangan dengan undang-undang
dasar dan tidak ada suatu pengadilan tertinggi yang berhak menyatakan tidak sah dan tidak
berlaku. Jika terdapat persoalan pada substansi Undang-Undang, hanya
lembaga pembuat undang-undang yang memiliki wewenang untuk melakukan uji
materi. Dan dalam konteks tata negara Indonesia DPR-lah yang memiliki
wewenang untuk melakukan uji materi. Akan tetapi, legislative review
dipandang kurang efektif karena sangat tergantung pada kehendak lembaga
legislatif untuk mengkaji kembali substansi dari suatu Undang-Undang.
Pembentukan
suatu lembaga yang secara khusus berwenang melakukan uji materi
terhadap Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar menjadi salah satu
tema pembahasan dalam amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Gagasan
ini muncul atas desakan agar tradisi pengujian peraturan
perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Dan kewenangan itu
diberikan kepada sebuah mahkamah tersendiri di luar Mahkamah Agung.
Gagasan ini juga muncul sebagai respon atas sejumlah aturan
perundang-undangan, termasuk produk Undang-Undang yang secara substansi
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi bahkan Undang-Undang
Dasar, namun tidak ada lembaga atau mekanisme pengujian yang efektif
melalui lembaga yudisial (judicial review). Fenomena ini mengarah pada
pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Sebagai hasil
pembahasan yang mendalam, cermat, dan demokratis dari tema di atas,
terbentuklah Mahkamah Konstitusi sebagai dampak disahkannya pasal 24
ayat (2) dan pasal 24 C Undang-Undang Dasar 1945.
Keberadaan
pasal 24 ayat 2 dan pasal 24C UUD 1945 berhubungan dengan asas Lex
superior derogat lex inferior. Asas lex superior derogat lex inferior
(yang lebih tinggi mengesampingkan yang rendah), digunakan apabila
terjadi pertentangan, dalam hal ini yang diperhatikan adalah herarki
peraturan perundang-undangan, misalnya ketika terjadi pertentangan
antara Peraturan Pemerintah (PP) dengan Undang-undang, maka yang
digunakan adalah Undang-undang karena undang-undang lebih tinggi
derajatnya. Pertentangan juga pernah terjadi antara UU dengan
Undang-Undang. Fungsi dan tugas MK sebagai lembaga yang berwenang
menguji materi UU, sehingga tidak akan ada lagi UU yang bertentangan
dengan UUD 1945, yang mana ketika ada pertentangan antara peraturan –
peraturan perundang-undangan sering kali membuahkan multi tafsir dan
konflik yang masing-masing bertentesi pada dasar yang berbeda dengan
kasus yang sama.
Sebagai sebuah kesimpulan, Asas Undang-Undang tidak bisa diganggugugat tetap berlaku selama Undang-Undang tersebut tidak
bertentangan dengan UUD sebagai hukum tertinggi dalam suatu negara.
Jika terdapat pertentangan antara substansi Undang-Undang dengan
substansi Undang-Undang Dasar diperlukan adanya uji materi oleh lembaga
yang diberikan kuasa terhadap persoalan tersebut, baik legislatif
sebagai pembuat Undang-Undang atau lembaga yudikatif sebagai
penyelenggara kekuasaan kehakiman. Atau dengan kata lain, suatu
Undang-Undang dapat di review jika bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi dan keadilan sosial.
Fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat
lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sebab UUD
1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen
melainkan supremasi konstitusi. Kemunculan MK sebagai lembaga tinggi
negara yang khusus melakukan judicial review terhadap Undang-Undang tidak
bertentangan dengan sistem ketatanegaraan yang dianut oleh Indonesia.
Indikator pelanggaran sistem ketatanegaraan berada dalam UUD sebagai
konstitusi suatu negara. Melalui pasal 24C UUD 1945 Mahkamah Konstitusi
mendapatkan sandaran yang kuat.3 Hal ini menunjukkan adanya dukungan konstitusi terhadap keberadaan serta tugas dan wewenang MK.
3
UUD Pasal 24C ayat (1),“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap undang-undang Dasar, memutuskan sengketa
kewenangannya lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaranb partai politik, dan
memutusakan perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. (diambil dari
buku Teori Negara Hukum Modern oleh Munir Fuady)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak. Kami tunggu kritik saran dan komentar anda!!!